Fenomena pembubaran kelompok Jamaah Islamiyah oleh para tokoh pimpinannya beberapa waktu yang lalu menyisakan berbagai pertanyaan bagi masyarakat. Ada dua pertanyaan utama yang cukup krusial yang ingin saya jawab dari perspektif saya sebagai mantan binaan Jamaah Islamiyah (JI) dan pemerhati dinamika JI.
Pertama: Apakah Jamaah Islamiyah benar-benar bubar?
Pertanyaan ini muncul karena melihat rekam jejak JI yang bisa bertahan selama lebih dari 3 dekade (1993-2024). Tidak hanya bertahan, JI juga terus berkembang pesat dalam senyap. Mereka terbukti berhasil menyesuaikan strategi perjuangannya setelah dihantam rangkaian penangkapan ratusan anggotanya sejak 2002. Sehingga wajar jika ada yang mempertanyakan: benarkah JI kali ini benar-benar bubar? Atau hanya sekedar strategi baru untuk bertahan?
Baca juga:
Sekilas Dinamika Jamaah Islamiyah dari Bom Bali hingga “Islah” (1)
Sekilas Dinamika Jamaah Islamiyah dari Bom Bali hingga “Islah” (2)
Sekilas Dinamika Jamaah Islamiyah dari Bom Bali hingga “Islah” (3)
Menurut saya, JI bubar secara organisasi iya, tetapi secara pemikiran masih memerlukan pembinaan dan kontrol dalam jangka panjang. Komitmen mereka masih perlu dibuktikan. Dan ini menjadi tugas semua pemangku kebijakan untuk proaktif menindaklanjuti itikad baik mereka bersedia ikrar setia NKRI.
Jika tidak segera ada tindaklanjutnya, saya khawatir justru muncul kekecewaan mereka karena ternyata setelah ikrar setia NKRI atau pembubaran JI tidak ada pembinaan lanjutan dari pemerintah. Padahal keberlanjutan pembinaan inilah yang akan memperkuat komitmen mereka dan dapat menjamin bahwa pembubaran JI bukan semata manuver dari kelompok JI.
Bagi saya sebagai seorang aktivis, ikrar itu hanya sebuah permulaan. Tapi yang lebih penting lagi adalah proses pembuktiannya. Pembuktian ini memerlukan perjuangan jangka panjang yang menghadapi banyak tantangan. Salah satu tantangan terberat mereka nanti adalah kecewa terhadap lingkungan (masyarakat dan pemerintah) yang tak kunjung percaya akan perubahan yang mereka lakukan. Ini akan terasa berat bagi sebagian mereka. Tapi jika mereka bersungguh-sungguh dan mendapatkan dukungan dari eksternal, tantangan itu akan bisa segera terlewati. Jadi, sekali lagi, ikrar itu perlu pembuktian yang didukung oleh berbagai pihak.
Kedua: Sebagai kelompok yang pernah membolehkan kekerasan untuk mencapai tujuannya, apakah mungkin mengembalikan atau bahkan menghilangkan pemahaman berbahaya ini dari mantan para anggotanya?
Sejauh ini saya melihat JI tidak berpaham takfiri ekstrim seperti kelompok Jamaah Anshar Daulah (JAD). Mereka lebih moderat. Dan dalam hal penggunaan kekerasan, kebijakan resmi kelompok JI hanya melakukannya di wilayah konflik. Di era kepemimpinan Para Wijayanto bahkan lebih spesifik lagi, JI hanya akan melibatkan diri dalam konflik di luar negeri (jihad global).
Adapun Bom Bali 2002 hingga Bom Ritz Carlton 2009 itu bukan kebijakan resmi JI, namun mengakui bahwa jaringan pelakunya sebagian besarnya merupakan anggota JI. Aksi pengeboman itu merupakan inisiatif segelintir anggota JI untuk menyambut seruan jihad global Al Qaeda. Tetapi di internal JI sendiri banyak yang mengkritik soal sasaran serangan.
Dalam wawancara saya dengan puluhan eks anggota JI, saya menemukan banyak di antara mereka telah memiliki penafsiran baru soal jihad yang lebih moderat dan kontekstual. Artinya secara pemikiran mereka ini sangat dinamis dan terbuka dengan pemikiran-pemikiran baru. Maka, sebaiknya mereka yang telah ikrar setia NKRI ini sering-sering diajak dialog dan berdiskusi untuk memantapkan perubahan positif mereka.
Bubar beneran atau tidaknya JI itu tidak hanya tergantung pada para eks anggota JI, tetapi juga pada lingkungan yang bisa memperlemah atau memperkuat komitmen mereka.
(Ilustrasi Foto: Istimewa)
Komentar