Dialog Kebangsaan: “Dengan Ilmu Syar'i, Kita Kembali ke Pangkuan NKRI”

Analisa

by Noor Huda Ismail Editor by Redaksi

Depok, 3 November 2024

Suasana berlangsung damai namun penuh muatan emosi di sebuah ball room hotel bintang dua di Depok. Para undangan tampak mengenakan batik, baju koko, dan peci beraneka warna. Kehadiran 120 alumni pelatihan militer JI di Afghanistan dan Moro, menambah dimensi historis dan personal pada acara ini. Di depan, dua tokoh penting, Abu Rusydan, mantan amir JI pengganti Abdullah Sungkar dan besannya, amir JI terakhir, Para Wijayanto, duduk berdampingan, mencerminkan suasana introspektif dan reflektif dari dialog yang berlangsung.

Cerita Tentang Perjalanan Jihad dan Refleksi Kembali ke NKRI

Acara dibuka oleh pembawa acara, alumni pondok pesantren Al Mukmin Ngruki dan mantan kombatan Afghanistan, dengan kutipan kisah dari tulisan Dr. Abdullah Azzam, tokoh jihad global yang hadir dalam konflik Afghanistan pada tahun 1980an. Kisah ini menggambarkan seorang pemuda, Gul Muhammad, dalam perjalanan pulang ke kamp mujahidin di malam hari. Dia berhadapan dengan tentara komunis, mengucapkan “Allahu Akbar,” kemudian melempar pasir ke arah tank yang akhirnya meledak. Dengan cerita ini, pembawa acara menekankan pentingnya tetap berdoa dan refleksi tentang perjalanan mereka sebagai mantan kombatan, mengenang nostalgia perlawanan namun dalam nuansa yang bernuansa militeristik.

Narasumber pertama, Abu Rusydan, dengan mengenakan kaos merah-putih bertuliskan “NKRI” dan berpeci hijau, mulai berbicara dengan gaya penceritaan yang bersifat sangat pribadi dan membekas dalam kehidupannya. Abu Rusydan mengisahkan saat-saat ketika ia bergabung di medan perang Moro pada tahun 2000, berbincang dengan tokoh MILF Salamat Hasyim, yang mempertanyakan alasan mereka melawan pemerintahan Indonesia yang saat itu dipimpin Presiden Habibie, seorang Muslim. Hasyim menekankan pentingnya tidak mengangkat senjata melawan sesama Muslim, sebuah refleksi yang kemudian menjadi dasar pemikiran Abu Rusydan.

Refleksi dari Alumni Afghanistan: Menimbang Kembali Makna Jihad

Abu Rusydan berbagi pengalaman awalnya dikirim ke Afghanistan untuk "belajar jihad" sesuai arahan dari Abdullah Sungkar, tokoh penting Jamaah Islamiyah (JI). Di sana, dia bertugas sebagai penerjemah dan belajar teori jihad langsung dari para instruktur. “Jihad yang syar'i” menjadi tujuan utama pelatihan mereka. Menariknya, ia menekankan bagaimana jihad dulunya asing di kalangan para kombatan Indonesia sebelum belajar di Afghanistan, dan kehadiran di sana menjadi sarana pendidikan penting bagi mereka.

Abu Rusydan juga menceritakan momen-momen nostalgia bersama para pejuang lainnya yang mendapat gelar dalam “upacara resmi” setelah menjalani pelatihan di Afghanistan. Namun, saat ini, menurut Abu Rusydan, adalah waktu yang tepat untuk meninjau kembali tujuan dan metode dari apa yang mereka sebut sebagai jihad.

Baca juga: Ketika Para Mantan Jihadis Merajut Kembali Makna Kebangsaan

Perjalanan Para Wijayanto dan Kembali ke NKRI

Para Wijayanto, mengenakan baju koko biru muda dan peci hitam, melakukan presentasi formal dengan bantuan power point, menambahkan unsur profesionalisme dalam diskusi yang lebih luas. Ia mengulas peran JI di masa lalu, termasuk dalam konteks “irhab” atau terorisme internasional seperti bom WTC, dan bagaimana keterlibatan mereka di dalam jaringan internasional semacam itu. Diskusi diadakan dalam format monolog, dengan para peserta yang sebagian besar mendengarkan, dan beberapa lainnya bercengkerama sambil bermain ponsel, mengingat reuni ini jarang terjadi.

Para juga menyebutkan tentang pentingnya membedakan jihad dari ekstremisme (ghuluw) dan menghindari penggunaan kekerasan dalam mencapai tujuan keagamaan, seperti yang terjadi di Poso. Diskusi ini lebih dari sekadar refleksi sejarah; ini adalah upaya untuk menemukan jalan bagi eks-JI dalam memutus keterikatan dengan kekerasan sebagai sarana perjuangan.

Sosialisasi dan Masa Depan Eks Kombatan

Dalam dialog ini, Abu Rusydan juga mengumumkan bahwa organisasi JI telah dilarang oleh pemerintah berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 21 April 2008. Kemudian mendeklarasikan pembubaran pada 30 Juni 2024. Sosialisasi ini bertujuan untuk menuntaskan keterikatan para mantan anggota dengan jaringan lama, di mana setiap peserta diberi kebebasan untuk menentukan jalan masing-masing. "Saya tidak akan lagi membimbing kalian,” ujar Abu Rusydan, yang disambut dengan harapan agar sosialisasi ini menjadi titik akhir bagi keterlibatan mereka dalam jaringan JI.

Kehadiran dan Dukungan dari Keluarga serta Aparat Keamanan

Acara ini juga dihadiri oleh anggota keluarga Abu Rusydan dan Para Wijayanto dan aparat dari Densus 88 yang berpakaian kasual, menjaga ketertiban namun dengan pendekatan yang bersahabat. Saat Abu Rusydan turun dari panggung, ia disambut oleh anak lelakinya dan cucu-cucunya yang berlari menyambutnya, menciptakan suasana kekeluargaan. Sementara di bagian belakang ruangan, tersedia kopi, teh, dan makanan kecil sebagai pelengkap pertemuan.

Pengaruh Literasi Jihad terhadap Persepsi dan Ideologi

Para Wijayanto juga mengungkap pengaruh literatur jihad terhadap pola pikir mereka di masa lalu. Ia menjelaskan bagaimana literasi yang berasal dari tulisan-tulisan ulama radikal seperti Abdul Qadir bin Abdul Aziz, yang diadopsi dari Ikhwan Muslimin dan An Najdiah, mempengaruhi keputusan untuk mengangkat senjata dan melawan pemerintah.

Ia menegaskan bahwa pemahaman yang lebih mendalam tentang Al Maidah 44 perlu menjadi bagian dari interpretasi yang benar, agar tidak menjadikan negara sebagai musuh utama. "Ke depannya, kita perlu kembali kepada prinsip Ahlus Sunnah Wal Jamaah dan NKRI sebagai solusi," tutup Para Wijayanto dengan penuh optimisme.

Kesimpulan: Memutus Jaringan, Merajut Kembali NKRI

Acara ini memberikan gambaran proses pemutusan hubungan ideologis dengan masa lalu yang sarat akan kekerasan dan ekstremisme. Pesan utama dari dialog ini adalah pentingnya kembali ke pangkuan NKRI dengan pendekatan yang damai, sesuai dengan prinsip Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Para peserta mengakhiri pertemuan ini dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya, sebuah penegasan bahwa mereka ingin menjadi bagian dari NKRI dan mencari jalan damai dalam mencapai kehidupan berbangsa yang harmonis.



[Sumber Foto: Dokumentasi kegiatan oleh salah satu peserta yang diterima oleh Ruangobrol]

Komentar

Tulis Komentar