Di sebuah ruangan sederhana di Depok, saya melihat sejarah sedang menuliskan episode barunya. Abu Rusydan, sosok yang dulunya dikenal sebagai tokoh senior Jamaah Islamiyah (JI), kini berdiri di mimbar dengan tutur kata yang tenang namun menggugah. Tak ada lagi retorika perlawanan atau panggilan jihad yang dulu akrab di lidahnya. Yang ada adalah refleksi mendalam tentang makna kebangsaan dan Islam yang rahmatan lil 'alamin.
"Dengan ilmu syar'i kita kembali ke pangkuan NKRI" - tema yang terdengar sederhana namun sarat makna. Ada ironi yang indah di sana: penggunaan "ilmu syar'i", terminologi yang dulu sering dipakai untuk melegitimasi perlawanan, kini justru menjadi jembatan untuk kembali ke rumah besar bernama Indonesia.
Dialog ini bukan sekadar acara seremonial pasca pembubaran JI. Ini adalah momen di mana sejarah sedang mendamaikan dirinya sendiri. Ketika mantan pegiat organisasi yang pernah menentang NKRI kini mencoba menjelaskan bahwa tak ada pertentangan antara Islam dan kebangsaan Indonesia, kita sedang menyaksikan proses rekonsiliasi yang dalam.
Yang menarik, acara ini bukan forum untuk mengadili masa lalu, tapi laboratorium untuk meracik masa depan. Ketika seorang peserta muda bertanya tentang jihad, Abu Rusydan menjawab dengan perspektif yang mencerahkan: "Jihad terbesar adalah jihad melawan kebodohan dan kemiskinan. Dan itu hanya bisa dilakukan dalam kerangka negara yang kuat dan stabil."
Ada momen yang mengharukan ketika seorang mantan anggota JI berdiri dan bercerita bagaimana ia kini aktif dalam program pemberdayaan ekonomi umat. "Dulu kami pikir mengubah sistem adalah jalan satu-satunya. Sekarang kami sadar, mengubah nasib umat bisa dimulai dari hal-hal kecil yang konkret."
Dialog ini juga menghadirkan dimensi baru dalam diskursus deradikalisasi. Ini bukan lagi tentang "kembali ke jalan yang benar" dalam pengertian sempit, tapi tentang menemukan cara baru untuk berkontribusi pada bangsa. Abu Rusydan dan kawan-kawan telah menunjukkan bahwa transformasi ideologis tidak harus berarti meninggalkan identitas keislaman, tapi justru memperkuatnya dengan pemahaman yang lebih kontekstual. Dialog ini mungkin hanya satu titik kecil dalam perjalanan panjang bangsa ini. Tapi ia memberikan pelajaran berharga tentang bagaimana ideologi bisa berevolusi, bagaimana orang-orang bisa berubah, dan bagaimana sebuah bangsa bisa mendewasa melalui dialog yang tulus.
Dari ruangan sederhana di Depok itu, harapan baru tentang Indonesia yang lebih dewasa dalam keberagaman mulai merekah. Dan mungkin, inilah yang kita butuhkan saat ini. Bukan kemenangan satu narasi atas narasi lain, tapi sintesis baru yang lahir dari dialog yang jujur dan terbuka. Abu Rusydan dan forum ini telah menunjukkan bahwa jalan ke depan adalah jalan kebersamaan, di mana Islam dan kebangsaan bukan lagi dua kutub yang berseberangan, tapi dua sayap yang membawa Indonesia terbang lebih tinggi.
Pasca pembubaran Jamaah Islamiyah, sebuah pertanyaan yang masih menyelimuti di benak kita apakah ini sebuah akhir dalam sebuah perjalanan uji coba atau "Tajribah" dalam perjalanan gerakan jihadi di Indonesia? Atau ini sebuah metamorfosa yang akan menjadi benih untuk tumbuhnya sebuah gerakan model baru, yang akan menyulitkan penegak hukum untuk bertindak? Bila kita masih berprasangka baik, hanya bisa berdoa semoga pembubaran ini menjadi titik balik kolektif untuk terus berkiprah dalam membangun Indonesia yang damai.
Bandung, 3 November 2024
A. Fida
[Sumber Foto: Dokumentasi salah satu peserta yang dikirimkan ke redaksi Ruangobrol]
Komentar