Faktanya, lewat sejumlah kasus penangkapan yang melibatkan perempuan dalam beberapa tahun belakangan, secara terang-benderang berhasil menggeser stigma yang selama ini menganggap bahwa narasi ‘jihad’ hanya khusus untuk kaum lelaki.
Lalu, bagaimana memahami fenomena ini? Apa yang melatarbelakangi adanya pergeseran peran perempuan di jaringan? Dan sejauh mana keterlibatan mereka dalam aksi-aksi teror?
Menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka penting bagi kita untuk memahami bagaimana kontruksi perempuan di kalangan kelompok jihadis.
Nawal el-Saadawi, sastrawan asal Mesir menulis sebuah novel berjudul Perempuan di Titik Nol (2006). Di dalam novelnya, diceritakan tentang kisah seorang perempuan bernama Firdaus yang terpaksa mendekam di balik jeruji penjara, tempat dia menunggu pelaksanaan hukuman mati akibat membunuh seorang lelaki yang merusak kehormatannya.
Novel tersebut menceritakan bahwa perempuan digambarkan sebagai sosok pencemburu. Sikap cemburu seringkali dianggap sebagai akibat ketidakberdayaannya melawan budaya laki-laki. Kebudayaan disini diasosiasikan sebagai kekerasan budaya yang dikaitkan dengan penindasan terhadap perempuan yang dipandang sebatas obyek seksual semata.
Tokoh Firdaus adalah personifikasi kesadaran diri perempuan yang tidak bisa dilepaskan dari pengalaman buruk atas kesewenang-wenangan laki-laki. Kecemburuan tokoh Firdaus menyatakan dua hal sekaligus. Pertama, adanya perasaan penis envy (iri terhadap jenis kelamin laki-laki) bukan karena anatomi seks yang berbeda pada perempuan dan laki-laki, melainkan karena budaya yang menutup ruang kesetaraan gender dalam diskursus publik.
Sigmund Freud dalam jurnalnya The Theory of Sex (1905) menyebut bahwa penis envy terjadi saat jenis kelamin laki-laki dianggap memiliki citra kewibawaan tersendiri sehingga sering dijadikan sebagai simbol peradaban. Kedua, sebagai akibatnya perempuan sering dipersepsikan sebagai warga kelas dua (second sex) dalam percaturan ruang publik budaya dan politik.
Pergeseran fungsi gender
Dalam diskursus kelompok ini, bahkan suara perempuan dianggap sebagai aurat karena dikhawatirkan akan menimbulkan hasrat laki-laki. Akibatnya, kaum perempuan tidak boleh memiliki posisi sentral dalam struktur sosial.
Sementara dalam konteks ‘jihad’, status gender dianggap sangat menentukan seberapa besar peran yang bisa diambil. Merujuk pada dalil Al Qur’an, “Arrijaalu qawwamuna ‘alan nisaa”. Bahwa, laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan. Sehingga seringkali dipahami secara leterlek bahwa ada batasan koridor yang tidak bisa dilanggar dalam hierarki sosial.
Itulah sebabnya, jika melihat jauh ke belakang sebelum fenomena ISIS muncul dan menjadi isu global, perempuan selalu ditempatkan sebagai cheerleader dalam jaringan.
Contoh konkret pada kelompok Jamaah Islamiyah (JI), hampir jarang ditemukan adanya peran perempuan secara langsung dalam aksi-aksi teror. Sebab kelompok ini menilai, bahwa “jihad” adalah pekerjaan laki-laki. Sehingga cukup wajar jika seringkali ditemukan kasus dimana seorang istri tidak mengetahui sama sekali apa yang dilakukan oleh suaminya sampai ia tertangkap atas perannya dalam jaringan. Atau seorang istri yang tidak tahu sama sekali jika suaminya berstatus DPO, sementara yang dirinya ketahui bahwa sang suami sedang bekerja ke luar kota.
Hal ini terjadi, sebab kaum perempuan ‘dipaksa’ menerima fungsinya sebagai seorang ibu rumah tangga, melahirkan anak-anak, dan tidak perlu tahu tentang apa yang sedang dilakukan para suami. Dalam arti, ini urusan laki-laki, perempuan tidak perlu tahu. Cukup di rumah saja, dan rawat anak-anak dengan baik.
Kenyataan hari ini, kondisi tersebut justru berbanding terbalik dan berhasil meruntuhkan stigma akan dominasi laki-laki terhadap kaum perempuan. Perempuan tidak lagi dipandang sebagai kelompok marginal dan tidak mampu berbuat apa-apa.
Kasus yang terjadi pada Ika Puspitasari, mantan buruh migran (TKW) di Hongkong asal Purworejo, Jawa Tengah yang tertangkap dalam kasus pendanaan untuk aksi teror ini menjadi salah satu contoh tentang adanya pergeseran peran gender tersebut.
Untuk diketahui, Ika dideportasi oleh otoritas Hongkong setelah terbukti dirinya terlibat pendanaan untuk aksi amaliyah oleh kelompok Jama’ah Anshorud Daulah (JAD) di Indonesia. Ia kemudian ditangkap oleh Tim Densus 88/AT pada Selasa (20/12/2016) di kediamannya Dusun Tegalsari, Desa Brenggong, Kecamatan Purworejo, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah.
Tidak saja terlibat di pendanaan untuk aksi amaliyah dengan menargetkan komunitas Syi’ah, Ika bahkan diketahui sebagai koordinator dan berencana menjadi pelaku bom bunuh diri di Bali. Meski dirinya keburu tertangkap sebelum beraksi.
“Perkiraanku, Mas. Aku akan ditangkap begitu sampai di Bandara (Seokarno - Hatta Jakarta). Kalau tidak, aku lanjutkan rencana (sebagai pelaku bom bunuh diri di Bali).” ujar Ika kepada tim Ruangobrol saat ditemui di Rumah Betakan, Jogjakarta, Minggu (12/12/2021).
Ika sendiri bukan satu-satunya TKW di Hongkong yang ‘terjebak’ dalam pusara kelompok ISIS. Terdapat puluhan buruh migran lain yang cukup aktif berjejaring dengan kelompok ISIS, baik di Suriah maupun Indonesia.
“Akhwat-akhwat ISIS di Hongkong dulu jumlahnya ada 50 orang. Itu orang Indonesia. Tapi sekarang sudah dideportasi semua,” jelasnya.
Lewat penuturan Ika, diketahui jika komunitas buruh migran akhwat di Hongkong, selain mengadakan kajian-kajian tentang Daulah Islamiyah, mereka juga aktif mengumpulkan dana untuk dikirim ke Indonesia. Dana-dana yang dikirimkan tersebut, nantinya akan digunakan untuk berbagai keperluan jamaah, termasuk untuk membeli senjata dan bahan-bahan peledak.
Kekuatan finansial
Pergeseran peran gender dari objek pasif ke subjek aktif tentu tidak terjadi dalam ruang hampa. Ada proses dinamika sosial yang terjadi pada kelompok perempuan yang selama ini sering dipersepsikan sebagai subkelas yang harus dikasihani, dilindungi dan dinafkahi.
Namun seiring perkembangan zaman dan masifnya kampanye emansipasi hingga ke pelosok desa, secara perlahan merubah mindset kebanyakan kaum perempuan. Dengan adanya kemudahan akses teknologi dan ilmu pengetahuan tersebut, mendorong mereka untuk berani keluar dari kultur sosial dan mengambil perannya sebagai perempuan modern. Sehingga tidak mengherankan dalam dunia perkantoran, pendidikan, pabrik, hingga pekerja kasar banyak diisi oleh kaum perempuan. Sehingga muncul kelompok wanita-wanita karir dengan kemampuan finansial yang baik, daya pikir kritis, dan tidak lagi tunduk pada dominasi laki-laki.
Situasi demikian juga terjadi pada kelompok ISIS di Indonesia saat ini. Kaum perempuan yang selama ini dianggap sebagai kelompok rentan dan lemah, justru memiliki peran fundamental dalam struktur organisasi. Mereka dianggap sumber finansial yang berpengaruh pada keberlangsungan jamaah.
Kondisi ini praktis membuat kaum perempuan memiliki daya tawar dan kekuatan untuk menentukan kebijakan kelompok.
Kasus yang terjadi pada Ika Puspitasari di atas, secara jelas menggambarkan tentang bagaimana dominasi gender itu berubah. Selaku pemilik modal, ia mampu mengkontrol dan mengkoordinir anggota-anggota ISIS untuk melakukan aksi amaliyah di Indonesia. Selain, juga adanya dorongan akan pemenuhan hak yang sama bagi perempuan untuk bisa berkonstribusi dalam perjuangan.
Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), dalam laporan yang dirilis 31 Januari 2017, mencatat bahwa ada pergerakan nyata tentang para perempuan yang ingin ikut berperan dalam kelompok. Penelitian menunjukkan, keterlibatan itu justru atas dasar inisiatif mereka. Perempuan sepertinya juga ingin berjuang dan mengambil jatah dalam aksi-aksi teror.
"Wanita ingin mendapatkan haknya untuk diakui sebagai pejuang," tulis IPAC dalam laporannya.
Karenanya, kita bisa melihat pada kasus Dian Yulia Novita, perempuan asal Cirebon yang pernah menjadi TKW di Taiwan. Dirinya ditangkap Densus 88/AT setelah diduga akan melakukan aksi bom bunuh diri di depan Istana Kepresidenan, Jakarta. Kasus ini sempat menggegerkan publik, sebab Dian dianggap sebagai calon ‘pengantin’ perempuan pertama dalam sejarah terorisme di Indonesia.
Lantas, tindakan seperti apa yang harus diambil untuk mengatasi persoalan seperti ini? Salah satu alternatif yang bisa dilakukan yakni dengan memanfaatkan peran perempuan dalam upaya pendampingan, terutama mereka yang dulu pernah terpapar ideologi teror. Hal seperti ini penting untuk dilakukan, agar memungkinkan terjadi komunikasi secara intensif. Selain juga, mereka mampu memahami bahasa dan kultur budaya yang dibangun lewat jaringan lamanya.
Ika menjadi salah satu contoh real atas keberhasilan dari proses pendampingan tersebut. Fakta terbalik yang Ika temukan saat berada dalam jaringan, membuat dirinya tertipu dan merasa dimanfaatkan. Penjara membuat dirinya belajar dan mengevaluasi atas ideologi yang selama ini ia pelajari lewat kelompok lamanya.
Rasa kekecewaan tersebut, perlahan membuat dirinya berani untuk tampil dan bersuara melawan doktrin yang dianggap keliru. Faktor ini pula yang mendorong Ika untuk bergabung bersama Ruangobrol sebagai salah satu credible voice yang berperan aktif menyuarakan isu-isu perdamaian.
Semoga kedepannya, kerja-kerja baik seperti ini tidak saja berhenti di Ika, namun juga mampu melahirkan Ika-Ika yang lain untuk sama-sama melawan dogma yang menyimpang jauh dari marwah Islam yang sesungguhnya.
Komentar