Inspirasi Teror Masjid Singapura Berawal dari Teror Christchurch

Other

by Rizka Nurul

Baru-baru ini, publik Singapura dikejutkan oleh penangkapan seorang pemuda yang berencana melakukan aksi teror di dua masjid di negara itu. Pihak keamanan Singapura, Internal Security Act (ISA), mengamankan pemuda tersebut pada 27 Januari 2021.

Berdasarkan penyelidikan yang dilakukan, dia akan melakukan aksi pada tanggal 15 Maret 2021. Pemilihan waktu itulah yang membuat kasus ini menjadi menarik. Pada tanggal yang sama, dua tahun yang lalu, terjadi aksi penembakan di sebuah masjid di daerah Christchurch, Selandia Baru. Pemuda 16 tahun itu sengaja ingin memperingati aksi teror tersebut dengan melancarkan serangan di Masjid Assyafaah, Sembawang dan Masjid Yusof Ishak, Woodland yang tidak jauh dari rumahnya.

Masih terbilang sangat muda, Pemuda yang teridentifikasi sebagai penganut Kristen Protestan ini teradikalisasi secara online setelah menonton video penembakan Selandia Baru. Sama seperti halnya teror di Christchurch, pemuda tersebut berencana akan menyiarkan secara langsung serangan yang dilakukan. Dendamnya terhadap Islam dimulai setelah melihat video-video mengenai ISIS. Ia melihat ISIS sebagai wujud Islam yang sering membunuh orang-orang yang tidak sepaham.

Untuk menjalankan rencananya, dia bermaksud mencuri kartu kredit sang ayah yang akan digunakan untuk menyewa mobil. Meski tidak memiliki surat izin mengemudi, tetapi dia yakin dapat mengendari mobil tersebut ke dua lokasi masjid. Lalu sebagai senjata, Pemuda ini membeli sebuah parang di pasar online Carousell pada November 2020 lalu.
Inspirasi Teror ke Teror

Aksi teror di berbagai belahan dunia, memang nampak saling berkaitan. Satu aksi kemudian menginspirasi aksi lainnya. Bahkan, hal itu terus terjadi hingga lahir aksi-aksi teror yang lebih besar.

Bom Bali I terinspirasi dari aksi Al Qaeda yang melakukan serangan di tanah Amerika Serikat pada 9 September 2001. Sekelompok pemuda yang terafiliasi dengan Jamaah Islamiyah (JI) merasa perlu melakukan pembalasan atas saudara sesama Muslim yang tertindas oleh Negara Adi Daya itu. Berawal dari meledakan bom di malam Natal yang relatif kecil, peristiwa 9/11 berhasil memotivasi mereka untuk membuat perencanaan bagi aksi teror yang lebih besar.

Tidak berhenti di peristiwa Bom Bali I. Ledakan dahsyat yang membunuh ratusan orang itu justru menyulut semangat anggota yang lain untuk menjalankan aksi teror serupa. Menyusul setelahnya, aksi teror lanjutan seperti Bom Kedutaan Besar Australia, Bom di Hotel JW Marriott, Bom Bali II dan sederet aksi peledakan bom yang lain.

Bukti lain bahwa aksi-aksi teror itu saling menginspirasi datang dari seorang narapidana teroris (napiter) perempuan asal Purworejo, Ika Puspitasari. Dia mengaku bahwa dirinya masuk dalam kelompok teror karena terinspirasi dari aksi peledakan bom di Gereja Kepunton Solo. Aksi tersebut mendorong Ika aktif melakukan pendanaan dan meminta DPO untuk melakukan aksi bom.

Serangan atau aksi teror secara terus menerus digunakan sebagai narasi oleh kelompok ekstremis untuk memantik orang-orang yang teradikalisasi melakukan hal yang sama. Akibatnya, satu aksi akan diikuti dengan aksi yang lainnya. Bahkan, narasi ini digunakan sebagai upaya regenerasi bagi kelompok teror untuk dikembangkan menjadi aksi yang lebih besar.

Hadirnya Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Ekstrimisme (RAN PE) di Indonesia tentu diharapkan dapat memutus regenerasi ini. Sehingga masyarakat tidak mudah terpicu oleh hal-hal radikal. Penangkapan Pemuda 16 tahun di Singapura kembali menjadi pengingat bahwa aksi teror dapat menginspirasi terjadinya aksi teror lain. Hal ini menjadi semakin cepat dan meluas dengan perkembangan dunia digital. Oleh karena itu, narasi-narasi pencegahan perlu dikembangkan baik dari sisi digital maupun cetak sebagai pencegahan dini dari terorisme dan radikalisme.

Komentar

Tulis Komentar