Pendakwah kondang, Ustad Abdul Shomad atau sering disingkat UAS mengalami pengalaman buruk saat hendak ke Singapura. Ia ditolak oleh imigrasi Singapura saat hendak berlibur bersama keluarga melalui Batam, Kepulauan Riau, Senin (16/5/2022).
Peristiwa tersebut lalu ia bagikan melalui sosial media. Dia menambahkan bahwa otoritas Singapura memperlakukannya layaknya seorang teroris lantaran ditempatkan di dalam ruangan isolasi yang diakuinya seperti sel penjara. Walhasil, unggahan UAS tersebut viral dan menjadi sorotan banyak kalangan.
Buntut penolakan UAS, Predisidium Alumni (PA) 212 melalui gerakan Pertahanan Ideologi Sarekat Islam (PERISAI) menggelar aksi unjuk rasa di depan Kedutaan Singapura di Jakarta, Jum’at (20/5/2022).
Massa unjuk rasa mengecam dan menuntut agar pemerintah Indonesia mengusir Duta Besar Singapura untuk dipulangkan ke negaranya jika tidak meminta maaf dalam kurun waktu 2x24 jam. Tak hanya itu, massa juga menyerukan kepada seluruh peserta demo untuk memboikot Singapura, termasuk tidak lagi belanja maupun berlibur ke negara singa tersebut.
Lalu, kenapa dia ditolak masuk ke Singapura? Apa yang menjadikan dia memiliki magnet begitu besar sehingga mampu menggerakkan massa?
Membaca fenomena ini, tentu penting bagi kita mengetahui siapa sebenarnya UAS dan bagaimana latar belakangnya.
Ustad Abdul Shomad memiliki nama lengkap Abdul Shomad Batubara dan bergelar Datuk Seri Ulama Setia Negara. Ia lahir dari pasangan Bakhtiar dan Rohana di Asahan, Sumatera Utara pada 18 Mei 1977. Dari pihak ibu, sanad keturunannya bersambung pada Syaikh Abdurrahman dan berjuluk Tuan Syaikh Silau Laut I, seorang ulama sufi asal Minangkabau.
Sejak usia dini, UAS sudah dikenalkan oleh kedua orang tuanya dengan pendidikan agama. Mulai dari saat duduk di bangku sekolah dasar, hingga menginjak perkuliahan dengan mengambil program Al Qur’an dan Tafsir pada Fakultas Ushuludin di UIN Sutan Syarif Kasim (UIN Suska) Riau, Pekanbaru.
Di tengah masa studi, dia sempat mengikuti program beasiswa dari Universitas Al Azhar Kairo, Mesir dan dinyatakan lolos. Tahun 1998, ia kemudian berangkat ke Mesir dan dan memutuskan untuk tidak lagi melanjutkan di UIN Suska Riau.
Tahun 2002, UAS menyelesaikan pendidikannya di Al Azhar dan berhasil mendapat gelar Lc (setingkat S1). Tahun 2004, ia kemudian melanjutkan pendidikannya di Darul Hadits Al Hassaniyah Rabat, Maroko untuk program S2 dan selesai tahun 2005. Setahun kemudian, UAS melanjutkan studi di program doctoral di Universitas Islam Omdurman Sudan dan selesai pada tahun 2009.
Selain berhasil menamatkan karir pendidikannya hingga doktor, UAS juga dikenal cukup rajin menterjemahkan buku-buku berbahasa Arab ke dalam Bahasa Indonesia. Paling tidak, ada 8 karya yang sudah ia terjemahkan. Selain itu, UAS juga diketahui menulis banyak buku. Total ada 15 judul buku yang sudah ia tulis sepanjang karirnya.
Melihat latar belakang, pengetahuan agama Islam dan pengalamannya dalam dunia pendidikan, sangat wajar jika UAS kemudian begitu diulamakan di kalangan masyarakat. Tak sekedar mahir dan menguasai hukum Islam, UAS juga lihai dalam bertutur dengan dialek khas melayunya. Ini terlihat dari setiap ceramah-ceramah yang ia sampaikan dalam bahasa yang terstruktur dan rapi.
Da’i perkotaan dan masyarakat urban
Soal fenomena UAS ini, paling menarik adalah bahwa dia tidak muncul secara tiba-tiba. Jauh sebelum sosmed menjadi alternatif dan digunakan oleh banyak kalangan dai, UAS sudah lebih dulu populer. Fakta menariknya, UAS justru lahir dari masyarakat urban. Makanya kalau kita lihat, UAS sebenarnya justru lebih banyak dikenal di daerah-daerah, bukan masyarakat perkotaan. Fungsi sosmed inilah yang belakangan menjadi bridging bagi UAS untuk bisa masuk ke level kota.
Paling tidak, ada beberapa tokoh ulama yang lahir dari masyarakat urban selain UAS. Seperti KH. Anwar Zahid, KH. Idrus Romli, Gus Muwafiq, dan Ustad Das'ad Lathif.
Nama mereka besar dan dikenal masyarakat meski pun tidak memiliki garis keturunan habib. Sebelum sosmed ada, mereka banyak mendominasi pasar dakwah di tingkat masyarakat bawah.
Kondisi ini sangat jauh berbeda tentunya dengan dai-dai perkotaan. Paling tidak ada beberapa nama populer, seperti Ustad Adi Hidayat, Khalid Basalamah, dan Syafiq Basalamah.
Ustaz-ustaz ini memiliki pasar dakwahnya secara spesifik, yakni kelas menengah-atas. Dakwah yang mereka gelar seringkali dilakukan di perkotaan (masyarakat kota). Misalnya, kajian mereka seringkali digelar di masjid-masjid agung.
Lalu, ada pula dai-dai yang sering diasumsikan dekat dengan kalangan milenial. Sebut saja Ustaz Hanan Attaki, Habib Husein Ja’far, Ustad Handy Bonny, Ustad Evie Effendi atau Ustad Hilman Fauzi. Mereka ini dianggap sebagai representasi anak-anak muda dan fashionable.
Mereka menggunakan outfit cukup menarik sebagai symbol atau ciri khas untuk menarik minat kalangan milenial. Misalnya, mengganti peci dengan topi dan memakai sweater atau hoodie, baju kemeja, kaos ketimbang gamis atau busana-busana yang dianggap syar’i.
Dibandingkan dengan dai-dai perkotaan lain seperti Adi Hidayat, Khalid maupun Syafiq Basalamah, dai-dai milenial ini pasarnya relatif lebih spesifik. Metode dakwah yang mereka gunakan tidak bisa masuk untuk kalangan umum, terutama orang tua.
Adapula dai yang bisa diterima oleh kalangan umum, namun dianggap sangat elitis. Ini bisa dilihat pada tokoh seperti KH. Quraish Syihab. Termasuk juga dai-dai selebritis yang biasa mejeng di layar televisi. Mereka ini seringkali hanya “digunakan” oleh kalangan tertentu saja, bukan untuk masyarakat secara umum.
Sementara tokoh-tokoh seperti UAS dan semisalnya, pasar dakwahnya dapat diikuti oleh kalangan umum dari berbagai suku dan usia. Bahkan seringkali pengajian-pengajian mereka digelar di tempat-tempat terbuka seperti lapangan atau alun-alun.
NU Hybrid
Selain itu, fakta lain yang penting untuk diketahui bahwa UAS disebut-sebut sebagai NU Hybrid. Hal ini dikarenakan dia lahir dan besar dari rahim NU. Ini bisa dilihat dari beberapa ceramahnya yang mengatakan bahwa dia bangga menjadi warga NU. Bahkan dia juga seringkali menganjurkan jama’ahnya untuk rajin membaca Yasin maupun mengikuti Tahlilan.
Indikator lain, UAS melakukan kunjungan ke kediaman Habib Lutfi Bin Yahya di Pekalongan pada 2019. Dalam kunjungan tersebut, Habib Yahya berpesan kepada UAS untuk membesarkan NU dan memanggil dia sebagai Masyikhah NU.
UAS juga beberapa kali menerima undangan ke kantor PWNU dan melakukan sowan ke sejumlah tokoh-tokoh NU. Bahkan dalam Muktamar NU ke-34 di Lampung pada Desember 2021 kemarin, nama UAS dan Gus Baha masuk dalam jajaran tokoh potensial untuk dicalonkan sebagai Ketua Umum PBNU, menggantikan kepemimpinan KH. Said Agil Shiraj.
Pandangan NU secara umum terhadap UAS perlahan bergeser diakui semenjak UAS menyatakan sikap dukungan kepada Capres Prabowo dalam Pilpres 2019. Ini tentu imbas dari adanya klaim yang menuding bahwa pasangan Prabowo – Sandi banyak didukung oleh kalangan muslim konservatif, termasuk kelompok radikal. Selain juga banyak ceramah-ceramahnya yang dianggap kontroversial.
Lebih jauh, UAS bahkan pernah dituding mendukung HTI. Karena berbagai hal inilah, UAS beberapa kali mengalami penolakan di berbagai wilayah. Salah satunya dan sempat viral, yakni saat UAS ditolak oleh sejumlah ormas ketika hendak mengisi ceramah Maulid Nabi di Denpasar, Bali pada 2017 silam.
Terbaru, terdapat dua tokoh populer yang kini posisinya juga di persimpangan jalan. Keduanya adalah Gus Baha dan Buya Arrazy Hasyim.
Kedua tokoh di atas memiliki karakter menarik, namun juga banyak yang melirik. Sebab, meski keduanya merupakan tokoh NU, namun pendekatan yang mereka lakukan dapat diterima oleh berbagai kalangan. Di sisi lain, ada kekhawatiran publik jika keduanya akan cenderung pada kelompok konservatif. Hal ini bukan tanpa alasan, mengingat keduanya dapat diterima oleh kalangan kelompok jihadi. Juga dianggap cukup netral dan tidak berafiliasi pada kepentingan politis apapun di tubuh NU.
Bahkan pada Maret lalu, sebanyak 86 eks-napi teroris sempat melakukan kunjungan ke pesantren pimpinan Gus Baha di Rembang dalam rangka kegiatan “Hijrah untuk Negeri” yang difasilitasi oleh Densus 88.
Kekuatan sosial media
Perkembangan teknologi, diakui atau pun tidak sangat memiliki peranan penting dalam dunia dakwah, terutama kecepatan dalam menyampaikan pesan. Peluang ini, diperhatikan betul oleh kalangan dai, termasuk di dalamnya UAS.
Karenanya, tidak mengherankan jika saat ini banyak dari mereka yang memiliki akun official di berbagai platform media. Misalnya pada UAS, di akun Facebook miliknya, dia memiliki pengikut sebanyak 36.914 followers. Sementara di kanal Youtube miliknya, jumlahnya mencapai 2,7 juta subscriber. Di akun Twitter, ia memiliki 21 ribu followers. Adapun di akun Instagram, ia memiliki jumlah pengikut paling tinggi yakni sebanyak 6.5 juta followers.
Kenyataan ini, selain memberi akses kemudahan untuk berbagi informasi, juga mampu menjaring pengikut dari kalangan internasional. Termasuk juga memanfaatkan sosial media untuk aktivitas penggalangan dana.
UAS di mata kelompok radikal
Lalu bagaimana UAS di mata orang-orang yang terafiliasi pada jaringan kelompok radikal? Terdapat pro dan kontra akan status UAS di kalangan kelompok ini, terutama yang terafiliasi pada jaringan Jama’ah Islamiyah (JI) maupun Jama’ah Anshorud Daulah (JAD).
Dalam pandangan JI, UAS dinilai sangat baik dan membawa pesan positif. Muatan dakwah yang selama ini disampaikan oleh UAS, dianggap sesuai konteks kaidah Islam dan tidak condong pada kepentingan kelompok mana pun. Dengan kata lain, UAS dianggap mampu menempatkan setiap persoalan secara bijaksana.
Dalam pandangan politik, saat UAS menyatakan sikap dukungan kepada Prabowo – Sandi dalam Pilpres lalu, langkah ini dianggap cukup krusial sekaligus memantapkan posisi yang harus dipilih oleh JI. JI melihat, sikap politis UAS tersebut bukan sekedar dukungan politik. Melainkan juga adanya kesamaan arah perjuangan dalam membangun Islam, terlebih ketika UAS juga setuju dengan ide khilafah di Indonesia.
Pernyataan sikap ini sangat jauh bertentangan dengan simpatisan JAD. Jauh-jauh hari, mereka tegas menolak UAS dan tidak menjadikan setiap materi ceramahnya sebagai rujukan dalil. UAS disebut sebagai ustaz plin-plan, bahkan ada yang menyebutnya sebagai Ahlul Ahwa, yakni dianggap tidak konsisten dan memiliki pendirian yang berubah-ubah.
“Bagi siapa pun yang masih ngambil ilmu sama U4S, ana sarankan lebih baik tinggalkan saja. U4S itu, selain AQIDAH dan manhajnya menyimpang dia juga ustad PLIN – PLAN,” ujar seorang simpatisan JAD dalam unggahan status di laman facebook miliknya.
BACA JUGA: Mengapa UAS ‘dicekal’ Berceramah di Kampus Biru UGM?
Lebih jauh, bahkan tidak jarang dari kelompok ini menyebut UAS sebagai seorang ustad yang telah murtad. Hal ini lantaran UAS masih dianggap mengakui Indonesia sebagai negara Pancasila dan turut mengkampanyekan pemilu, baik saat Pilpres maupun Pemilukada (Pemilihan Umum Kepada Daerah). (*)
Membaca Arah Ustaz Abdul Somad, NU Hybrid hingga Pandangan Kelompok Radikal
Otherby Kharis Hadirin 30 Mei 2022 7:24 WIB
Komentar