Kisah Eks ISIS Munir Kartono: Kami ini Jamaah Sosmed

News

by Eka Setiawan

Kelompok teroris ISIS memanfaatkan internet dan berbagai platform media sosial untuk melanggengkan aksinya. Mulai dari pendanaan teror hingga merekrut anggota dari individu-individu yang rentan. Soal pendanaan, miliaran rupiah diraup. Dana itu kemudian dipakai untuk berbagai keperluan, di antaranya; dikirim ke keluarga narapidana terorisme (napiter), membantu keberangkatan orang Indonesia ke Suriah untuk bergabung ISIS hingga membiayai aksi teror di Indonesia.

Hal itu diungkapkan Munir Kartono, mantan napiter yang kini telah bertobat, berdiri di garda depan aktivitas pencegahaan berkembangnya terorisme di Indonesia. Munir, demikian sapaan akrabnya, mengemukakan uang yang dikumpulkannya melalui internet dipakai untuk berbagai keperluan kelompok ISIS.

“Dana yang terkumpul besar sekali, sampai miliaran, kalau ditotal bisa lebih dari Rp9miliar,” kata Munir ketika ditemui di Kota Semarang pekan lalu. Munir ketika itu menjadi pembicara Kuliah Umum Kebangsaan “Bahaya Virus Propaganda Radikalisme Terorisme di Media Sosial” yang digelar di Kampus Soegijapranata Catholic University (SCU) Semarang.

Proses terpaparnya Munir hingga mau bergabung kelompok ISIS, sekira 10 tahun silam, cukup panjang. Dari mulai ikut kelompok-kelompok “kiri” hingga “lompat pagar” ke kelompok “kanan”. Dia akhirnya mau bergabung ISIS karena merasa dihargai kontribusinya. Munir pintar dengan apapun hal yang berhubungan dengan komputer. Seperti gelarnya, Sarjana Komputer.

Semangatnya ketika itu, “ikut bagian dari perjuangan besar Islam” melawan negara yang dianggap musuh. Berangkat dari situ pula, Munir, akhirnya bersedia pula mencari dana untuk keperluan aksi bom bunuh diri di Mapolresta Surakarta, Juli 2016 silam.

Sehari-hari tinggal di Gunungputri, Bogor, Munir mengaku cukup sering ke Surakarta sebelum aksi bom bunuh diri. Berjumpa dengan karibnya, yakni Bahrunnaim, bermain biliar sembari berdiskusi tentang “perjuangan Islam”.

“Kami ini membuat propaganda di medsos, sasarannya berbagai segmen, anak muda, dewasa maupun orang tua yang kami lihat punya semangat keislaman, termasuk anak-anak band. Itu target kami, kami cari titik lemahnya,” lanjutnya.

Platform medsos yang digunakan awalnya adalah Twitter, sebelum merambah ke Facebook hingga Telegram. Narasi yang dipakai adalah keadaan di Suriah, khususnya di wilayah yang jadi “perjuangan” ISIS. Narasi-narasi dibalut sedemikian rupa, disusupkan ke berbagai konten. Ada semacam harapan “jaring yang ditebar, akan mendapat ikan”.

“Kami ini aslinya jamaah sosmed, propaganda kami tergantung pada sosmed. Isu yang kami bawa banyak,” sebut Munir yang kini juga sempat bekerja sebagai Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (Pantarlih) untuk Pemilu 2024 mendatang.

[caption id="attachment_15290" align="alignnone" width="1500"] Munir digandeng Rektor SCU Dr. Ferdinandus Hindiarto[/caption]

Dia mewanti-wanti untuk semuanya tetap waspada. Sebab, teroris tidak bisa dilihat dari ciri-ciri luarnya, mulai dari gaya bicara, gaya rambut ataupun gaya berpakaian. Munir, ditangkap Densus 88 pasca-bom bunuh diri di Mapolresta Surakarta. Divonis 5 tahun penjara, menjalani hukuman 3,8 tahun dan bebas tahun 2020 lalu. Setelah bebas, bersama pendampingan dari tim, sempat meminta maaf kepada Bambang Adi Cahyanto secara langsung. Bambang adalah anggota Polresta Surakarta yang ketika itu jadi korban ledakan bom bunuh diri yang dilakukan Nur Rohman.

Munir ketika itu menemui Bambang di komplek Stadion Manahan hingga Balai Kota Surakarta. Acara rekonsiliasi itu disaksikan Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka. Munir dan Bambang juga sempat diundang Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo untuk podcast, bercerita tentang apa yang terjadi di masa lalu untuk jadi pelajaran ke depan.

Komentar

Tulis Komentar