Global Terrorism Index (GTI) 2022 melaporkan Indonesia menempati peringkat ke-24 dari seratusan negara di dunia yang terdampak terorisme. Skornya 5,500. Peringkat yang dibuat GTI ini berdasarkan data aksi terorisme sepanjang tahun 2021. Posisi ini turun dari tahun 2021, di mana GTI menempatkan Indonesia di peringkat ke-20.
GTI mendefinisikan terorisme sebagai ancaman sistematis atau penggunaan kekerasan oleh aktor non-negara, yang bertujuan untuk mengkomunikasikan pesan politik, agama atau ideologi tertentu dengan membangkitkan rasa takut dan mencoba mengubah perilaku masyarakat.
GTI mengukur dampak terorisme berdasarkan empat indikator, yakni jumlah insiden, jumlah korban jiwa, korban luka, dan kerusakan properti akibat aksi teror di tiap negara. Indikator tersebut kemudian diolah ke dalam rentang skor 0-10. Semakin tinggi skornya, maka dampak terorisme yang terjadi di negara tersebut dianggap semakin buruk.
GTI menyebut Filipina adalah negara yang mengalami kasus terorisme paling parah di kawasan Asia Pasifik. Pada 2021 Filipina mendapat skor GTI 6,790. Ini merupakan angka tertinggi di kawasan Asia Pasifik atau peringkat ke-16 dari 163 negara yang disurvei. Jumlah kematian akibat aksi terorisme di Filipina mencapai 53 orang pada 2021, berkurang dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 97 orang.
Kemudian ada Thailand dengan skor GTI 5,723, menempatkannya di peringkat ke-2 Asia Pasifik atau urutan ke-22 secara global. Menurut GTI, pada 2021 ada 7 kematian akibat terorisme di Thailand. Namun, jika diakumulasikan kasus terorisme di Negeri Gajah Putih itu sudah memakan 776 korban jiwa selama periode 2011-2021.
Setelahnya ada Indonesia, yang menjadi negara dengan dampak terorisme terburuk ketiga di Asia Pasifik. Pada 2021 Indonesia mendapat skor GTI 5,5 poin dan berada di peringkat ke-24 secara global.
Menurut GTI, jumlah aksi teror di Indonesia pada 2021 turun 24%, namun jumlah korban jiwanya meningkat 85%. Pada 2021 rata-rata ada 1,5 kematian per serangan teroris di Indonesia, sedangkan tahun sebelumnya hanya 0,6 kematian per serangan.
“Sebagian besar serangan terorisme di Indonesia berasal dari kelompok separatis seperti Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat. ISIS/IS juga mengklaim bertanggung jawab atas 2 serangan yang mengakibatkan kematian 4 petani pada 2021,” demikian dikutip dari laporan GTI.

Bergeser
Penetapan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang termasuk di dalamnya Organisasi Papua Merdeka dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat sebagai kelompok teror oleh pemerintah Indonesia pada April 2021, menjadikan tren serangan teror mulai bergeser. Serangan teror tidak lagi didominasi kelompok “ekstrem keagamaan” tetapi justru mulai didominasi oleh kelompok teroris baru, yakni KKB.
Bila mengacu pada indikator-indikator yang dipakai oleh GTI dalam laporan yang dikutip di atas, sangat mungkin ranking Indonesia akan kembali naik. Karena GTI didasarkan pada kasus secara keseluruhan tanpa memilah kelompok pelakunya. Untuk kasus serangan teror oleh kelompok ‘ekstrem keagamaan’ memang menurun drastis. Tetapi kasus serangan teror yang dilakukan KKB mulai meningkat.
Butuh Penanganan yang Berbeda?
Undang-Undang nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang, disebutkan bahwa aparat penegak hukum diberikan kewenangan untuk melakukan penindakan dalam rangka pencegahan aksi terorisme dengan bukti-bukti awal yang cukup.
Maka, sejak aturan baru itu bergulir, penangkapan terduga teroris didominasi oleh penangkapan dalam rangka pencegahan aksi terorisme. Namun, upaya itu baru dilakukan pada kelompok “ekstrem keagamaan”. Ini membuat aksi terorisme yang membalut aksinya dengan kedok ajaran agama tertentu menjadi menurun drastis kuantitasnya.
(baca juga: Catatan Akhir Tahun Penanggulangan Terorisme)
Tapi, bagaimana dengan aksi terorisme yang dilakukan oleh KKB Papua? Apakah bisa dilakukan operasi penegakan hukum dalam rangka pencegahan seperti pada kelompok “ekstrem keagamaan”?
Secara kemampuan dan dasar hukum, tentu pertanyaannya bukan bisa atau tidak. Tetapi mau atau tidak. Karena sejatinya sudah menjadi kewajiban sebab ada UU yang mengharuskannya.
Lalu bila sudah mau, apa kendala dan tantangannya? Kendala dan tantangan pasti ada dan berbeda dengan penanganan pada kelompok “ekstrem keagamaan” karena memiliki karakteristik yang sangat berbeda.
Kendala dan tantangannya ini wajib dijelaskan kepada masyarakat. Agar masyarakat tidak menilai bahwa penanganan terorisme ini “berat sebelah” karena lebih banyak terfokus pada kelompok “ekstrem’ keagamaan”.
Penjelasan ini mutlak diperlukan agar masyarakat tidak selalu menyalahkan pemerintah ketika ada kejadian yang mengindikasikan kegagalan pemerintah. Tentu saja penjelasan terbaik harus disertai dengan pembuktian di lapangan.
Apalagi di tahun politik ini, isu kegagalan pemerintah di bidang apapun akan menjadi komoditas yang empuk untuk diolah dalam kampanye kelompok-kelompok yang sedang bertarung meraih pengaruh.