Catatan Akhir Tahun Penanggulangan Terorisme

Analisa

by Arif Budi Setyawan

Tak lama lagi kita akan memasuki awal tahun 2023 yang tentunya dengan membawa harapan baru. Bila di sepanjang tahun 2022 ini ada beberapa kegagalan atau kesalahan-kesalahan baru, maka di tahun 2023 nanti merupakan kesempatan untuk memperbaikinya. Dan bila sepanjang tahun 2022 ada pencapaian-pencapaian baru, maka di tahun 2023 nanti adalah kesempatan untuk meningkatkannya lagi.

Dalam ranah penanggulangan terorisme di Indonesia, di sepanjang tahun 2022 saya mencatat ada dua kejadian dan satu fenomena yang cukup menyita perhatian. Minimal perhatian saya sebagai aktivis dan pemerhati isu penanggulangan terorisme.

Dua peristiwa itu adalah penembakan dokter Sunardi pada 9 Maret 2022 dan serangan bom bunuh diri Polsek Astana Anyar Bandung pada 7 Desember 2022 yang lalu. Sedangkan satu fenomenanya adalah ramai-ramai cabut baiat para eks anggota JI di beberapa wilayah.

Dua kejadian itu menuntut adanya evaluasi, sedangkan untuk fenomenanya memerlukan tindak lanjut agar bisa memberikan dampak yang lebih besar lagi dalam pencegahan terorisme.

Penangkapan yang berujung dengan penembakan hingga mengakibatkan dokter Sunardi meninggal sempat menjadi trending topik yang hangat diperbincangkan. Rata-rata masyarakat mempertanyakan apakah benar dokter Sunardi terlibat terorisme? Bukankah itu kontradiktif?

Betapa pun pihak kepolisian menyampaikan bahwa dokter Sunardi merupakan tokoh penting Jamaah Islamiyah yang berdasarkan gelar perkara sudah masuk kategori tersangka. Tetapi masyarakat tetap akan sulit menerima.

Masyarakat kita memang lebih mudah terpengaruh emosinya daripada logika itu hanya salah satu penyebabnya. Namun ada sebab lain yang harus dijelaskan dan disosialisasikan kepada masyarakat.

Masyarakat kita masih banyak yang bingung dalam memahami seluk beluk kelompok-kelompok teroris di Indonesia. Masih banyak yang menganggap teroris itu satu jenis. Antara yang suka menyerang polisi dengan yang mengumpulkan dana dari kotak infak dianggapnya sama.

Meskipun nama kelompoknya sudah jelas disebut beda Jamaah Ansharut Daulah (JAD) atau Jamaah Islamiyah (JI), tetapi kebanyakan masyarakat masih menganggap paham terorisme keduanya sama.

Masyarakat yang diharapkan akan menjadi partner dalam pencegahan dan penanggulangan terorisme seharusnya diberikan penjelasan yang memuaskan. Jika tidak memuaskan, maka jangan kaget bila yang terjadi adalah masyarakat justru semakin abai akan isu radikalisme-terorisme ini. Mereka hanya akan ramai komentar tapi tak bisa memahami.

Pemerintah seharusnya harus bisa menjelaskan dengan baik, bahwa memberikan dukungan kepada kelompok atau organisasi yang telah ditetapkan sebagai organisasi teroris bisa dikenakan pidana berdasarkan UU Terorisme No 5 tahun 2018. Maka, siapa pun yang berdasarkan bukti-bukti awal dianggap menjadi pendukung kelompok teroris, bisa ditangkap. Baik ia merupakan seorang dokter, pengusaha, guru, karyawan, ASN, atau bahkan tokoh agama.

Terorisme memang menjadi fitnah (ujian) bagi bangsa ini. Menurut pendapat saya, semakin banyaknya pemangku kebijakan yang terlibat di isu ini belum diiringi dengan semakin meningkatnya penjelasan soal isu ini kepada masyarakat.

Banyak masyarakat yang menganggap isu ini hanya menghabiskan anggaran negara dan ternyata masih saja tetap ada. Bahkan ada sebagian masyarakat yang menuduh isu terorisme ini sengaja dipelihara agar negara kelihatan hebat di mata rakyat.

Pertanyaannya: penjelasannya yang kurang atau masyarakatnya yang kurang peduli? Atau masyarakat sudah semakin tidak percaya dengan pemerintah?

Inilah tantangan yang harus dijawab pada masa yang akan datang dan sifatnya urgen. Sudah mendesak untuk segera dilakukan. Harus ada penjelasan yang memuaskan sehingga masyarakat setidaknya mendukung semua upaya yang dilakukan pemerintah.

Apalagi mendekati tahun-tahun politik, dikhawatirkan kelemahan yang ada dalam kebijakan penanggulangan terorisme ini menjadi komoditas politik kelompok tertentu yang ingin mendapatkan keuntungan dari situasi ini.

Bom Bunuh Diri di Bandung dan Persoalan Program Deradikalisasi

Pelaku bom bunuh diri di Polsek Astana Anyar Kota Bandung pada 7 Desember 2022 merupakan mantan narapidana teroris (napiter) dari kelompok Jamaah Ansharut Daulah Bandung yang bebas pada Maret 2021.

Fakta ini mengejutkan khalayak. Karena mayoritas masyarakat berasumsi bahwa semua mantan napiter pasti telah menjalani program pembinaan atau deradikalisasi di dalam dan di luar Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Apalagi ada lembaga negara yang dibentuk khusus untuk menangani hal itu, yakni Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Maka, ketika terjadi kasus serangan teror yang dilakukan oleh mantan napiter atau penangkapan terduga teroris mantan napiter, wajar bila masyarakat dan berbagai pihak mempertanyakan efektivitas program deradikalisasi yang dilakukan pemerintah.


BACA JUGA: Menyoal Program Deradikalisasi Setelah Bom Bunuh Diri Mengguncang Bandung

Berubahnya pemikiran dan perilaku pada dasarnya adalah sesuatu yang muncul dari dalam diri seseorang. Dari sini berarti deradikalisasi tidak bisa dipaksakan tetapi hanya bisa ditawarkan. Diterima atau tidak itu kembali pada masing-masing.

Persoalan mendasar yang saya lihat dalam proses deradikalisasi di dalam penjara adalah bagaimana membuat napiter mau menerima dengan sukarela program deradikalisasi. Idealnya pada tataran tertinggi, napiter itulah yang datang atau meminta untuk ikut program deradikalisasi. Karena jika program deradikalisasi itu sudah diinginkan, maka sekecil apapun program yang diterima akan berdampak besar. Sebaliknya, sebanyak apapun program yang ditawarkan bila sepi peminat juga kurang efektif.


BACA JUGA: Mengapa Masih Saja Ada yang Membuat Bom (untuk) Bunuh Diri?

Dalam hal ini ada tiga tantangan yang cukup berat, yaitu si napiter memiliki keluarga dengan pemahaman radikal yang sama, di penjara bersama dengan tokoh-tokoh kelompok teroris yang memiliki pemahaman lebih ekstrem, dan menerima layanan sosial dari para pendukungnya di luar penjara.

Dari tiga tantangan utama program deradikalisasi yang disebutkan di atas, ada satu yang relatif sudah teratasi. Yaitu pemisahan antara tokoh atau napiter dengan level pemikiran sangat ekstrem dengan napiter yang dengan level pemikiran di bawahnya.

Mereka yang dalam kategori sangat ekstrem ini akan ditempatkan di lapas high risk di Nusakambangan dengan sistem yang sangat ketat. Baik dari pengamanan maupun dalam pemberian hak dasar narapidana. Bisa dibilang merupakan lapas yang paling ‘sengsara’ di Indonesia. Pemisahan ini efektif untuk memutus proses saling mempengaruhi antara napiter.


BACA JUGA: Mengurai Rumitnya Persoalan dalam Deradikalisasi

Tetapi ada dua tantangan lain yang belum teratasi, yaitu keluarga yang memiliki paham sama dan adanya layanan sosial dari para pendukung kelompok di luar penjara. Dua hal ini selalu berkaitan erat, karena syarat menerima layanan sosial dari pendukungnya adalah memiliki paham yang sama.

Lalu bagaimana mengatasi dua tantangan besar yang belum teratasi ini?

Sudah sepatutnya program deradikalisasi juga dilakukan kepada keluarga yang ditinggalkan dengan melibatkan masyarakat sekitar. Masyarakat harus bisa menjadi lingkungan alternatif untuk mengatasi persoalan sosial yang dihadapi keluarga napiter. Kehadiran masyarakat sekitar ketika hadir lebih cepat dari para pendukungnya dalam membantu kesulitan keluarga napiter, diharapkan perlahan-lahan akan mempengaruhi pikirannya.

Fenomena Ikrar Setia NKRI dan Cabut Baiat Eks Anggota JI

Fakta bahwa kelompok JI semakin berkembang dalam senyap membuat banyak pihak berpikir keras bagaimana cara menghentikan pergerakan mereka. Apalagi kemudian diketahui bahwa JI memiliki infrastruktur yang cukup kuat. Belakangan kelompok ini membangun banyak lembaga pendidikan dan yayasan-yayasan dakwah atau sosial yang tersebar di seluruh Indonesia.

Meski begitu, penangkapan yang masif pada anggota JI di berbagai wilayah rupanya menimbulkan kekhawatiran bagi sebagian anggota JI lainnya. Mereka khawatir semua anggota aktif JI akan ditangkap.

Mereka yang khawatir ini kemudian berinisiatif ‘menyerahkan diri’ kepada negara dalam rangka ingin melakukan rekonsiliasi. Hal ini setidaknya terjadi pada anggota JI di wilayah Lampung, di mana dalam dua tahun terakhir Lampung termasuk daerah dengan jumlah penangkapan anggota JI terbesar. Upaya mereka ini disambut baik oleh aparatur negara, dalam hal ini Detasemen Khusus Anti Teror Mabes Polri Satuan Tugas Wilayah (Densus 88 Satgaswil) setempat.


BACA JUGA: 

Perjuangan Mantan Anggota JI Lampung Melawan Intimidasi dan Stigma (1)

Perjuangan Mantan Anggota JI Lampung Melawan Intimidasi dan Stigma (2-habis)

Adanya pelepasan baiat dan ikrar setia NKRI eks anggota JI Lampung pada Februari dan Mei 2022 yang lalu adalah awal dari rekonsiliasi. Pada Februari 2022, 120 orang anggota JI melepas baiat dan ikrar setia NKRI dan pada bulan Mei sebanyak 51 orang. Pencapaian ini tentu telah melewati serangkaian proses yang tidak mudah.

Langkah-langkah pembinaan sebelum kegiatan pelepasan baiat dan ikrar setia NKRI itu dimulai sejak Maret - November 2021. Ada kegiatan pembinaan sebanyak 4 sampai 5 kali di Bandar Lampung, Lampung Tengah, Pringsewu, Kota Metro, dan Tulang Bawang Barat.

Kemudian pada akhir Februari 2022, Densus 88 mengadakan pembinaan terpadu berkelanjutan kedua di Villa Garden setelah pembinaan pertama Desember 2021 di Hotel Bukit Randu. Kegiatan ini dihadiri oleh Bapak Kadensus, Kaban Kesbangpol Provinsi Lampung, Perwakilan Pimpinan PP Muhammadiyah Pusat, Ketua PW Muhammadiyah Lampung, Pimpinan NU Provinsi Lampung, KH. Suparman Abdul Karim dan stake holder lainnya. Pada hari terakhir kegiatan di akhir Februari 2022 itulah dilaksanakan acara pelepasan baiat dan ikrar setia NKRI oleh 120 target dari kelompok JI.

Pada perkembangan selanjutnya, banyak juga anggota JI lain yang justru ingin mengikuti jejak 120 yang sudah melakukan islah sebelumnya. Melalui bantuan teman-temannya yang sudah islah, mereka ini kemudian difasilitasi untuk menjalin kontak dengan petugas dari Densus Satgaswil Lampung. Lalu terhadap mereka ini dilakukan screening assesment seperti yang dilakukan pada kelompok pertama.

Hasilnya sejak Maret hingga Mei 2022 didapatkan 51 orang yang memenuhi syarat untuk melakukan kegiatan pelepasan baiat dan ikrar setia NKRI secara massal. Kegiatannya sendiri bisa terlaksana pada 31 Mei 2022 yang lalu.

Cabut baiat dan ikrar setia NKRI yang dilakukan oleh 171 orang mantan anggota JI di Lampung pada Februari dan Mei 2022 kemudian menginspirasi hal serupa di beberapa tempat lain. Di antaranya:

1. Surabaya, Jawa Timur 8 Agustus 2022

Sebanyak 15 eks anggota Jamaah Islamiyah (JI) Jatim berikrar setia ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di Kantor Gubernur Jatim, Senin (8/8/2022). Proses ikrar 15 eks anggota JI dipimpin oleh salah satu eks anggota dan disaksikan pejabat yang hadir.

2. Aceh Tamiang, Nangroe Aceh Darussalam 11 Agustus 2022

Sebanyak 530 orang warga Kabupaten Aceh Tamiang yang sempat terpapar terorisme jaringan Jamaah Islamiyah (JI) kini menyatakan ikrar setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Proses lepas baiat ratusan simpatisan Jamaah Islamiyah tersebut berlangsung di Gedung DPRK Aceh Tamiang, Kamis (11/8), disaksikan Wakil Bupati Aceh Tamiang HT Insyafuddin, Wakil Kepala Detasemen Khusus (Densus) 88 Atiteror Mabes Polri Brigjen Pol Sentot Prasetyo, Direktur Pencegahan Densus 88 Brigjen Pol Tubagus Ami Prindani.

3. Bengkulu 14 Juli 2022

Sebanyak 13 mantan pengikut jaringan terorisme Jamaah Islamiyah (JI) di Bengkulu mengucapkapkan sumpah dan berikrar setia kepada Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 14 Juli 2022. Tiga di antaranya merupakan tersangka kasus terorisme.

4. Kampar Riau 14 Oktober 2022

350 orang anggota dan simpatisan kelompok Jamaah Islamiyah (JI) di Kabupaten Kampar deklarasikan cinta NKRI. Kegiatan itu difasilitasi Unit Identifikasi dan Sosialisasi (Idensos) Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror Polri Satgas Wilayah Riau.

350 kelompok JI berasal dari tiga desa yang ada di Kecamatan Tapung. Yakni Desa Indra Sakri, Desa Tanjung Sawit, dan Desa Sumber Makmur. Kelompok JI Kampar diminta melepas baiat, sebab sebelumnya pernah terpapar paham radikal.

Fenomena ikrar setia eks Jamaah Islamiyah (JI) Lampung dan di beberapa wilayah lainnya di atas membuka sebuah peluang baru dalam pencegahan terorisme di Indonesia. Mereka memiliki potensi besar dalam upaya pencegahan radikalisme-terorisme di Indonesia sebagai credible voices.

Melibatkan mereka dalam program pencegahan terorisme untuk jangka panjang bisa membantu pemerintah sekaligus membantu mereka dalam proses pembuktian kepada masyarakat. Namun tentunya harus ada pembinaan dan pendampingan lebih lanjut agar mereka ini bisa berdaya guna. Inilah yang menjadi tugas para pemangku kebijakan (stakeholder) dan para pegiat dari organisasi masyarakat sipil ke depannya. (*)

Komentar

Tulis Komentar