Kisah Returni: Semangat Jihad Berujung Dilema (4)

Analisa

by Arif Budi Setyawan Editor by Arif Budi Setyawan

Aktivitas di Suriah

Walid baru berpamitan kepada ibunya pada hari H keberangkatannya ke Suriah sebelum berangkat ke bandara. Dan ia menyatakan apa adanya bahwa ia akan pergi ke Suriah bersama kawan-kawannya untuk membantu kaum muslimin di sana. Ibunya pun merestuinya.

Waktu itu ia berangkat ke Suriah tanpa membawa uang saku sepeserpun. Semuanya dicukupi oleh Abu Jandal. Benar-benar hanya bermodal paspor dan hanya membawa pakaian saja.

Pada waktu itu pemeriksaan dan penjagaan di perbatasan masih sangat longgar sehingga tanpa kesulitan berarti ia dan rombongannya bisa masuk ke wilayah Suriah.

Yang datang menjemput mereka di perbatasan Suriah-Turki adalah Wildan Mukhollad anak muda asal Lamongan yang telah lebih dulu ada di sana dan merupakan salah satu orang yang menjadi penanggungjawab atas kedatangan mereka ke tempat itu.

Setelah kurang lebih sebulan berada di kamp itu, dirinya sudah tidak lagi melihat Wildan Mukhollad. Dari kabar yang beredar di sana, Wildan Mukhollad disebut telah pindah tempat penugasan. Sejak saat itu sudah tidak terdengar lagi kabarnya.

Di Suriah ia mengikuti pelatihan militer selama sebulan dan lulus untuk menjadi salah satu petempur. Tetapi ia sehari-hari bertugas di rumah sakit untuk menjaga dan merawat para korban luka dan jenazah mujahidin yang gugur.

Ia sempat menjalani training singkat keperawatan sehingga ia juga sempat dipercaya untuk menangani korban. Ia biasa membantu operasi pengangkatan proyektil, menjahit luka, dan ‘merapikan’ jenazah yang hancur.

Di hari libur bertugas di rumah sakit ia biasanya ikut ribath (berjaga-jaga di perbatasan wilayah yang dikuasai) atau terlibat dalam pertempuran jika ada. Ia dan kelompoknya yang satu kloter dari Indonesia itu bergabung dengan katibah (batalion) Hadramaut. Selain karena masih sedikitnya orang Indonesia yang ada di sana, juga karena ia dan kelompoknya itu adalah orang Arab keturunan Hadramaut.

Pada waktu itu perselisihan antara faksi-faksi yang bertempur di Suriah belum terlihat/terasa. Dan ia tidak peduli dan tidak mau tahu di kelompok mana ia bergabung. Baginya yang penting perang atau pertempuran yang diikutinya jelas membela kaum muslimin Sunni itu sudah cukup.

Memasuki tahun 2014 perselisihan dan perpecahan di kubu mujahidin mulai terlihat semakin memanas. Ia sempat merasa galau dan gamang melihat kondisi itu. Bagaimana jika mujahidin yang membela kaum muslimin tidak bisa bersatu dan malah sibuk bertikai di antara mereka? Apa yang akan terjadi pada jihad mereka?

Ditambah lagi dari sisi psikologis dia sangat tersiksa ketika melihat anak-anak yang menjadi korban perang. Dia paling tidak tega ketika merawat luka-luka atau merapikan jenazah anak-anak. Dalam hatinya menangis keras ketika menyaksikan itu semua. Tapi tidak ditampakkan.

Bayangan bahwa perang akan semakin brutal ditambah mulai adanya perselisihan di antara kelompok pejuang, membuatnya merasa tidak sanggup lagi lama-lama berada di Suriah. Bayangan anak-anak korban perang itu bahkan perlu waktu lama untuk menghilangkan dari pikirannya sepulangnya ke Indonesia.

Di sisi lain ia mulai memiliki keinginan untuk menikah dan melanjutkan kuliah ke jenjang S2. Singkat cerita, kegalauan melihat kondisi jihad di Suriah dan keinginannya untuk menikah dan kuliah lagi membuatnya membulatkan tekad untuk kembali ke Indonesia selagi ada kesempatan.

Ketika berpamitan ia beralasan untuk pulang bertemu keluarga dan para komandan ISIS mengizinkannya karena mereka berpatokan dengan apa yang menjadi kebijakan Umar bin Khaththab RA pada para tentaranya, yaitu merotasi mereka setiap 6 bulan. Dan saat itu ISIS belum mendeklarasikan “kekhilafahan” mereka.

Di kalangan ISIS pada waktu itu memang memiliki kebijakan mengijinkan para petempur mereka yang berasal dari luar Suriah untuk pulang menemui keluarga setelah 6 bulan bertugas. Dan Walid pada waktu itu sudah lebih dari enam bulan bertugas di sana.

Jadi dia bukan melarikan diri atau kabur atau pulang tanpa ijin.

Ia pulang ke Indonesia sekitar bulan Maret 2014 dan kemudian di awal tahun 2015 menikah dengan gadis dari sebuah kampung di mana ada beberapa anggota kelompok pelaku Bom Thamrin tinggal di dekat kampung itu. Pada pertengahan Februari 2016 dirinya ditangkap oleh Densus 88 bersamaan dengan kelompok yang terkait dengan pelaku Bom Thamrin yang tinggal tidak jauh dari kampung istrinya itu.



(Bersambung)

(Foto: Anak-anak korban perang Suriah /Pixabay)

Komentar

Tulis Komentar