Filantropi dalam Kepungan JI

Analisa

by Abdul Mughis

“FKAM bukan organisasi Jamaah Islamiyah, hanya orang-orang Jamaah Islamiyah berkumpul di situ,” Umaier Khadimul Azis menyitir ungkapan Densus 88.


***

 

Senin, 26 September 2022

Siang itu cuaca cukup cerah. Tim riset ruangobrol.id bertolak dari Yogyakarta menuju wilayah Solo Raya. Salah satu tempat tujuannya adalah mencari lokasi kantor pusat Forum Komunikasi Aktivis Masjid (FKAM) yang selama ini kontroversial karena disebut-sebut terafiliasi dengan jaringan Jamaah Islamiyah (JI).

Setelah membelah keramaian Kota Solo dan sempat tersasar saat membaca petunjuk lokasi melalui Google Map, akhirnya tim riset tiba di sebuah gedung megah berwarna biru bertulis “GRHA WAKAF FKAM” yang terletak di Jalan Matoa Raya 1 Nomor 99, Karangasem, Laweyan, Surakarta, Jawa Tengah.

Layaknya sebuah kantor perusahaan, setiap tamu disambut petugas scurity di pos penjagaan. Setelah menjelaskan maksud dan tujuan, tim riset diarahkan menuju ke ruang penerimaan tamu yang cukup luas di lantai 1. Tak berselang lama, dua tokoh penting; Muhammad Kalono, pendiri FKAM dan Umair Khodimul Aziz alias Umair Khaz, Ketua Umum DPP FKAM (anak dari Muhammad Kalono), menyambut tim riset dengan bersahaja.

Tampak banner bertulis Visi dan Misi FKAM di tepi ruangan. Foto-foto dokumentasi moment bersejarah kegiatan FKAM bersama sejumlah pejabat penting negara diabadikan dalam pigura yang berderet di tembok. Pemandangan yang cukup menarik di markas para “laskar jihad” ini terlihat tiga tiang bendera berdiri kokoh dengan posisi bendera Merah Putih diapit dua bendera FKAM di sudut ruangan.

“FKAM saya dirikan pada 1998. Latar belakangnya, saat itu euforia reformasi tumbuh partai-partai yang berpotensi akan terjadi perpecahan. Saya tidak suka adanya perpecahan,” ungkap Kalono mengawali cerita dengan nada bicara pelan.

Berawal di sebuah masjid kecil, Al-Amin Tegalrejo, Sondakan, Laweyan, Surakarta pada hari Rabu, tanggal 21 Rabi’ul Awwal 1419 Hijriyah, tepat pada 15 Juli 1998. Ada enam tokoh di balik berdirinya FKAM, masing-masing: Muhammad Kalono, M Sholeh, Yayan (almarhum), Agus Priyanto, Maman Abdurrahman dan Hebta.

“Kami berenam sudah berazam (bertekad) untuk tidak masuk ke partai-partai. Tujuannya apabila terjadi konflik, kami bisa menjadi penengah. Karena kami sadar bahwa umat Islam ada di banyak partai,” katanya.

Kalono mengakui kompleksitas organisasi Islam di Solo. Maka ia memilih tetap menjalin dan menjaga hubungan dengan para tokoh dari berbagai latar belakang gerakan berbeda-beda. FKAM pun diakuinya dekat dengan aktivis partai.

“Banyak sekali organisasi Islam di Solo. Mulai dari Nahdhatul Ulama (NU), Muhammadiyah, bahkan hingga Jamaah Islamiyah (JI). Itu tidak bisa dihindari,” ungkapnya.

Dia mengakui tidak memiliki riwayat pendidikan pesantren. Namun corak pemikiran politiknya cenderung mengarah ke kelompok agamis. “Sejak SMP tertarik dengan dengan agama. Suka khotbah Jumat dan pernah menjadi ketua remaja masjid di Sukoharjo. Background saya Muhammadiyah,” katanya.

Dia mengaku pemikirannya banyak terinspirasi dari pemikiran tokoh-tokoh Muhammadiyah. Salah satunya Ki Bagus Hadikusuma yang merupakan tokoh Muhammadiyah di balik perumusan Pancasila, UUD 1945 dan figur penting di dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

“Kalau saat itu Ki Bagus Hadikusuma tidak memberikan keputusan ya mungkin kita tidak jadi merdeka,” katanya.

Lahirnya Laskar Jundullah

Pada 2000 silam, ketika Timor-Timur lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Kalono bereaksi keras. “Saya punya emosional yang tinggi. 12 orang Nusa Tenggara Timur (NTT) yang Pro NKRI mati ditembak saat aksi demonstrasi di Atambua,” ungkap dia.

Sedangkan dari kubu Pro Kemerdekaan Timor-Timur ada dua orang tewas dalam insiden tersebut. Amerika Serikat saat itu marah dan melakukan embargo militer.

“Saya—yang masih muda—marah melihat itu, kemudian mendirikan Laskar Jundullah (Tentara Allah) untuk melakukan sweeping terhadap orang Amerika,” bebernya.

Ini menjadi titik perjalanan Kalono mulai dikenal sebagai aktivis lokal “garis keras” yang muncuri perhatian nasional hingga international. Ia kerap bersinggungan dengan isu-isu sensitif. Termasuk mengirim Laskar Jundullah saat terjadi konflik di Ambon, dengan dipimpin Panglima Agus Dwikarna. Meski Agus Dwikarna sendiri akhirnya ditahan oleh militer Filipina karena terlibat dalam aksi pengeboman.

Kalono juga membangun jejaring dengan Hizbullah dan KOMPAK, organisasi sayap kemanusiaan di bawah naungan Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII). Hizbullah sendiri selama ini dikenal sebagai organisasi yang melabeli dengan identitas gerakan Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Posisi Kalono di Hizbullah, yakni membantu memediasi dan sekaligus pembina dalam organisasi tersebut. Sementara KOMPAK, oleh Kalono, difungsikan sebagai “jembatan” untuk mengirim pasukannya di bawah bendera Laskar Jundullah.

Di level lokal, Laskar Jundullah ini kerap memantik kontroversi karena aksi-aksi keras dan cenderung radikal. Mereka mengkampanyekan pemberantasan kemaksiatan dengan aksi turun ke jalan. Fenomena perilaku yang dianggap menyimpang dari ajaran dan nilai agama Islam dilakukan sweeping. Keberadaannya kerap menimbulkan pro-kontra. Ada kelompok masyarakat yang mendukung. Ada pula masyarakat yang menentang gerakan ini.

“Saat itu, kondisi hampir di setiap perempatan jalan di Solo terdapat posko-posko ‘Mega Yes’. Tapi posko-posko itu sering digunakan sebagai tempat mabuk-mabukan. Banyak masyarakat merasa resah. Saya sudah izin kepada Danrem saat itu Heru Sudibyo,” katanya.

Tidak hanya itu, Kalono juga pernah mendirikan Forum Nasional Anti Imperialisme ketika Amerika menyerang Irak 2002/2003. Para anggota forum tersebut kebanyakan merupakan “aktivis sayap kiri” (menganut segmen politik yang memprioritaskan kesetaraan sosial). Sedangkan Kalono sendiri yang berperan sebagai pendiri merupakan “aktivis sayap kanan” (menganut segmen politik konservatisme, kelompok agamis yang cenderung mempertahankan tradisi dan nilai agama yang diyakininya).

“Waktu itu, saya membuat rancangan usulan untuk reformasi Perdamaian Bangsa Bangsa (PBB). Difasilitasi tokoh PDIP Slamet Suryanto, ide rancangan usulan reformasi PBB tersebut dibacakan oleh Presiden RI saat itu Megawati di sidang PBB,” beber dia.

Lambat laun rupanya Kalono mengubah strategi gerakan FKAM yang semula bergaya ‘keras’ menjadi lebih ‘lembut’. Entah apa alasannya, organisasi Islam yang dicap garis keras ini mendadak malih rupa.

“Pada 25 Desember 2004, Laskar Jundullah saya bubarkan, tepat pada Hari Natal. Laskar tersebut kemudian saya bentuk menjadi Search And Rescue (SAR) FKAM. Keesokan harinya, pada 26 Desember 2004 terjadi Tsunami di Aceh. Saya bersama tim SAR FKAM langsung berangkat ke Aceh,” terang lulusan Teknik Kimia Universitas Pembangunan Nasional (UPN) ini.

Sejak saat itulah, FKAM “mengubah wajah” menjadi lembaga filantropi dengan gerakan dakwah dan kemanusiaan. Pola pendanaannya fund rising atau penggalangan donasi dari donatur. Saat berangkat ke Aceh untuk menjadi relawan kemanusiaan, Kalono mengakui meminta dana operasional kepada Gubernur Jawa Tengah, saat itu Mayor Jenderal (Purnawirawan) Mardiyanto yang kemudian menjabat Menteri Dalam Negeri (Mendagri).

“Waktu itu saya tidak punya duit, FKAM belum seperti sekarang,” katanya.

Setiap ada bencana di Indonesia, hampir bisa dipastikan FKAM mengirimkan bantuan dan relawan kemanusiaan. Misalnya kejadian erupsi Merapi, gempa di Daerah Istimewa Yogyakarta, meletusnya Gunung Semeru di Jawa Timur dan lain-lain.

“Awalnya, adanya SAR FKAM ini teman-teman masih curiga sama saya. Tapi karena konsisten, di mana ada bencana di situ ada FKAM, akhirnya mereka mulai percaya hingga sekarang,” katanya.

Mengenai alasan mengapa Laskar Jundullah berubah menjadi SAR FKAM, Kalono rupanya enggan menjelaskan secara jelas dan detail. Ia hanya beralasan bahwa sejak kecil memiliki ketertarikan dengan agama Islam dan sosial.

“Darah saya dari orang tua memang aktivis sosial. Pemikiran saya bahwa Indonesia milik kita. Kalau tidak berperan di tengah, pasti akan terpinggir,” kata alumni SMAN 3 Solo, jurusan Fisika ini.

Hingga 2022, FKAM terus berkembang pesat dan memiliki cabang di 27 kota di Indonesia. Mereka memiliki empat aktivitas program, yakni Baitul Mal, SAR, Dakwah dan Akademi Al-Qur'an.

Meski berkali-kali dituding terafiliasi dengan kelompok jaringan teror, Jamaah Islamiyah (JI), FKAM menunjukkan sebagai organisasi yang tidak mudah tumbang. Bahkan FKAM masuk dalam daftar lembaga filantropi yang diwaspadai oleh polisi, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Masih menempel di ingatan publik, mencuatnya sebuah lembaga filantropi berwajah ‘malaikat’ seperti lembaga filantropi Aksi Cepat Tanggap (ACT) yang memiliki pola serupa dengan FKAM. Mereka sama-sama bekerja menggunakan narasi kemanusiaan untuk membungkus fund rising. Narasi-narasi tersebut menonjolkan tagline menolong derita sesama, membangun solidaritas bagi umat Islam yang tertindas, beasiswa pendidikan untuk warga miskin, hingga berjibaku di lokasi bencana.

Fakta yang terjadi di lapangan berbagai lembaga filantropi berwajah “aksi kemanusiaan” ini justru tumbuh subur dan menjamur hampir di setiap kota di Indonesia dengan pola fund raising (penggalangan dana). Selain FKAM, lembaga serupa seperti Syam Organizer, LAZ Baitul Mal Abdurrahman bin Auf (ABA), One Care, Abu Ahmad Foundation (AAF), Hilal Ahmar (HASI), Hilal Ahmar Society Indonesia (HASI) menjadi fenomena yang mencurigakan dan layak dipertanyakan.

Pasalnya, mereka mengumpulkan dana umat dan tidak ada transparansi atau pertanggungjawaban kepada publik ke mana penyaluran dana miliaran yang dikumpulkan. Fenomena ini tampak membentuk circle dalam landscape pendanaan terorisme yang terus mencari bentuk baru.

Disadari atau tidak, jika mengulik kembali jejak gerakan organisasi teror, JI di Indonesia, pola pendanaan dengan model fund rising lembaga filantropi itu termasuk bagian dari strategi terselubung yang dijalankan JI era kepemimpinan Para Wijayanto—yang oleh Mantan Kapolri, Tito Karnivian diberi nama Neo-JI. Strategi itu disebut Tamkin.

Meski secara organisasi, JI telah dibekukan oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan bernomor: 2189/Pid.B/PN/JKT.Sel tanggal 21 April 2008, tidak kemudian membuat pemikiran Tamkin Neo-JI ini punah. Fisik tubuh seseorang bisa saja dipenjara, namun pemikiran dan keyakinan seseorang tidak akan bisa dipenjara.

Bisa jadi, baik pelaku dalam gerakan kemanusiaan pun bahkan tidak menyadari telah menjalankan pemikiran Neo JI. Secara tersirat, lembaga-lembaga fund rising ini telah dikepung secara terselubung oleh pemikiran Neo JI.

Pada Oktober 2021, Polri menyebut ada 6000-7000 anggota JI di seluruh Indonesia. Aparat penegak hukum telah menangkap dan memproses hukum 876 pelaku teror dari kelompok tersebut.

“JI secara organisasi sudah tidak ada. Tapi pemikirannya tetap ada,” kata Joko Priyono alias Karso (49), eks tokoh petinggi JI yang termasuk orang kepercayaan Para Wijayanto, bebas dari penjara pada 22 April 2020.

Karso termasuk tokoh inti dalam gerakan Neo-JI yang berperan melatih kader-kader muda untuk dikirimkan ke Suriah. Kader-kader muda itu diambil dari pesantren yang terafilasi dengan JI. Salah satunya Pondok Pesantren Darusy Syahadah, Boyolali, Jawa Tengah.

Muhammad Kalono tidak menampik bahwa FKAM “dikelilingi” dan mengenal tokoh-tokoh JI. Namun tersirat bahwa ia ingin membersihkan atau mencuci tangan FKAM dari JI.

“Saya sudah tidak komunikasi dengan mereka (para tokoh JI) sudah lama sekali. Saya berusaha membawa FKAM ini ke ‘tengah’, agar jangan sampai terkena pemikiran-pemikiran seperti itu (JI),” kata Kalono.

Dulu, dia mengaku sering berdiskusi dengan kelompok JI misalnya tentang khilafah. Ia mengaku kerap tidak sependapat. “Setelah Bani Abbasiyah kan tidak seperti khilafahnya sahabat nabi. Apakah itu bukan pemerintahan Islam? Kan tetap diakui sebagai pemerintahan Islam, meskipun tidak menggunakan khilafahnya era sahabat,” ujarnya.

Kalono mengaku mempelajari demokrasi dengan baik dan mendalam. Sejak bagaimana proses pemberontakan pesantren, hingga pembentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). “Apakah akan mengkhafir-kafirkan mereka? Saya tidak mau FKAM terbawa-bawa oleh JI. Dulu FKAM berdiri saya biayai sendiri dengan hasil usaha percetakan,” katanya.

Dia juga berkali-kali menepis bahwa FKAM disebut terkait dengan jariangan terorisme. Adapun apabila ada orang-orang JI yang secara diam-diam menggunakan nama FKAM, Kalono mengaku tidak mengetahui. “Beberapa ustaz (JI) saya memang kenal. Wong FKAM 1998 sudah ada,” ujarnya.

Kalono juga tidak membantah bila di daerah-daerah tertentu, FKAM dipakai atau disalahgunakan oleh orang tertentu. “Tapi hal itu sekarang telah dibersihkan saat ikut diklat. Mau ikut saya (FKAM) atau ikut sana (JI). Memang agak ada konflik. Pernah ada yang menanyakan ‘itu ada yang ditangkap’, lha apa saya bisa mengontrol semua (anggota FKAM) selama 24 jam?” katanya.

Mengenai pengumpulan dana melalui Baitul Mal, kalau meyakinkan bahwa tidak ada masalah. “Kami malah senang kalau diasistensi. Mana kalau ada yang salah. Waktu itu, Baznas atau Kemenag di sini lama. Apalagi kalau sekarang ada standar pembukuan. Hingga sekarang kami diwajibkan lapor. Bahkan kalau mau petugas BNPT mau ditaruh di sini satu-dua orang, kami malah senang,” katanya.

Ketua Umum DPP FKAM, Umair Khodimul Aziz alias Umair Khaz, menyakini semua manusia berproses. Kendali organisasi yang menentukan adalah pengambil kebijakan. Dia sendiri juga tidak memungkiri bila orang JI ada di FKAM. “Makanya kalimat Densus yang terakhir saya bertemu di Yogyakarta, FKAM bukan organisasi JI, hanya orang-orang JI berkumpul di situ. Ya sudah, selesai. Artinya ketika saya punya pendirian, dan diamini oleh pengurus harian ada yang dari unsur NU dan Muhammadiyah,” katanya.

FKAM di bawah kendali Umair bertekad membuat perubahan secara menyeluruh. Bahkan ia mengaku membuat kurikulum “Ngaji Ilmu” berisi dasar tentang adab, fiqih, ibadah dan Islam Wasathiyah. “Anggota FKAM kami ajarkan tentang bagaimana Islam memandang Pancasila maupun UUD 1945,” terangnya.

Mengenai transparansi penyaluran dana, Umair mengatakan bahwa laporan keuangan ke Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) dan Kementerian Agama (Kemenag) tidak ada catatan negatif. “Pengelolaan keuangan kami tidak ada masalah dan tidak terbukti. Kami selalu mendapat status wajar tanpa pengecualian. Kalau soal transparansi silakan dicek,” katanya.

Apabila ditemukan ada indikasi kesalahan, dia mengaku selalu meluruskan. “Setahu saya, FKAM disebut sebagai organisasi yang terafiliasi oleh JI itu bukan karena pendanaannya. Tetapi karena BAP orang dalam yang menyebut bahwa FKAM adalah bagian JI,” katanya.

Dia mengaku sempat menemukan adanya penggunaan yang tidak sesuai dengan syariah. “Misalnya pengambilan operasional terlalu besar dan lain-lain. Itu kami rapikan di Baitul Mal. Itu menjadi catatan. Kebetulan S1 dan S2 saya Ekonomi Syariah. Jadi, akad-akad yang benar seperti apa, saya benahi. Ini uang umat. Uang itu setannya banyak. Tidak hanya profesional, tapi juga butuh kesalehan. Selain menggunakan pendekatan fiqih, saya menggunakan pendekatan tasawuf. Bahkan sekarang FKAM itu ngajinya Al Hikam. Itu wajib untuk karyawan,” imbuhnya.

Penegakan Hukum Lemah

Peneliti dari Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi, M. Taufiqurrahman sebelumnya menyebut, penegakan hukum di Indonesia terkait Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme ini masih sangat lemah.

“Faktanya, banyak lembaga amal pendukung ISIS atau Al Qaeda bertebaran di media sosial. Tidak terdaftar atau ilegal. Mereka dengan bebas menggalang dana. Pertanyaannya, mengapa aparat kita seperti Densus 88 tidak menangkap mereka?,” katanya dalam diskusi “EU-Indonesia On Preventing and Countering Violent Extremism For Instructors Of Indonesian Migrant Workers” yang diselenggarakan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), pada Jakarta 29-30 Agustus 2022 lalu.

Hal ini menunjukkan bahwa penanganan terhadap pendanaan terorisme ini masih lemah. Taufiq menyontohkan, berita di televisi ramai memberitakan Densus 88 menangkapi anggota JI saat menggalang dana menggunakan kotak amal beberapa waktu lalu.

“Sebetulnya, penggalangan dana oleh Syam Organizer itu sudah berlangsung sejak 2013, tapi baru bisa dilakukan penegakan hukum oleh polisi pada 2022. Jadi, butuh menunggu berapa tahun itu?” ujarnya.

Seharusnya, menurut Taufiqurrahman, begitu ditemukan indikasi, idealnya langsung dilakukan penanganan. Agar tidak banyak masyarakat tertipu.

“Cara mereka menggalang dana pun hampir sama dengan penggalangan dana sosial lain. Misalnya melalui platform kitabisa.com, mereka menggalang dana dengan menggunakan isu-isu umum, misalnya Bantu Penanganan Covid-19. Tetapi uangnya belum tentu untuk penanganan Covid-19, melainkan untuk membiayai operasional kegiatan mereka,” katanya.

Memanjakan Lembaga Amal

Taufiqurrahman menyebut, banyaknya lembaga amal yang beroperasi hingga saat ini tidak diikuti dengan pengawasan dan regulasi secara jelas dan tegas.

“Bahkan aturan hukum di Indonesia ini sangat memanjakan lembaga-lembaga amal,” katanya.

BACA JUGA: Teliti dan Hati-hati, Manipulasi Yayasan Pengepul Donasi  

Undang-Undang (UU) tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme masih memiliki sejumlah kelemahan, yakni hanya menyasar pendanaan untuk kegiatan serangan terorisme secara langsung.

“Sedangkan pendanaan untuk rekrutmen anggota kelompok radikal, maupun pendanaan untuk lembaga sekolah milik pendukung ISIS misalnya, belum bisa dikenai oleh UU tersebut,” beber dia.

Pasal 8 dalam UU tersebut misalnya, hanya memberikan ancaman pidana kurungan maksimal tiga bulan atau denda paling tinggi Rp 10.000.

“Hukuman itu terlalu ringan dan tidak mempertimbangkan dampak penyalahgunaan dana publik bagi keamanan masyarakat. Tentu saja tidak membuat efek jera,” terang dia.

BACA JUGA: Tantangan Memutus Mata Rantai Pendanaan Teror

Geliat pengumpulan dana oleh jaringan teror hingga kini masih terus berlangsung secara terselubung dengan kedok kegiatan sosial. Keberadaannya sulit dibedakan oleh masyarakat awam, sebab mereka bertransformasi secara halus menggunakan organisasi sosial, yayasan, hingga pegiat lingkungan. Bahkan mereka telah melakukan aksi Neo Fa’i atau perampokan model baru. Modusnya menggunakan pola program Corporate Social Responsibility (CSR) dan pengajuan kredit. Sasarannya dana perusahaan BUMN, bank, hingga pinjaman online (Pinjol).

“Zaman dahulu, mereka merampok secara fisik dengan cara mendatangi lokasi dengan kekerasan. Tetapi sekarang ini operasi perampokan bank dilakukan dengan cara CSR dan mengajukan kredit,” ungkapnya.

Aksi Neo Fa’i dengan modus CSR ini terjadi di salah satu BUMN di Bali, beberapa waktu lalu. Modusnya, mereka mengirimkan proposal pendanaan CSR dengan alasan untuk pelestarian lingkungan.

“Perusahaan BUMN tersebut menyetujui sebanyak dua kali pada 2018 dan 2019, yakni senilai Rp 147 juta,” ungkap Taufiqurrahman.

BACA JUGA: Densus Tampak Hati-hati Tangani Pendanaan Teror Bermodus Donasi

Mereka menggunakan perwajahan yayasan yang bergerak dalam kepedulian terhadap sosial dan lingkungan. Memang, lanjut Taufiq, sebagian dananya digunakan untuk pelestarian lingkungan.

“Tetapi sebagian besar dananya digunakan untuk sarana dan prasarana persiapan jihad. Baik mendanai pelatihan beladiri, pelatihan militer, kegiatan perekrutan anggota, serta bakti sosial yang sasarannya adalah kelompok mereka sendiri,” kata Taufiq.

Sedangkan temuan di salah satu bank di Bandung, mereka beraksi dengan cara mengajukan kredit sebesar Rp 9,6 juta. Pada saat yang sama, kelompok Bandung itu juga merampok pinjaman (Pinjol).

Menurutnya, hal itu terjadi karena kurangnya pengetahuan perusahaan-perusahaan swasta, BUMN, bank dan lain-lain, terkait informasi individu maupun kelompok teror ini terbatas.

“Perusahaan swasta, BUMN, tidak memiliki data informasi individu maupun kelompok teror yang seharusnya dishare oleh aparat dari lembaga keamanan. Akibatnya, ada bank, perusahaan BUMN, ‘dirampok’ oleh kelompok teroris di Indonesia,” katanya. (*)

 

Komentar

Tulis Komentar