Densus Tampak Hati-hati Tangani Pendanaan Teror Bermodus Donasi

News

by Abdul Mughis

Tidak dipungkiri, fenomena narasi jihad yang cenderung melawan pemerintah dan penggalangan donasi berkedok aksi sosial hingga saat ini sangat mudah ditemukan di media sosial (Medsos). Persoalannya, fenomena ini dicurigai sangat rentan terkait dengan kelompok teror.

Terlebih setelah mencuatnya kasus dugaan penyelewengan dana umat oleh lembaga Aksi Cepat Tanggap (ACT) beberapa waktu lalu. Hal ini semakin membuat masyarakat was-was saat hendak berdonasi. Tidak sekadar itu, sebagian masyarakat khawatir bila bibit-bibit terorisme ini dibiarkan berkembang biak di linimasa medsos.

Permasalahan ini mencuat dalam diskusi atau kuliah umum bertema “Spektrum Ancaman Terorisme di Indonesia” yang diselenggarakan Pusat Riset Ilmu Kepolisian dan Kajian Terorisme, Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia (UI), pada Selasa (20/9/2022) lalu.

Salah satu peserta diskusi mempertanyakan mengapa fenomena narasi jihad yang cenderung melawan pemerintah hingga saat ini dibiarkan bertebaran di media sosial maupun grup-grup WhatsApp? Atau memang pemerintah kita belum sampai pada pemikiran pembahasan Undang-Undang (UU)-nya?

Kepala Detasemen Khusus (Kadensus) 88 Irjen Pol Marthinus Hukom menjelaskan kondisi penanganan terorisme di Indonesia dengan segala tantangannya. Dia mengakui, perkembangan zaman yang diikuti dengan teknologi membuat perubahan besar. Hal itu diikuti dengan perkembangan gerakan kelompok teror yang sangat kompleks.

“Persoalan terorisme sangat kompleks. Terlebih membicarakan organisasinya, seperti contoh Jamaah Islamiyah (JI). Pendanaan organisasi tersebut sangat besar. Misalnya mereka mengirimkan anggota ke luar negeri untuk pelatihan, mereka membutuhkan pendanaan besar,” terangnya.

BACA JUGA: PPATK Sebut 21 Lembaga Filantropi Terkait Jaringan Teror

Maka muncullah fenomena pendanaan terorisme dengan pola menyebarkan kotak infaq. “Mereka membangun jiwa sosial masyarakat untuk pendanaan tersebut. Namun demikian, penegakan hukum atas dugaan pendanaan terorisme terhadap model (kotak infaq, donasi aksi sosial dan sejenisnya) seperti ini tidak mudah,” terang Marthinus.

BACA JUGA: Fakta Terorisme bukan Monopoli Satu Agama

Dijelaskan, bahwa Densus 88 dalam menghadapi fenomena pendanaan model tersebut memerlukan proses dan kajian panjang. “Kami harus hati-hati menghadapi ini, karena kami tidak mau penegakkan hukum dengan melakukan penekanan terhadap keinginan sosial masyarakat. Kami harus bedah betul, ini apa? Jelas, ini tidak gampang,” ungkap dia.

Mengapa hal tersebut tidak gampang, lanjut dia, karena harus mempertimbangkan aspek sosial dan keyakinan masyarakat. “Semua kami pikirkan. Tujuannya supaya mendapatkan kesimpulan secara konkret bahwa ini pendanaan teror. Makanya kami tidak pernah menangkap orang yang menyumbang di luar kesadaran mereka. Kecuali dia tahu, ini adalah pelaku teror dan dia akan mendanai itu,” terang dia.

Sedangkan pendanaan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), mereka berangkat ke Suriah dengan cara menjual rumah. “Kerena mereka mendapatkan janji-janji akan mendapatkan fasilitas di sana. Pelayanan publik yang gratis, sekolah, listrik, air, semua gratis. Maka pengikut ISIS ini bersedia menjual rumahnya, kemudian berangkat ke sana,” katanya.

Penanganan hukum terkait pendanaan teror diatur dalam Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.

“Mengenai sumber-sumber pendanaan terorisme, saya menganalogikan bahwa pendanaan teror ini seperti organisme makhluk hidup. Dia bisa lahir, tumbuh dan mati. Termasuk bisa melemah ketika roh-roh sumbernya dimatikan. Ideologinya kita netralisasi, rekrutmen diputus, kekuatan militer, sumber logistik dan seterusnya,” katanya. (*)

Komentar

Tulis Komentar