Belajar dari Bom Bali 1, Kadensus: Seperti 'Kethek Kena Tulup'

Review

by Abdul Mughis

Ledakan dua bom yang memporak-porandakan Sari Club dan Paddy's Pub di Kuta Kabupaten Badung, Bali dan satu bom di dekat Konsulat Amerika Serikat, Denpasar Bali pada 12 Oktober 2002, menjadi catatan kelam sepanjang sejarah.

Insiden yang merengut 202 nyawa, serta ratusan orang luka-luka ini pertama kali menabuh genderang perang melawan teror di Indonesia. Namun ini bukan perkara mudah. Kondisi saat itu, pemerintah Indonesia terbilang masih “gagap” menghadapi serangan itu.

Bagaimana tidak, pemerintah Indonesia saat itu belum memiliki perangkat payung hukum untuk menangani kasus terorisme. Begitupun pengetahuan intelijen kepolisian saat itu masih sangat minim.

Kepala Detasemen Khusus (Kadensus) 88 Irjen Pol Marthinus Hukom mengakui kondisi itu. Bom Bali 1 menjadi fenomena sejarah. Dia menggarisbawahi bahwa tidak ada pihak yang disalahkan dalam konteks sejarah ini. Tidak pula hendak menyalahkan senior-senior kepolisian terdahulu.

“Tetapi mari terbuka melihat fenomena. Belajar dari sejarah, 20 tahun yang lalu, pada peristiwa Bom Bali 1. Saya ingin mengatakan tentang bagaimana fungsi-fungsi intelijen kita bekerja,” katanya dalam kuliah umum bertema Spektrum Ancaman Terorisme di Indonesia yang diselenggarakan Pusat Riset Ilmu Kepolisian dan Kajian Terorisme, Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia (UI), Selasa (20/9/2022).

Terus terang saja, lanjut Marthinus, pengetahuan intelijen kepolisian saat menghadapi insiden Bom Bali 1 kala itu masih sangat terbatas.

Seperti 'kethek kena tulup' (seperti kera terkena sumpit). Enggak ngerti apa-apa,” ujarnya.


Istilah “Kaya kethek kena tulup’  dalam Bahasa Indonesia “seperti kera kena sumpit” . Sumpit merupakan senjata tradisional berupa tabung bambu atau kayu yang bisa digunakan untuk berburu. Sebuah bahasa perumpamaan untuk menggambarkan kondisi orang yang kebingungan, hanya bisa menoleh kanan-kiri.

“Pertama, mungkin saat itu, intelijen kita masih menggunakan pendekatan konvensional. Di mana saat itu, terorisme sudah menjadi fenomena global yang begitu dahsyat. Itu tidak dipelajari,” ungkap dia.

Kedua, hukum di Indonesia pada saat itu belum menjangkau permasalahan terorisme seperti Bom Bali 1.

“Perlu saya jelaskan, bahwa Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2018 ini adalah revisi dari UU Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah  Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang,” terangnya.

BACA JUGA: Fakta Terorisme bukan Monopoli Satu Agama

Ketika UU Nomor 15 Tahun 2003 ini lahir, lanjut Marthinus, berasal dari Perppu Nomor 1 Tahun 2002—yang ada beberapa jam setelah kejadian Bom Bali 2002. “Pemerintah tergesa-gesa melahirkan satu peraturan untuk memayungi tim saat itu, untuk melakukan pengejaran dan penyelidikan terhadap kejadian yang maha dahsyat,” terangnya.

Di dunia modern, kata Marthinus, insiden Bom Bali 1 ini mungkin nomor dua terbesar setelah insiden teror yang meruntuhkan menara kembar World Trade Center (WTC) di New York pada 11 September 2001.

“Saat itu, ada kejahatan yang masih menjadi perdebatan dan tidak dimasukkan ke dalam Perppu tersebut. Perkembangan teknologi, pemikiran, konflik interest, maupun konflik peradaban yang terjadi, serta dimensi kejahatan terorisme ini terus berkembang,” terang dia.

Belajar dari insiden Bom Bali 1, masih kata Marthinus, pemerintah RI mulai melihat, membenahi intelijen, hukum, kerjasama, serta berbagai pendekatan penanganan. “Pemerintah Australia, sejak insiden Bom Bali 1, telah membantu penanganan terorisme di Indonesia, baik secara moril, ilmu pengetahuan maupun budaya kerja yang produktif,” katanya.

Problem terorisme, menurutnya, bukan hanya di tataran puncak. Tetapi juga berada di tataran bawah. “Kita punya struktur pemerintah tergelar dari atas sampai bawah—yang harus digunakan. Misalanya Kesbangpol, Babinkamtibmas, Babinsa, penyuluh agama di Kementerian Agama, penyuluh pertanian dan lain-lain. Supaya lebih komprehensif dari hulu ke hilir,” katanya.  (*)

Komentar

Tulis Komentar