Pemerintah Perlu Aktif Tangani Dampak Sosial Penegakkan Hukum Terorisme

News

by Eka Setiawan

Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror (AT) Polri menyebut penegakkan hukum yang dilakukan terhadap para pelaku terorisme di Indonesia menyebabkan dampak lain. Hal itu perlu dukungan dari pihak-pihak terkait untuk bersama-sama mencari solusinya, tak terkecuali peran pemerintah daerah.

Hal itu diungkapkan Direktur Identifikasi dan Sosialisasi (Idensos) Densus 88 AT Polri, Brigjen Pol. Arif Makhfudiharto saat beraudiensi dengan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, di komplek kantor Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, Jalan Pahlawan Kota Semarang, Rabu 21 September 2022.

“Salah satu dampak penegakkan hukum adalah permasalahan sosial, ini perlu penguatan (bersama untuk menangani). Densus tidak bisa selesaikan ini sendirian,” kata Arif kepada Ganjar.

Saat itu Arif datang bersama tim, di antaranya Kepala Subdit Tindak Direktorat Penindakan Densus 88 AT Kombes I.G.A Dwi Perbawa Nugraha, Kanit Idensos Satgaswil Jawa Tengah Densus 88 AT Polri AKBP. Bambang Prasetyanto. Tim dari Kreasi Prasasti Perdamaian (KPP) juga turut serta hadir pada audiensi itu.

Arif mencontohkan, ketika seorang teroris ditangkap, maka ada keluarga, ada istri, anak, yang ditinggalkan di rumah. Otomatis, jika yang ditangkap adalah kepala keluarga yang menopang kebutuhan ekonominya, maka mereka yang di rumah menjadi tidak terurus.

Inilah yang menjadi “golden moment”. Sebab, jaringan teroris juga akan memanfaatkan ini untuk tetap “menjaga” anggotanya, tak terkecuali lingkaran keluarga. Jaringan akan mendatangi, mencoba memberikan bantuan-bantuan bahkan berupa uang, tujuannya agar mereka tidak lepas.

Di sinilah peran pemerintah, tak khususnya lingkaran terkecil mulai dari RT/RW atau kelurahan maupun kecamatan, bisa ambil bagian. Tentunya dengan koordinasi dengan struktur di atasnya termasuk aparat penegak hukum.

Solusi; misalnya memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka, memastikan pendidikan anak-anaknya terjamin, termasuk kesehatannya, sangat penting dilakukan. Ini juga sebagai representasi kehadiran negara di tengah-tengah mereka.

“Ketika (ada) penangkapan itulah kita bisa mulai disengagement dengan keluarganya. Pendidikan dan kesehatan itu yang sangat sering sekali, biasanya mereka itu sekolah home schooling. Deradikalisasi (pelaku) di Rutan jadi susah ketika keluarga mereka sudah lebih dulu dimasuki jaringan,” beber Arif.

Ganjar mengamini apa yang disampaikan Arif. Secara umum, kondusivitas sangat penting untuk dijaga.

“Kalau nggak nanti buyar, kalau ada misalnya kondisi intoleransi,” kata Ganjar.  

Ganjar sepakat, pemerintah perlu ambil bagian, berpartisipasi aktif untuk bersama-sama mencari solusi persolan kompleks dan rumitnya terorisme ini. Dia bercerita, masyarakat yang menolak kehadiran mereka di tengah-tengahnya juga jadi persoalan tersendiri.

“Ada yang jadi tukang cukur saja diusir dari masyarakat, akhirnya kembali lagi ke kelompok lamanya,” lanjutnya.

Ganjar berkomitmen bahwa pihaknya akan aktif turun tangan menyelesaikan persoalan yang terjadi di masyarakat ini, berkaitan dengan terorisme. Tak kalah penting, Ganjar juga ingin para mantan narapidana terorisme (napiter) ini agar dibimbing untuk selanjutnya bisa menceritakan pengalamannya di berbagai forum. Tujuannya agar menjadi pembelajaran bersama, untuk nantinya tidak ada lagi orang yang tergelincir di lingkaran terorisme.

“Tentu kami ini tidak ingin memanjakan mereka (mantan napiter), tapi mengedukasi,” tegas Ganjar.

Sementara, di Jawa Tengah sendiri, berdasarkan data Densus 88 AT Polri, hingga awal September 2022, ada 212 narapidana terorisme yang ditahan di Jawa Tengah, terbagi 191 orang di dalam lapas di Nusakambangan, sementara di luar Nusakambangan ada 20 orang.

Untuk jumlah mantan napiter di Jawa Tengah ada 230 orang, di antara yang terbanyak adalah di Surakarta 47 orang, Sukoharjo 43 orang dan di Kota Semarang 20 orang.

Komentar

Tulis Komentar