IPAC: Ada 94 Residivis Kasus Terorisme Sejak 2002 Hingga Mei 2020

Analisa

by Arif Budi Setyawan

Masalah residivisme di antara para narapidana terorisme di Indonesia perlu dicermati lebih dekat karena ada lebih dari 100 narapidana dibebaskan setiap tahun. Sebagian besar memang tidak melakukan pelanggaran kedua. Namun menurut data yang di-rilis oleh Institute For Policy Analysis Of Conflict (IPAC) pada 4 September 2020, sejak tahun 2002-Mei 2020 ada 94 orang residivis kasus terorisme dari 825 narapidana terorisme yang ada. Artinya tingkat residivisme-nya berkisar sekitar 10-11 persen.

Dalam laporan IPAC ke 66 yang bertajuk “Terrorism, Recidivism and Planned Releases in Indonesia” itu menyebutkan, bahwa semua diadili di Indonesia untuk kejahatan pertama dan sebagian besar untuk yang kejahatan kedua juga. Tetapi dari 94 itu juga termasuk beberapa yang ditangkap oleh negara lain (Malaysia, Afghanistan, Filipina) untuk kedua kalinya dan mereka yang pergi ke Suriah untuk bergabung. ISIS. Termasuk juga mencakup 13 orang yang melakukan pelanggaran terorisme kedua saat masih di penjara, sehingga mendapatkan pengadilan dan hukuman kedua meskipun mereka belum pernah dibebaskan.

Menurut  Direktur IPAC Sydney Jones, tantangannya adalah bagaimana memahami faktor-faktor yang mendorong mantan narapidana kembali melakukan tindak pidana terorisme meskipun mereka telah mengetahui sepenuhnya konsekuensi dari tertangkap.

Masih menurut laporan IPAC di atas, di antara faktor-faktor tersebut adalah: tingkat militansi dan status individu di penjara; kehadiran anggota keluarga dekat yang sama-sama mendukung ideologi perjuangannya, terutama pasangan atau orang tua; dan adanya gerakan yang memungkinkan untuk ikut bergabung dengan kemungkinan adanya aksi fisik.

Yang menarik adalah IPAC menyebut salah satu tulisan saya di ruangobrol.id (Cerita Residivisme Pelaku Terorisme) sebagai salah satu referensi, meskipun di situ disebutkan bahwa data yang saya sampaikan masih kurang jelas. Ya iyalah, karena saya tidak menyebut nama di situ.

IPAC memuji kisah itu yang menguatkan argumen bahwa residivisme terorisme itu memang banyak terjadi. Juga sepakat dengan faktor-faktor personal yang mempengaruhi seorang mantan narapidana teroris (napiter) kembali melakukan aksi terorisme yang kedua kalinya. Dalam artikel di atas, saya menyebut ada dua faktor utama yaitu : masih belum puas dan karena ditokohkan di kelompoknya.

IPAC menyimpulkan bahwa dari dua faktor itu sebenarnya ada tiga faktor, yaitu keluarga, status individu (dua faktor ini saya masukkan dalam faktor ditokohkan), dan adanya gerakan yang menarik secara ideologis (belum puas).

Data yang dirilis oleh IPAC juga menyebut jumlah napiter yang bebas dan akan bebas hingga akhir 2020 adalah 120 orang. Sementara di tahun 2021 yang sudah diketahui akan bebas berjumlah 83 orang.

Bagaimana Mencegah Residivisme Menurut IPAC?

Dari faktor yaitu keluarga yang sama-sama radikal, status individu (tingkat militansi), dan adanya keinginan mengikuti gerakan yang menarik secara ideologis, hanya sedikit yang dapat dilakukan pihak berwenang pada faktor yang terakhir, tetapi yang pertama dan kedua memiliki lebih banyak kemungkinan.

Misalnya seperti yang sudah diterapkan di beberapa bidang, adalah agar petugas lembaga pemasyarakatan (lapas) mengetahui anggota keluarga yang datang berkunjung dan melihat apakah ada peluang apa pun untuk mengidentifikasi kebutuhan atau peluang - seperti tawaran bantuan medis kepada anak yang sakit - itu mungkin mendorong perubahan sikap.

Jika petugas lapas melihat adanya celah dalam kasus napiter garis keras, mereka dapat menawarkan kunjungan lebih lama atau lebih banyak kesempatan untuk komunikasi sebagai insentif atas perilaku baik mereka. Namun, upaya ini tergantung pada keterampilan, pengalaman dan minat masing-masing petugas Lapas dalam tuntutan kerja mereka.

Tantangan Pencegahan Residivisme Menurut IPAC

Dari peta jumlah wilayah geografis yang menghasilkan residivis kasus terorisme menunjukkan perlunya lebih banyak serangkaian kegiatan rehabilitasi yang terfokus, yang ditargetkan di daerah tertentu. Sumber daya khusus perlu membangun pola hubungan yang harmonis antara polisi dan masyarakat yang berbeda di daerah-daerah ini. Terlebih lagi bila tingkat ketidakpercayaan kepada polisi sangat tinggi di lingkungan tersebut.

Komentar

Tulis Komentar