Menurut data riset yang dilakukan oleh Yayasan Prasasti Perdamaian, selama kurun waktu 2009-2019 ada 80 orang residivis kasus terorisme di Indonesia. Mantan narapidana terorisme (napiter) yang berangkat ke Suriah entah sudah termasuk atau belum saya tidak tahu. Tapi yang jelas ada 2 orang teman saya mantan napiter yang berangkat ke Suriah dan meninggal di sana.
Selain dua orang itu masih ada 5 orang lagi teman mantan napiter yang terlibat kasus terorisme lagi setelah bebas dari penjara. Bahkan salah satunya ada yang masuk penjara untuk yang ketiga kalinya. Yang dimaksud teman adalah orang-orang yang pernah berinteraksi atau ada hubungan dengan saya.
Baik. Berarti di antara 80 orang itu 7 di antaranya adalah teman saya. Jadi, setidaknya saya tahu sebagian dari faktor yang menyebabkan mereka kembali melakukan apa yang disebut oleh para penegak hukum sebagai tindak pidana terorisme.
Saya melihat dari kesemua teman saya yang jadi residivis kasus terorisme itu hanya ada dua sebab yang paling umum melatarbelakanginya. Yaitu : Belum puas dan ditokohkan di kelompoknya.
Termasuk golongan belum puas itu menurut saya adalah yang tidak diterima di kelompok lamanya. Lha iya, masih pengin kembali ke kelompok lama berarti belum puas kan? Masih ada yang belum selesai. Masih ingin melanjutkan. Masih ingin mendapatkan dukungan.
Tapi sayangnya kelompok lamanya menganggap dirinya sudah tidak bersih lagi. Kalau bergabung lagi bisa jadi akan membuat apa yang sedang dirintis lagi kelompok lamanya dengan metode yang baru akan terdeteksi oleh aparat keamanan negara.
Akan sia-sia saja memulai strategi perjuangan yang baru jika sudah terendus oleh aparat keamanan negara karena kehadiran mantan napiter yang sedang dipantau. Atau bisa juga karena takut si mantan napiter akan merekrut anggota-anggota yang baru yang mendukung strategi di luar strategi tandhim (organisasi).
Karena kecewa dengan kelompok lamanya sedangkan dirinya masih belum puas, maka dicarilah jalan lain untuk memuaskannya. Melakukan aksi lagi atau pergi ke luar negeri bergabung dengan kelompok perlawanan di luar sana.
Sebab yang kedua adalah karena si mantan napiter itu ditokohkan di kelompoknya.
Jika pada sebab yang pertama kebanyakan pelakunya adalah dari jaringan generasi lama, era Imam Samudra sampai era Noordin M.Top, maka untuk sebab yang kedua ini kebanyakan adalah dari generasi setelah kasus pelatihan di Aceh 2010.
5 orang di antara 7 orang kawan saya yang jadi residivis itu berasal dari generasi setelah pelatihan Aceh. Dan kelima-limanya kembali terlibat tindak pidana terorisme karena ditokohkan oleh orang-orang di kelompok lamanya.
Seorang napiter yang ketika di penjara keluarganya mendapatkan santunan dari para simpatisan dan pendukungnya, ketika bebas akan sulit menolak ajakan atau melepaaskan ikatan dari kelompok lamanya. Mereka merasa menjadi sosok yang berarti. Menjadi sosok yang dihormati. Menjadi sosok yang dielu-elukan. Padahal amal (prestasi)nya sedikit. Inilah yang dimaksud dengan ditokohkan.
Ketika sudah bebas, mereka tidak akan bisa menolak -dan boleh jadi malah senang- ketika ditawari untuk mengisi majelis taklim di kalangan pendukungnya. Atau menjadi mentor bagi generasi baru yang akan melanjutkan ‘jalan perjuangan’ mereka sebelumnya. Apalagi jika ditambah dengan adanya fasilitas kemudahan finansial.
Orang yang baru bebas, tidak punya modal, tidak tahu kondisi lapangan pekerjaan, sementara terdesak akan kebutuhan hidup, akan cenderung lebih mudah lagi menerima tawaran-tawaran itu.
Di antara mereka ada yang diminta mengajari cara membuat bahan peledak. Ada yang diminta menjadi motivator bagi calon pelaku aksi. Dan ada juga yang diminta mencarikan personel tambahan untuk sebuah aksi yang sedang dirancang.
Para pakar terorisme boleh berteori tentang sebab-sebab seseorang menjadi teroris atau kembali menjadi teroris. Tapi inilah yang saya temukan selama bergaul dengan para pelaku tindak pidana terorisme.
ilustrasi: pixabay.com