Gagal Paham Netizen tentang "WNI Simpatisan ISIS"

Other

by Rizka Nurul

Banyak berita bermunculan pasca isu pemulangan WNI simpatisan ISIS (returnees) dilontarkan Menteri Agama, Fakhrul Razi. Ralat beberapa kali dilontarkan dan tak kunjung meredakan asumsi yang beredar.

Isu ini seringkali dianggap sebagai kesesatan agama. Semrautnya isu terorisme memang tak menarik ketika digamblangkan. Apalagi terorisme bukan jadi isu penting di masyarakat karena dilihat dari sudut pandang keamanan, terorisme hanya musuh negara, bukan masyarakat. Siapa yang bertanggung jawab? Negaralah, saaay. Jadi, urusan negara untuk melindungi rakyatnya, titik

Beberapa hari terakhir, ruangobrol.id coba merangkum beberapa gagal paham netizen tentang returnees. Berikut ulasannya

Returnees dan Aksi Bom di Indonesia


Insecurities menjadi salah satu dorongan netizen MENOLAK WNI simpatisan ISIS. Bingung memahami isu, akhirnya kekuatan argumen paspor yang disebutkan dari ahli ke ahli menjadi yang paling gampang dilontarkan. Sekonyong-konyong para ahli hukum dadakan ini ikut-ikut ngomong "Eks-WNI" tanpa buka UU, cukup ikut media.

Ada perbedaan Returnees dengan Deportees, Alumni afganistan, pelaku bom bali termasuk pelaku Bom Sarinah 2016. Semua pelaku ini ternyata tidak bisa dijelaskan dalam satu kata "teroris" saja.

Returnees adalah mereka yang ingin kembali ke negara asal setelah sebelumnya bergabung dengan ISIS. Mereka telah menginjakkan kaki ke wilayah ISIS dan menjalani kehidupan di sana. Banyak dari mereka yang kecewa sehingga memilih kembali. Jarang dari mereka terlibat di kelompok kekerasan lagi karena kapok.

Berbeda dengan deportees yang belum menyentuh tanah ISIS, mereka cenderung masih penasaran. Tak jarang mereka masih melakukan kontak dengan kelompok dan menaruh harapan besar kepada ISIS. Kegagalan reintegrasi di masyarakat membuat mereka sering kali memilih kembali ke kelompok kekerasan seperti ISIS.

Bagaimana dengan Alumni Afganistan 1980? Kelompok ini merupakan bagian dari kelompok Al Qaida dan melakukan pelatihan militer di sana. Tujuannya, mereka ingin menjadikan negara ini sebagai negara Islam. Tidak dibenarkan bagi mereka melakukan aksi yang tidak terencana dan tanpa perintah pimpinan.

Al Qaida sendiri tidak memiliki hubungan yang baik dengan ISIS, bahkan ISIS tak jarang membunuh anggota Al Qaida. Perbedaan pandangan tentang Tauhid melatarbelakangi hal ini. Al Qaida melarang perempuan dan anak ikut aksi, bahkan gerakannya senyap sebelum Bom Bali I.

Sedangkan aksi Bom Sarinah 2016 dipelopori oleh ide Aman Abdurahman. Kelompok ini berafiliasi dengan ISIS. Permasalahan yang ada di masyarakat seringkali mendorong mereka terlibat dalam ISIS atas janji ISIS yang menggiurkan.

Tentu tak adil rasanya jika kita menyamakan itu semua. Teroris juga ada sekte-nya.

Kegagalan Deradikalisasi


Benarkah Deradikalisasi telah gagal? Beberapa pakar mengatakan bahwa deradikalisasi nyaris utopis. Perubahan pemikiran bukanlah hal yang mudah dilakukan secara singkat apalagi hal itu telah mengakar.

Katanya terorisme masih ada karena kegagalan program deradikalisasi. Mari kita katakan itu sebagai program karena pandangan masyarakat melihat deradikalisasi hanya urusan BNPT. Padahal, masyarakat bisa melakukan perubahan pemikiran mantan anggota kelompok radikal secara interpersonal.

Jika kita bisa pahami ini lebih mudah agar tak gagal paham lagi. Ada pendekatan yang tidak begitu menakjubkan namun cenderung berhasil menurunkan angka terorisme di Indonesia, namanya disengagement.

Noor Huda Ismail punya rumus unik terkait disengagement, yaitu 3H, Heart, Hand dan Head. Urusan Head atau kepala justru jadi urusan terakhir. Upaya Heart menjadi hal yang paling mungkin dan perlu segera dilakukan tanpa menunggu mereka terjebak lebih jauh di radikalisme. Kemudian ada Hand, dimana memberikan skill kepada yang bersangkutan agar tak terjebak dalam upaya radikal, dari ahli bom menjadi ahli pertanian misalnya.

Pendekatan ini memang tidak bisa mengukur apakah ia masih radikal atau tidak. Namun setidaknya, mengurangi ketertarikan mantan narapidana terorisme untuk kembali ke aksi yang sama.

Selain itu, ukuran keberhasilan deradikalisasi seharusnya diuji secara lengkap di mana ada pengukuran pemikiran. Ini juga belum benar-benar dilakukan oleh negara. Sedangkan ukuran disegagement sangat mudah dilihat dari perubahan perilaku.

Jika pemerintah menggaungkan deradikalisasi sebagai solusi utama terorisme, maka deradikalisasi nyaris tak akan pernah berhasil. Kecuali kalau ada program cuci otak berjamaah.

Apabila netizen ikut-ikutan melihat ini sebagai tolak ukur utama, lagi-lagi gagal paham telah terjadi. Sama saja menilai enak tidaknya bakso dengan hanya dilihat dari tempat kecapnya. Ah bukan malika, pasti gak enak!

Segala Konspirasi


Tak hanya ISIS, konspirasi terorisme telah muncul sejak zaman 9/11. Banyak orang percaya bahwa ini merupakan upaya Amerika mediskreditkan islam.

Namun, banyak anggota Jamaah Islamiyah yang justru mengagungkan aksi 9/11. Betapa brilian-nya Osama Bin Laden yang membua takut Amerika Serikat. Setidaknya Islam tak lagi dianggap sebagai kaum yang lemah, begitu kata mereka.

Ali Imron, pelaku Bom Bali juga mengakui bahwa aksinya tahun 2002 itu adalah perwujudan hasil pelatihan di Afganistan. Tentu sebuah penghinaan jika aksi yang mengakibatkan dua kakaknya terkena hukuman mati itu malah disebut konspirasi. Ini jihad!

Begitupun dengan ISIS bahwa mereka melakukan aksi secara sadar. Bahkan sekelas Aman Abdurahman, ideolog ISIS sekalipun meyakini keberadaan khilafah pimpinan Abu Bakar Al Baghdadi tersebut. Mereka meyakini bahwa benar adanya kekhalifahan tersebut dengan ilmu yang mereka pelajari.

Sejak 2014 juga muncul sebuah website dari ulama Islam dunia bernama Letter to Al Baghdadi. Website tersebut berisi kumpulan artikel ataupun fatwa dari pemimpin Islam dari berbagai negara membantah fatwa-fatwa ISIS.

Jika ini sebuah lelucon konspirasi, apakah Anda termasuk yang takut akan hal itu? Ataukah justru terjebak dalam konspirasi tersebut?

Komentar

Tulis Komentar