Jalan Enam Tiga, Mini Album Baru Efek Rumah Kaca

Other

by Ahsan Ridhoi

Generasi 90-an tentu tak asing dengan program televisi Sesame Street atau Jalan Sesama. Program anak-anak yang diproduksi di Amerika Serikat ini menceritakan kerukunan lintas ras di negeri itu. Dikemas dengan lucu dan ceria, acara ini menjadi alat edukasi keberagaman bagi anak-anak.


Kini, program itu sudah tak tayang lagi. Namun, kenanangannya masih membekas di kepala para penontonnya yang telah menjadi dewasa. Salah satunya Cholil Machmud, vokalis  Efek Rumah Kaca (ERK) band indie asal Jakarta.


Cholil mengenang program bikinan Joan Ganz Cooney dan Lloyd Morrisett tersebut lewat mini album teranyar ERK bertajuk Jalan Enam Tiga yang dirilis pada 28 Januari lalu, di Mbloc Space, Blok M, Jakarta Selatan. Menurut Cholil saat konser, Jalan Enam Tiga merujuk kepada lokasi Jalan Sesama, di salah satu sudut New York, sebagaimana petunjuk yang diberikan pembuat program tersebut.


Jalan Enam Tiga, yang juga judul salah satu dari empat lagu dalam mini album ini, memang menceritakan adegan selayaknya Jalan Sesama. Misalnya bagian lirik berikut yang mengingatkan adegan sekumpulan anak-anak multiras menunggu kereta menuju Jalan Sesama sambil bernyanyi bersama:




Siapa ingin ikut serta


Jalan Enam Tiga


Kita naik kereta saja


Ekspres atau biasa bisa


Jangan berdiri di pintu


Nanti bisa ganggu laju


Banyak yang terburu-buru


Ingin sampai tepat waktu



Melodi lagu Jalan Enam Tiga sangat ceria dengan tempo up-beat yang mengundang pendengarnya untuk berdansa. Benar-benar mewakili keceriaan masa kanak-kanak yang tanpa beban dan malu-malu mengekspresikan diri.


Gubahan semacam itu sangat berbeda dari lagu-lagu ERK sebelumnya yang hampir selalu getir dengan nada-nada minor. Alunan yang mengguncang emosi terdalam di diri pendengarnya dan turut larut dalam kepedihan dan pandangan sosial dalam lagu-lagu ERK.


Meskipun begitu, ciri khas Cholil dalam membuat lirik tak hilang dalam Jalan Enam Tiga. Ia tetap blak-blakan mengekspresikan sikap dan pandangan politiknya. Dalam lagu ini, adalah anti rasialisme, bigot dan demagog, yang tertuang dalam lirik.




Jalan Enam Tiga, semua merdeka


Boleh berbeda, ekspresikan saja


Tak ada bigotnya, tak ada demagognya


Bukan rekaan, ini kenyataan.



Rasialisme memang belum sepenuhnya hilang dalam kehidupan masyarakat dunia, meskipun era sudah berkembang ke arah globalisasi melalui teknologi-teknologi baru yang memungkinkan manusia lintas ras bersosialisasi tanpa tersekat wilayah dan waktu. Orang kulit hitam masih mendapat perlakuan rasis di Amerika Serikat, meskipun hak politiknya telah sama secara konstitusi. Orang Tionghoa masih dipandang sinis di Indonesia sebagai liyan yang mengganggu hidup pribumi. Dan lain-lain.


Dalam tataran tertentu, sikap rasis semacam itu dimanfaatkan para bigot dan demagog untuk kepentingan politik praktisnya. Kita melihatnya di pilpres 2019 lalu ketika politik identitas memainkan peran menggerus isu-isu substansial yang mestinya menjadi perbincangan selama kampanye. Kita pun melihat akibat dari hal itu: kebencian kepada kelompok dan ras tertentu.


Meskipun Cholil tak mengungkapkannya, besar kemungkinan dirinya merasakan kegelisahan atas tindakan-tindakan rasisme yang terjadi dan menyatakan ketidaksetujuannya melalui Jalan Enam Tiga.


Dalam mini album ini, Cholil memasukkan lagu "Tiba-Tiba Batu" yang terlebih dulu rilis pada September 2019 lalu. Seperti Jalan Enam Tiga, lagu ini bertempo up-beat. Lagu ini ditempatkan sebagai single pembuka mini album dan bisa dikatakan sukses membawa pendengarnya ke ruang semangat, kalau bukan histeria.


Pilihan kata histeria mungkin memang lebih tepat untuk menggambarkan lagu "Tiba-Tiba Batu". Sebab lagu ini secara keseluruhan bercerita tentang orang-orang ngotot, demen berdebat, ingin menang sendiri, tapi minim data. Sebuah histeria yang sedang terjadi di internet akhir-akhir ini.


Kumpulan orang macam itu digambarkan Cholil dengan sangant baik:




Wajahnya terlihat sama


Belum ada plastik di muka


Di kepalanya sumpah serapah semua.



Selanjutnya adalah lagu "Normal Yang Baru". Tak seperti dua lagu sebelumnya, lagu ini bertempo middle-beat dengan permainan gitar sederhana. Sepintas mirip gubahan Radiohead dalam lagu Fake Plastic Trees dengan ditambah suara distorsi.


Secara pesan, "Normal Yang Baru" masih berkelindan dengan "Tiba-Tiba Batu", yakni menyoroti hoaks yang menjadi bagian histeria era internet dan media sosial. ERK mengingatkan bahwa kebohongan yang terus dibiarkan dan didengungkan terus-menerus akan menjadi kebenaran. Semacam Argentum ad Nausem ala Paul Joseph Goebbels, propagandis Nazi, atau sering disebut dengan teori Big Lie. Lewat lagu ini ERK mengajak untuk melawan hoaks sebelum menjadi "normal yang baru" dan akhirnya menyesatkan publik.




Kabar miring yang kita biarkan


Lurus dengan sendirinya


Kebenaran yang diamini


Benar dengan sendirinya


Karena kita biarkan


Jadi normal yang baru



Lagu terakhir dalam album ini adalah "Palung Mariana". Lagu bertempo low beat ini bisa jadi adalah perwujudan kontemplasi Cholil sebagai penulis liriknya. Lagu ini paling puitis secara lirik dan paling gamblang mengungkap kepedihan penulisnya.


Kita tahu bahwa "Palung Mariana" adalah salah satu palung terdalam di dunia dengan segala mitos dan konspirasinya. Sebagai alegori kedalaman hati dengan perasaan yang bergejolak, rumit dan tersembunyi, tentu Palung Mariana sangat cocok. Tak ada yang tahu isi hati manusia selain dirinya sendiri. Tak ada yang bisa menjangkau kepedihan seseorang kecuali dirinya sendiri dan Tuhannya. Kepedihan itu bagi Cholil adalah:


Ada luka-luka


Tak terjangkau sesal


Kumenyelam membawanya


Sesak.


Dengan komposisi demikian, tak ragu kiranya menyebut mini album yang seluruhnya diproduksi di New York ini sebagai sajian pembuka bergizi di awal tahun. Menjadi penambah energi bagi kita semua yang berharap tahun 2020 berjalan lebih baik. Tak berlebihan juga untuk mengatakan ERK masih konsisten memproduksi lagu bagus. Bagus banget malah.

Komentar

Tulis Komentar