Oleh: Siti Djuwariyah
Komunikasi kami dengan Abi tidak bisa dilakukan tatap muka sebab ketika itu Covid-19 belum mereda. Alhasil, surat adalah media penghibur komunikasi kami selain video call.
Sebagian isi surat dari anak-anak kepada Abinya mereka gunakan untuk melepas rindu dan merawat semangat. Sedangkan aku hanya bisa menyelipkan hiburan dalam surat yang terakhir sempat kukirimkan dengan menuliskan lirik syair nasyid yang sering kita dengarkan ketika bersama di rumah:
Terima Kasih Segalanya.
”Engkau tak kan pernah tahu, senyumanmu itu penenang hatiku.
Hapus semua lelah ku, kau buat ku lupa ujian bertalu.
Tulus jiwa ku katakan padamu, betapa ku sayang kan dirimu.
Terimakasihku atas kesetiaan,
terimakasih ku atas kebahagiaan,
terimakasih ku atas penghargaan.
Janjiku padamu akan kuusahakan kan terus bertahan dengan izin Tuhan,
hingga ujung nyawa ku berterimakasih kepadamu”
Maka yang bisa kulakukan hanyalah melangitkan doa di setiap salat dan di sepertiga malam terakhir.
Munajatku kepada-Nya selalu kumohonkan agar ibu dan suamiku dikaruniai kesehatan dan kekuatan untuk bertahan atas segala ujian yang sedang kami hadapi ini dengan hati yang penuh keikhlasan. Memohon kepada-Nya agar diringankan dan dimudahkan segala urusan, demikian juga untuk anak-anak baik Mas Zufar maupun adik-adiknya yang sedang menuntut ilmu di pesantren.
Kala kesedihan dan pikiran-pikiran negatif menyerang dan menghimpit perasaanku , segera aku tepis dengan merajut asa dan bersegera bangkit dengan penuh semangat untuk tetap gigih dan tidak merasa lemah.
Hanya itulah modal yang kumiliki untuk terus melangkah dalam perjuangan ini, melanjutkan apa yang menjadi visi dan misi keluarga kami, berkumpul bersama keluarga hingga ke surga.
Aku selalu yakin bahwa Allah tak kan membiarkan kami dalam kekurangan dan keterpurukan. Setiap musibah atau keburukan yang menimpa hamba-Nya adalah salah satu bentuk kasih sayang-Nya agar hamba-Nya tersadar akan dosa dan kesalahannya sehingga esok bisa kembali kepada-Nya dalam keadaan suci bersih.
Sebab itulah aku selalu berusaha mengamalkan pelajaran yang kudapat ketika ngaji dulu, tentang kesabaran, keikhlasan, tawakal dan istiqomah.
Memang sangat berat ternyata aplikasinya dalam kehidupan yang sedang kujalani saat ini tanpa abinya anak-anak di sisiku. Namun, itu pula yang selalu kunasehatkan kepada anak-anak (yang sebenarnya juga menasehati diriku sendiri) ketika rindu akan kehadiran Abi selalu muncul dalam pikiran dan hati.
Ditambah lagi belum adanya kepastian kapan dia akan kembali, setahun, dua tahun, empat tahun atau delapan tahun kah? Pikiran itu selalu menggangguku.
Maka ketika anak-anak yang di pesantren menelpon dan mengungkapkan rindunya akan Abi melalui tangisnya tanpa ada kata yang bisa terucap setelah aku menunggu lama, segera kuberkata:
"Sabarlah Nak...Allah bersama hambanya yang sabar. Umi tak kan kuat jika kalian tidak kuat. Maka kuatkanlah kesabaranmu. Kita terus doakan Abi agar dimudahkan urusannya dan kita selalu berharap Abi bisa kembali secepatnya meski ini akan berlangsung dan berasa lama. Jangan terlalu kau pikirkan Abi, fokuslah pada ilmu yang sedang kau pelajari, pasti itu juga harapan abi. Tentu Abi tak ingin kalian gagal mengejar mimpi kalian, justru Abi ingin kalian bisa membuktikan bahwa kalian anak-anak Abi yang kuat. Semangatlah, berusahalah, jangan pernah menyerah, Umi doakan dari rumah. Umi berjuang di rumah, kamu berjuanglah di sekolah"
Telepon ditutup dengan permohonan maaf dan doa diiringi isak tangisnya yang seolah tak bisa dihentikannya.
Tanpa terasa waktu terus berjalan. Alhamdulillah Allah mudahkan proses demi proses persidangan, hingga kudapatkan kabar tentang kapan Abi pulang.
Meski berat tapi sedikit merasa lega. Asaku tak kan berhenti di sini. Aku akan selalu siap untuk berusaha dan mendukung apa yang menjadi keputusannya. Semoga Allah memudahkan jalannya dan meridhoinya.
Baca juga: Melangitkan Doa Merajut Asa (1)
Melangitkan Doa Merajut Asa (2)
Otherby Administrator 19 April 2023 11:50 WIB
Komentar