Merekam Jejak Perjuangan Abu Bakar Baasyir (3)

Tokoh

by Kharis Hadirin

Lengsernya Presiden Soeharto pada Mei 1998, kembali membuka ruang demokrasi di Indonesia dan menjadi penanda dimulainya era reformasi. Berbagai kegiatan yang awalnya dicekal oleh pemerintah, perlahan mulai kembali bernafas lega. Perubahan itu ternyata dimanfaatkan oleh Abu Bakar Baasyir (ABB) dan Abdullah Sungkar yang saat itu berada di Malaysia. Pada 20 Oktober 1999 mereka memutuskan untuk kembali ke tanah air.

Kabar kembalinya Abu Bakar Baasyir dan Abdullah Sungkar ke Indonesia segera menjadi perbincangan hangat di kalangan jihadis, terutama anggota Jama’ah Islamiyah (JI). Bahkan mereka mengadakan tasyakuran di kawasan Bogor pada 23 Oktober 1999 untuk menyambut dua figur penting itu. Agenda utama dari tasyakuran itu adalah mengumpulkan kembali serpihan kelompok pasca peristiwa infishol (perpecahan) dan melakukan konsolidasi jama’ah dalam percaturan dakwah jihad pasca reformasi.

Momentum yang tepat membuat kegiatan tersebut sukses besar. Namun, dibalik kesuksesan itu, orang-orang yang hadir dan Jamaah Islamiyah secara umum harus menutup acara dengan duka. Abdullah Sungkar diketahui meninggal dunia saat kegiatan tasyakuran sedang berlangsung. Beliau kemudian dimakamkan keesokan harinya di Klaten, Jawa Tengah.

Kepergian Abdullah Sungkar jelas memberi dampak signifikan bagi organisasi Jamaah Islamiyah yang baru beberapa tahun dirintis. Bagi sebagian anggota, tidak ada satu pun orang yang dianggap bisa menggantikan peran tokoh itu. Bahkan, ABB yang sering menemani Abdullah Sungkar dipandang belum cukup mapan untuk menerima tampuk kepemimpinan.

Namun, organisasi harus tetap berjalan. Abu Bakar Baasyir yang sejak lama menjadi tangan kanan Abdulah Sungkar menjadi calon kandidat tunggal. Meski awalnya sebagian anggota keberatan atas penunjukan ABB, namun dengan adanya kekosongan pimpinan, memuat mereka akhirnya legowo. Sejak saat itu, Ustadz Abu secara resmi menggantikan Abdullah Sungkar sebagai Amir (pimpinan) JI.

JI di bawah kepemimpinan ABB

Semenjak resmi dilantik sebagai Amir JI, ABB langsung bergerak melanjutkan berbagai proyek yang sedang digarap oleh JI. Salah satu proyek besar JI saat itu adalah pengiriman anggota untuk mengikuti berbagai pelatihan militer atau tadrib asykari di Afghanistan. Namun, untuk kembali menjalankan proyek ini, JI harus dihadapkan fakta bahwa pada tahun 1995, kelompok Thaliban telah menghancurkan kamp pelatihan yang dibangun oleh para mujahidin Indonesia di Afghanistan. Di sisi lain, terjadi konflik senjata antara mujahidin Arab dengan kelompok Thaliban. Sehingga, tidak ada basis wilayah yang bisa digunakan sebagai tempat pelatihan bagi anggota JI disana.

Beberapa pilihan lain sebagai pengganti yaitu Bosnia, Chechnya, Khasmir, dan Palestina. Sempat tersiar kabar bahwa beberapa anggota JI pernah bergabung bersama kelompok militan Muslim lokal di wilayah-wilayah itu. Namun, informasi tersebut masih simpang siur dan tidak ada sumber yang jelas untuk mengkonfirmasi kebenaran berita tersebut.

Menakar sulitnya melakukan pelatihan militer di Asia Timur maupun Eropa Timur, maka orientasi JI beralih ke Mindanao, Filipina. Mindanao menjadi satu-satunya wilayah di Asia Tenggara yang menyediakan berbagai fasilitas militer bagi orang-orang asing, termasuk Indonesia. Sebab, ketika itu, masih terjadi konflik antara Pemerintah Filipina dan faksi-faksi di Mindanao yang ingin merdeka. Sejak era Abdullah Sungkar, kelompok NII memang sudah menjalin hubungan dengan pejuang Muslim Filipina. Terutama pada era dengan Syeikh Salamat Hasyim yang menjadi pelopor lahirnya organisasi Moro Islamic Liberation Front (MILF).

Melalui fasilitas yang disediakan MILF, para alumni Afghanistan asal Indonesia mendirikan tempat pelatihan militer di Mindanao. Mereka memberi nama tempat pelatihan itu sebagai Kamp Hudaibiyah. Di lokasi inilah para pejuang asal Indonesia digembleng dengan berbagai kemampuan militer. Mulai dari strategi perang, penggunanaan berbagai persenjataan artileri dan infanteri, hingga perakitan bom.

Menjelang tahun 2000, pecah konflik besar antara Islam dan Kristen di Ambon, Maluku. Tak ingin gegabah, JI mengutus beberapa perwakilannya untuk meninjau lokasi konflik secara langsung. Tujuannya, untuk memastikan apakah konflik yang terjadi di Ambon karena sentimen agama atau sebatas perselisihan antar etnis. Di satu sisi, sebagian anggota menilai sikap tetua JI dianggap lamban dalam mengambil keputusan. Rumitnya birokrasi di tubuh JI, membuat para anggotanya tidak bisa berbuat apa-apa, sementara waktu itu banyak korban dari kalangan Muslim mulai berjatuhan.

Karena sudah tidak mampu menunggu lagi beberapa anggota JI ‘membelot’. Melalui Komite Penanggulangan Krisis (KOMPAK), sebuah organisasi sayap kemanusiaan yang dibentuk oleh Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), para anggota JI yang membelot itu berhasil masuk ke Ambon sebagai ‘penumpang gelap’. Masuknya beberapa anggota JI di Ambon, secara otomatis menarik anggota-anggota lain yang tersebar di berbagai wilayah. Inilah masa-masa anggota JI mempraktekan keahliannya.

Pada konflik di Ambon itu, muncul nama seorang mujahidin yang bukan berasal dari Indonesia. Dia adalah Umar Al Faruq alias Mahmud Bin Umar Assegaf. Pria kelahiran Yaman ini diduga sebagai operator Al Qaedah di Asia Tenggara. Majalah TIME edisi 15 September 2002, menyebut Umar sebagai otak dibalik rencana pembunuhan Presiden Megawati Soekarnoputri. Bahkan dirinya juga disebut telah memberikan perintah kepada Hambali untuk melakukan pengeboman pada malam natal tahun 2000. Hambali sendiri kini mendekam di penjara milik pemerintah Amerika Serikat, Guantanamo, di Kuba.

Pada masa-masa munculnya serangan-serangan bom yang diklaim Umar, Abu Bakar Baasyir masih sibuk melakukan safari dakwah di berbagai wilayah di Indonesia. Meskipun demikian, nama ABB selalu saja dikaitkan dengan berbagai aksi JI. Bahkan, Umar Al Faruq menyebut ABB sebagai mufti (pemberi fatwa) atas serangan bom di Masjid Istiqlal Jakarta pada 1999 silam. Namun, karena minimnya bukti konkrit, Ustadz Abu masih bebas dan tidak tersentuh hukum.

Kemudian pada 5 - 7 Agustus 2000 telah diselanggarakan Kongres Mujahidin I di Yogyakarta. Dalam pertemuan akbar tersebut, hadir sebanyak 1.800 peserta dari 24 provinsi, serta sejumlah tokoh jihad seperti Irfan S. Awwas, Abu Jibril, dan Shobbarin Syakur. Melalui kongres tersebut, lahirlah Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dengan menunjuk Ustadz Abu sebagai pimpinan tertinggi.

Naiknya ABB pimpinan MMI rupanya memunculkan kritik sejumlah anggota JI. Pasalnya, ABB dianggap tidak konsisten dengan menerima jabatan ganda, menjadi Amir JI dan MMI. Perlahan reputasi ABB pun pudar seiring dengan naiknya nama Abu Rusydan, yang kala itu menjabat sebagai Pelaksana Tugas Harian Amir JI. Abu Rusydan kemudian menggantikan sementara posisi ABB yang kala itu ditahan atas keterlibatannya dalam serangan Bom Bali I di tahun 2002.

Lalu pada Juni 2006, ABB akhirnya bebas. Keluar dari penjara, ia kembali menjalani rutinitasnya, yakni berdakwah ke beberapa daerah. Bahkan dirinya pernah menjadi penceramah dalam acara tabligh akbar dan wisuda pada 2009 di Pondok Pesantren Al Islam Tenggulun, Kec. Solokuro, Kab. Lamongan.

Mendirikan Jama’ah Anshorut Tauhid

Setelah 2 tahun bebas sejak 2006, Abu Bakar Baasyir melihat adanya perbedaan pandangan di internal MMI. Maka pada 19 Juli 2008, dirinya memutuskan untuk keluar dari MMI dan mendirikan organisasi baru bernama Jama’ah Anshorut Tauhid (JAT). Di tahun yang sama, terjadi perombakan besar di internal JI. Dalam sebuah pertemuan di Surabaya, Dewan Majelis Syuro JI memutuskan untuk ‘memberhentikan’ ABB dan menunjuk Para Wijayanto sebagai amir baru.

Semenjak adanya pergeseran posisi di JI, kini ABB memilih untuk fokus mengurus JAT. Hingga pada 2010, JAT melalui restu dari Ustadz Abu, mengikuti pelatihan militer lintas tandzim yang tergabung dalam kelompok Mujahidin Serambi Mekkah di Bukit Jalin, Jantho, Kab. Aceh Besar, Prov. Aceh.

Namun, pelatihan militer tersebut berhasil terendus oleh pihak kepolisian. Pada Senin (21/2/2010), pasukan gabungan TNI dan Polri menggrebek lokasi pelatihan yang terletak di sebuah hutan. Puluhan orang berhasil diringkus. Bahkan ABB sendiri ditangkap pada Senin (9/8/2010) di kawasan Banjar Patroman, Jawa Barat saat hendak menuju Solo.

Setelah penangkapan tersebut, ABB mendekam di tahahan di Lapas Gunung Sindur, Bogor. Sebelumnya, ia sempat ditahan di Lapas Pasir Putih, Nusa Kambangan, Cilacap. Namun karena dianggap resisten, ia akhirnya dipindahkan ke Gunung Sindur hingga akhirnya bebas pada Jum’at (8/1/2021) kemarin.

Kini, Abu Bakar Baasyir sudah bebas dan kembali bersama keluarga besarnya di Solo. Tidak dipungkiri bahwa sebagian besar umurnya telah dihabiskan di dalam penjara hingga menjelang usia senja. Namun, apakah penjara akan membuat dirinya merasa jera dan tak lagi berani untuk bersuara?

Komentar

Tulis Komentar