Lebaran Tanpa Abi

Other

by Administrator

Oleh: Siti Djuwariyah

Setelah kepergiaan abi, kondisi anak-anak perlahan mulai stabil. Nenek pun sudah bisa menerima kenyataan bahwa anak lelakinya harus pergi sementara waktu untuk mempertanggungjawabkan apa yang sudah diperbuat sebelumnya.

Kami beraktivitas seperti biasa.

Aku tahu, kesedihan tetap terpancar dari wajah anak-anak, terutama Q  yang merasa sangat terpukul. Sebab, sehari sebelum abinya dibawa pergi, dijanjikan akan mengajak ke pasar untuk membeli kebutuhan Lebaran rumah nenek. Ditambah lagi, hari itu adalah ulang tahunnya ke-15.

Aku hanya bisa menasehatkan kepada anak-anak bahwa kita tak boleh larut dalam kesedihan terus-menerus. Kehidupan ini haruslah tetap berjalan. Maka aku bangkit dan berusaha menata ulang program kehidupan yang sudah aku susun bersama suami sebelumnya.

Akhirnya, aku ke pasar untuk membeli kebutuhan demi menyambut Idulfitri yang datang 3 hari lagi.

Hari Raya tiba. Meski masih dalam suasana pandemi, suara takbir menggema di seluruh pelosok. Namun, tak seperti Lebaran sebelumnya yang penu suka cita, malam Lebaran saat itu gemanya menyesakkan hati kami dan menambah deras aliran air mata.

Aku segera tersadar, biasanya di malam Lebaran Abi mengajak kami ke rumah nenek untuk sungkem, memohon ridho dan keikhlasannya agar memaafkan segala kesalahan dan kekhilafan kami.

Hal ini sudah menjadi tradisi dalam keluarga kami setiap malam Lebaran tiba. Dimulai abi yang sungkem kepada nenek, dilanjutkan aku, kemudian anak-anak secara berurutan dari yang sulung sampai si bungsu. Setelah selesai dengan nenek gantian aku yang sungkem kepada suami diteruskan anak-anak. Begitu seterusnya sampai selesai semua anak saling mendoakan dan memaafkan.

Maka kuajak anak- anak ke rumah nenek untuk sungkem.

Ketika kucium tangannya tak ada kata-kata yang bisa keluar dari mulutku satu patah katapun karena sangat kelu dan hati ini juga merasakan kesedihan yang nenek rasakan terlalu dalam. Nenekpun demikian, sehingga malam itu menjadi malam yang sangat mengharu biru.

Keesokan harinya, suasana Idufitri tak seperti tahun- tahun sebelumnya. Salat Idulfitri yang diadakan di masjid- masjid dibatasi dengan jarak dan aturan protokol kesehatan sesuai anjuran pemerintah karena pandemi masih belum reda.

Sudah terbayang dalam benakku suasana lebaran kali ini akan sepi dari tamu dan sanak saudara yang biasanya ramai berkunjung. Maka pintu rumah ibukupun kututup, tetapi ibu tidak membolehkannya karena hal itu seolah menolak tamu yang ingin datang bersilaturahmi.

Akhirnya pintu kubuka kembali. Ternyata memang benar kata ibu. Tak berapa lama ada beberapa saudara, tetangga dan kerabat yang datang untuk bersilaturahmi dan saling memohon maaf.

Anak-anak bergiliran menjaga nenek dan melayani tamu yang datang. Dikarenakan aku masih sibuk mengurusi si bungsu maka, tidak bisa selalu standby di rumah nenek.

Ketika rombongan keluarga sepupu dari Semarang datang maka akupun menyambutnya karena nenek tidak bisa menyambut satu-persatu secara langsung, sekaligus menyampaikan permohonan maaf dari kami dan suami yang tidak bisa hadir bersama.

Kami tidak melanjutkan aktvitas silaturrahmi keluar dari desa dikarenakan masih pandemi. Untuk menyambung silaturrahmi dengan saudara lainnya, kami lakukan melalui alat komunikasi yang sudah dikembalikan oleh petugas. Mengingat aku adalah bungsu dari sembilan bersaudara.

Ketika masa liburan sekolah usai, maka anak-anak harus kembali ke tempat mereka menuntut ilmu. Alhamdulillah tidak sedikit dukungan dan bantuan yang aku terima dari saudara dan kawan-kawan abinya. Bahkan teman-teman abinya menyempatkan waktu dan kendaraannya untuk mengantar anak balik ke pesantren, ada juga yang sudi mengantar anak untuk mendafatar sekolah. Terimakasih kepada para saudara dan kawan-kawan yang telah membatu kami, semoga semua jerih payah kalian akan mendapatkan pahala dan dicatat sebagai amal saleh di sisi-Nya.

Terima kasih almarhum Cak Ucup (Machmudi Hariono), yang banyak membantu dan memfasilitasi kami sehingga urusan kami menjadi terasa lebih mudah karenanya.

Masih di bulan Syawal, rasa rindu kepada suami sedikit terobati ketika kami diberikan kesempatan untuk komunikasi video call. Nenek yang sudah mulai beraktivitas di kantin pun bisa bergabung dengan kami.

Meski tak banyak kata yang bisa diucap, hanya derai air mata yang mewakilinya, akan tetapi aku lihat ada rasa tenang pada raut wajah suamiku, karena sudah bisa menyampaikan permohonan maafnya secara langsung kepada ibu, dan ibupun mengalami hal yang sama. Ketika kesempatan pertama aku berikan kepada beliaupun, tidak banyak kata yang terucap. Namun, aku yakin di balik deraian air mata yang tertumpah, dipenuhi untaian doa semoga anak lelakinya dimudahkan dalam menyelesaikan urusannya, dan bisa segera kembali pulang kumpul bersama keluarga.

 

 

 

Komentar

Tulis Komentar