“Serr, nang ndi Serrr? Ini lagi di Markas Lamper, wah pelanggaran tenan aku ora diajak mancing bareng Gus’e (Serr, di mana Serr? Ini lagi di Markas Lamper, wah pelanggaran sekali saya tidak diajak mancing bareng Gus),”
Itu percakapan saya yang terakhir dan tentunya tidak akan ada percakapan lagi di dunia ini dengan Cak Ucup. Saya menelpon balik Cak Ucup, Selasa (4/10/2022) pukul 13.03 WIB. Delapan menit sebelumnya Cak Ucup menelpon saya via WA, namun tidak sempat terangkat, sebab itu saya telepon balik begitu bisa.
Kami biasa guyonan. Seperti obrolan siang kemarin itu. Tidak ada nada marah sama sekali dari Cak Ucup. Panggilan “Serr” yang dimaksud adalah plesetan dari “Sir” alias Tuan. Saya pun kerap memanggilnya “Serr”. Begitupun teman-teman lain yang sering berkomunikasi bersama Cak Ucup, terutama teman-teman di Intelijen Mobile (Intelmob) Brigade Mobil (Brimob), Intelijen Polda, maupun teman-teman Detasemen Khusus (Densus) 88 di Jawa Tengah. Panggilan atau sapaan “Serr” mengakrabkan kami.
Markas Lamper yang dimaksud adalah Jl Lamper Tengah Semarang, di situ tempat tinggal Joko Priyono alias Karso, eks narapidana terorisme Neo JI, yang baru bebas Mei 2022 lalu. Gus yang dimaksud adalah Taj Yasin Maimoen, Wakil Gubernur Jawa Tengah.
Memang, Sabtu kemarin, 1 Oktober, saya dan teman-teman wartawan di Kota Semarang ada kegiatan “Mancing Bareng Gus Yasin” di Tempat Wisata Maerakaca. Saya mengajak Pak Karso, karena memang dia yang hobi memancing. Acara mancing itu sempat kami obrolkan di mobil saat perjalanan dari Yogyakarta balik ke Semarang, Selasa 29/9/2022 malam. Ketika itu kami baru saja dari acara “Pelatihan Peningkatan Kapasitas: Memperkuat Strategi Melibatkan Keluarga dalam Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Ekstrimisme Kekerasan” kerjasama Kreasi Prasasti Perdamaian dengan Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia (DFAT).
Selain itu, kegiatan kami di Yogyakarta juga untuk berdiskusi bersama Mas Huda (Noor Huda Ismail), senior di tim kami, terkait buku “Pendanaan Terorisme” yang sedang kami susun.
“Aku nggak ngajak karena kan Cak Ucup ora seneng mancing (Aku tidak mengajak karena kan Cak Ucup tidak suka memancing?” timpalku di obrolan telepon kemarin itu.
“Yo, aku ora seneng mancing, paling tekan kono joran tak selehke wae, nunggu sing podo entuk iwak bandeng, tak gowo mulih. Minimal kan bakar-bakarane ngabari he he he (Ya, aku tidak suka mancing, paling sampai sana joran tak taruh, tunggu yang pada dapat ikan bandeng, tak bawa pulang. Minmal kan bakar-bakar ikannya kasih kabar),” timpal Cak Ucup lagi.
Obrolan kami berlanjut. Siang itu saya dan istri juga anak hendak ke salah satu tempat ngopi di wilayah Tembalang Semarang, bersama kawan dari Densus 88. Saat itu ada orang dari Klaten akan ngobrol-ngobrol kalau produk herbalnya dipalsukan.
“Ok, engko nek sempat nyusul rono (Ok, kalau sempat nanti nyusul ke sana),” kata Cak Ucup melanjutkan obrolan.
Sore berlalu. Saya sempat kirim WA poster kegiatan “Cegah Radikalisme dan Terorisme di Semarang” yang akan digelar hari ini di Universitas Semarang. Cak Ucup sedianya jadi salah satu narasumbernya. Pesan saya tak dibalas. Dalam hati, ah mungkin Cak Ucup sibuk. Karena memang Cak Ucup ini orang yang sangat mobile, dari pagi sampai malam bisa temui sangat banyak orang.
[caption id="attachment_14040" align="alignnone" width="1600"] Cak Ucup (kiri depan, tampak belakang), ketika ikut menjemput Joko Priyono alias Karso yang bebas dari Lapas Ambarawa, Mei 2022. FOTO-FOTO: RUANGOBROL.ID/EKA SETIAWAN[/caption]
Tadi malam, saya juga merasa cukup capek, sehingga istirahat lebih cepat dari biasanya. Rencana saya, hari ini akan ke acara di USM itu, sekalian ngobrol-ngobrol dengan Cak Ucup.
Rentetan Telepon dan Pesan
Pagi tadi, istri membangunkan saya, bilang kalau banyak sekali telepon yang masuk. Saya cek HP, benar. Selain panggilan tak terjawab, banyak juga pesan WA yang masuk, waktunya hampir bersamaan. Salah satu saya telepon balik.
“Mas, Cak Ucup ora ono bener nggak yo? (Mas, Cak Ucup meninggal, bener nggak ya?) info perkembangan Mas,” kata aparat intelijen di balik telepon.
Sontak kaget mendengarnya! Saya buka pesan WA, ternyata banyak sekali info masuk seperti itu. Setelah kroscek sana sini, ternyata betul kabar mengagetkan pagi itu. Subuh tadi, keluarga mencoba membangunkan Cak Ucup, namun ternyata sudah tiada.
Sejurus kemudian, baik telepon maupun WA berseliweran masuk. Bertukar info perkembangan. Ada dari Sulawesi Tengah, ada dari Klaten, ada dari Kendal, Jawa Barat, Jakarta, dan banyak lagi. Mereka itu berlatar belakang mulai dari aktivis kontra terorisme, calon Romo, orang-orang pemerintahan, pimpinan Lapas, pimpinan-pimpinan Densus di berbagai wilayah sampai kepala desa hingga ketua RT dari berbagai tempat dan terutama para mantan napiter, laki-laki maupun perempuan. Cak Ucup punya jejaring yang sangat luas.
[caption id="attachment_14042" align="alignnone" width="1600"] Cak Ucup (depan kiri) menjadi narasumber di lingkup RT/RW dan desa di Desa Tlogo, Klaten, November 2020. Cak Ucup jadi fasilitator program dalam rangka menciptakan iklim kondusif di wilayah terkecil menjelang kepulangan napiter di sana.[/caption]
Kisah Oktober
Cak Ucup ini nama aslinya Machmudi Hariono, pria kelahiran Jombang 19 November 1976. Karena dari Jawa Timur itu pula, akrab disapa "Cak". Tahun 2003 silam, Cak Ucup ditangkap Densus 88 di Kota Semarang, terkenal dengan kasus “Bom Sri Rejeki”, pengembangan kasus Bom Bali I yang meledak Oktober ini, 20 tahun silam.
Vonisnya 10 tahun, menjalani hukuman 5,5 tahun, Cak Ucup bebas penjara. Salah satunya lewat tangan dingin Mas Huda, Cak Ucup perlahan berubah. Tahun 2012 silam saya kali pertama jumpa Cak Ucup, saat itu masih mengelola Dapur Bistik dan Dapur Bakery di Kota Semarang. Sejak 2012 itu, sampai sekarang, kami terlibat banyak sekali kegiatan maupun program.
Intensitas kami makin lekat mulai tahun 2017, hampir setiap hari bertemu. Banyak hal yang dibicarakan. Paling saya ingat, yang selalu diobrolkan Cak Ucup adalah “Ikhwan-ikhwan bagaimana ya nanti?”.
[caption id="attachment_14044" align="alignnone" width="1600"] Cak Ucup (paling kiri) ketika bersama kami mengantar mantan napiter Gilang Nabaris (paling kanan) di acara Mata Najwa, Jakarta, Maret 2021.[/caption]
Para ikhwan yang dimaksud adalah “teman-temannya” di jaringan teror. Baik yang dikenalnya langsung ataupun tidak. Semuanya dianggap saudaranya, sehingga harus ditolong. Tentunya dalam konteks kebaikan.
Ingatan saya, Cak Ucup ini orang yang sangat-sangat ringan tangan. Di antaranya, mulai dari membesuk napiter maupun tahanan di lapas/Rutan, membawakan makanan, mengantar obat, menjemput hingga mendampingi para napiter yang bebas penjara, berinteraksi dengan lingkungan mereka, menyambangi keluarga-keluarga mereka, membantu mencari tempat kos, pindah kontrakan, pindahan rumah, memasarkan produk-produk mantan napiter, sampai ke beberapa tempat menyalurkan berbagai bantuan. Intinya, ringan tangan sekali Cak Ucup ini.
[caption id="attachment_14043" align="alignnone" width="1600"] Membantu mengenalkan produk kopi dari mantan napiter ke Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, Maret 2021.[/caption]
Membawa dan turut berkontribusi membawa “para ikhwan” ke jalur kebaikan, barangkali itulah yang juga melatarbelakangi Cak Ucup ini untuk membentuk Yayasan Putra Persaudaraan Anak Negeri (Persadani), 2020 silam.
“Mungkin kecapekan Mas, habis bagi-bagi sembako kemarin soalnya,” tulis Nur Afifudin, pengurus Yayasan Persadani pagi ini via WA ke saya.
Memang, saat obrolan telepon, suara Cak Ucup terdengar seperti sedang pilek. Saya kerap menjumpainya demikian, karena memang sering ke luar kota. Baik untuk urusan yayasan, aktivitas kebaikan lainnya maupun memang Cak Ucup ini juga seorang sopir mobil rental, namanya Rema (Rental Manyaran) Semarang.
Bagi keluarga saya, Oktober ini juga punya cerita tersendiri dengan Cak Ucup. Tepat setahun lalu, ketika itu Erna, istri saya mengalami kontraksi hamil. Cak Ucup memang sudah sering telepon begitu tahu istri saya sudah hamil tua. Dia bilang, siap meluncur kapanpun (baca: mengantarkan).
Tepat 5 Oktober 2021 itu, Cak Ucup datang ke tempat tinggal kami, mengantarkan saya dan istri ke RST. Bhakti Wira Tamtama Semarang. Mulai kami masuk RST itulah, Cak Ucup ketika itu membawa anak laki-lakinya, menunggu di pelataran rumah sakit. Saya bilang, ditinggal saja Cak, nggak usah ditungguin. Wajah berat hati terpancar dari Cak Ucup ketika itu.
Anak pertama saya akhirnya lahir, 7 Oktober 2021 di sana. Hampir tiap hari pula, menjelang kelahiran itu, Cak Ucup bolak-balik ke rumah sakit, menemani. Pun saat pulang dari rumah sakit, Cak Ucup sudah ada di sana mengantarkan kami pulang. Bahkan dengan sigap, ketika saya sedang menurunkan barang-barang dari mobil, Cak Ucup sudah menggali tanah di depan rumah. Cak Ucup juga yang menguburkan ari-ari alias plasenta anak saya. Raya namanya. Ketika saya menikahi Erna, 2019 silam, Cak Ucup jugalah yang mengantar sekaligus menjadi "juru bicara" ke keluarganya.
Senin pekan lalu, ketika Cak Ucup ke rumah, sempat bermain-main dengan Raya. “Ini Mbah, Mbah Yusup” katanya ke Raya.
Ah…begitu banyak yang tidak bisa dituliskan di sini…air mata tak hentinya menetes. Saya bersaksi Cak Ucup orang yang sangat baik.
Seperti pesan Mas Huda di grup Ruangobrol kepada kami merespons kabar kematian itu “Be kind to others! We don’t know what is our time”
Selamat Jalan Cak, Selamat Beristirahat Panjang
Otherby Eka Setiawan 5 Oktober 2022 10:31 WIB
Komentar