Beberapa hari yang lalu saya berkesempatan untuk membesuk salah seorang kawan lama yang pernah sekamar sewaktu sama-sama menjalani penahanan di Rutan Mako Brimob Depok. Menurut informasi yang saya dapat dirinya akan bebas tak lama lagi dari Lapas yang tidak jauh dari rumahnya.
Kedatangan saya merupakan sebuah kejutan tak terduga, mengingat rumah saya yang sangat jauh dari Lapas tempat ia menjalani pidana. Ia sangat senang dan menyebut kedatangan saya tepat di saat ia membutuhkan tempat curhat sekaligus berkonsultasi menjelang kebebasannya.
Ia menyebut dirinya sedang galau menjelang kebebasannya. Ada beberapa hal yang membuatnya galau, di mana kegalauan itu merupakan akumulasi dari apa yang dialaminya selama menjalani pidana. Saya pun memintanya untuk menjelaskan apa saja yang membuatnya galau itu.
Ia kemudian mulai menceritakan masalahnya. Menurutnya semua itu dimulai sejak menjalani penahanan di Rutan Mako Brimob Kelapa Dua, di mana ia mendapati beberapa fenomena ‘unik’. Ia dijauhi dan bahkan dikafirkan karena dianggap menghalalkan rokok dan dekat atau akrab dengan para sipir dan penyidik.
Fitnah atau gosip itu terutama yang menyatakan bahwa dirinya sudah merapat ke pihak musuh (Densus dan BNPT) begitu cepat menyebar di kalangan para aktivis jihadi di seantero nusantara. Bahkan sampai dia dipindahkan ke LP yang dekat dengan rumahnya pun tak lepas dari fitnah itu.
Dirinya disebut bisa dapat LP di kota asalnya adalah karena telah bekerjasama dengan Densus/BNPT atau hasil menyuap petugas. Hal ini menurutnya sangat mengganggu.
Melihat dampak dari fitnah semenjak dari Mako Brimob yang sedemikian luasnya berkembang sampai ada ikhwan yang tidak ada hubungan apa-apa yang tabayyun kepadanya di LP tersebut, ia jadi berpikir untuk meredam fitnah itu agar tidak terus berkembang. Salah satunya ia memilih mengikuti apa yang sudah dilakukan oleh napiter yang ada di LP tersebut sebelumnya meskipun dalam hati sangat tidak setuju.
Di LP tersebut sebelumnya sudah ada napiter yang mengikuti faham/pemikiran Aman Abdurrahman. Salah satu yang cukup mengganggu adalah tidak mau shalat di masjid Lapas, padahal ia sangat ingin shalat di masjid.
Hal ini pula yang menyebabkan ia tidak mengurus remisi. Bukan karena ia tidak mau pulang lebih cepat, tetapi menjaga agar fitnah tidak semakin menjadi-jadi. Ia sudah cukup senang bisa menjalani sisa masa pidana di LP yang dekat dengan rumahnya, sehingga keluarganya bisa menemuinya hampir setiap hari.
Menjelang kebebasannya ia juga mengungkapkan kegalauannya terhadap stigma negatif dari masyarakat. Ia sangat merasakan dampak stigma itu dari tidak adanya saudara dan kerabatnya yang datang membesuk selama ia menjalani pidana di LP tersebut. Hanya anak istrinya saja yang datang. Jika saudara dan kerabatnya saja seperti itu, lalu bagaimana dengan masyarakat luas ?
Setelah bebas nanti ia pun tetap tidak ingin dipublikasikan terkait kegiatannya bersama aparatur negara. Dia sangat paham pasti akan ada banyak pihak yang akan mendatangi dan menawarkan bantuan. Selama bisa tanpa publikasi ia dengan senang hati akan menerimanya. Tetapi jika harus dipublikasikan -dan hal ini pasti diinginkan oleh pihak pemberi, apalagi jika aparatur negara- maka ia akan menolaknya.
Dari cerita kawan itu dapat kita ambil benang merahnya, bahwa di satu sisi ia masih ingin menjaga nama baiknya di mata para aktivis namun di sisi lain ia juga membutuhkan bantuan dari pemerintah maupun LSM.
Ia mau menerima bantuan tetapi tidak mau ada publikasi adalah bukti bahwa ia masih ingin menjaga nama baiknya di mata para aktivis. Padahal orang-orang yang membantu itu kebanyakan ingin publikasi. Ingin tampil bahwa mereka telah melakukan pembinaan terhadap mantan napiter.
Kondisi ini memang dilematis baginya dan orang-orang sepertinya di tempat lain. Pada kondisi seperti ini yang paling ideal bisa membantunya adalah masyarakat. Mereka bisa membantu dengan minimal tidak mengucilkannya karena stigma mantan napiter. Atau alangkah lebih bagus jika bisa misalnya membantu dengan berbagai cara untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.
Mengapa masyarakat adalah yang paling ideal membantu ? Karena masyarakat bisa membantu TANPA PUBLIKASI.
Sisi ekonomi adalah hal yang paling pertama harus diperhatikan karena itu adalah kebutuhan paling asasi hidup manusia dan merupakan titik kritis seorang mantan napiter yang baru bebas.
Jangan sampai kasus seorang mantan napiter yang baru bebas dan memiliki kemampuan membuat bom dan sedang butuh uang kemudian didatangi kelompok JAD yang menawarkan ‘pekerjaan’ untuk menjadi instruktur pembuatan bom bagi kelompok tersebut. Lalu jadilah ia salah satu tersangka yang kembali ditangkap oleh aparat keamanan.
Para mantan napiter yang baru bebas itu butuh bantuan dari kita semua. Tetapi kita harus bijak dalam memberikan bantuan itu agar tepat guna.
Dari cerita kawan itu saya berharap para aparat negara, donatur, dan LSM bisa lebih memahami mengapa terkadang ada mantan napiter yang cukup kooperatif tetapi menolak menerima atau mengurus bantuan. Barangkali mereka punya alasan yang sama dengan kawan itu.
Komentar