Saya dan keluarga sempat terjebak di wilayah ISIS di Suriah. Sempat berada di sana memang banyak pengalaman pahit yang kami alami, tapi bukan berarti kami tak pernah merasakan pengalaman lucu dan menarik.
Saya akan mengambil momen ketika kami berada di kamp pengungsian milik UNHCR di Ain Issa, utara Raqqah, Suriah. Kamp tersebut milik UNHCR, berada di wilayah kekuasan SDF singkatan dari Syirian Democratic Forces.
Para pengungsi di sana, datang dari berbagai daerah di Suriah dan datang dari berbagai negara, yang sempat terjebak di wilayah ISIS. Orang Suriah yang memilih mengungsi, penyebabnya rata-rata karena tempat tinggal mereka kondisinya sudah hancur lebur karena perang dan ledakan bom.
Pengungsi yang bukan orang Suriah, beberapa di antaranya ada warga Irak, Asia dan Eropa. Perbandingannya mungkin sekira 1:10. Karena, warga negara seperti Asia dan Eropa, merupakan imigran atau muhajir yg kabur dari wilayah kekuasaan ISIS.
Mereka adalah perempuan dan anak-anak. Karena kalau yang laki-laki dewasa harus masuk ke penjara milik SDF, sebagaimana kerabat laki-laki kami.
Singkat cerita, pada awal-awal bulan Juni 2017, saya dan keluarga adalah minoritas. Mayoritas warga sipil Suriah. Sampai beberapa minggu kemudian, datanglah pendatang dari wilayahnya ISIS yang berkewarganegaraan Tunisia, Lebanon, Rusia, Jerman dan Perancis.
Mereka datang di waktu yang berbeda-beda. Awal-awal, saya tidak pernah bercakap-cakap dengan mereka. Toh karena tenda atau tempat kami menetap berjauhan, dan tidak ada urusan, ya sudah. Namun, seiring berjalannya waktu, kami mulai banyak bercakap cakap.
Sebabnya, tempat mereka tinggal dekat dengan kantor tentara SDF. Otomatis, apabila saya ingin ke kantor, maka pasti saya melewati tempat tinggal mereka. Selain itu, dikarenakan suami atau kerabat laki-laki dewasa mereka juga di penjara oleh tentara SDF.
Terkadang, mereka punya informasi penting dari para tentara. Sehingga saya sering bertanya kepada mereka.
Banyak hal yang kami bicarakan. Mulai dari masa lalu mereka, perjalanan hidup, makanan khas negara mereka, bahasa, mengapa berhijrah sampai kabur dari ISIS.
Di tengah kondisi yang serba terbatas, kami (para muhajir yang kabur dari wilayah ISIS) diberi amanah oleh tentara SDF berupa alat masak dan bahan pokok.
Sebenarnya, untuk perkakas masak, masing masing dari kami sudah mendapatkan dari UNHCR dan WFP (World Food Program). Tapi, kali ini mendapat tambahan bahan pokok dan kompor.
Ya. Kompor. Inilah yang selama beberapa minggu keluarga saya dambakan. Karena, kalau tidak ada kompor, kita hanya bergantung pada makanan dari dapur atau pedagang di pasar. Sehingga tidak bisa masak sendiri. Kan sayang, kalau makanan makanan pokok dari WFP gak dimasak.
Kompor yang diberikan SDF hanya 1, sehingga kami harus menggunakannya secara bergantian. Dan, yang cukup melelahkan adalah kompor tersebut diletakan di tempat tinggal para imigran tersebut. Sehingga kami harus berjalan cukup jauh sambil menenteng peralatan masak, sayur, bahan baku, dll.
Tiba waktunya keluarga kami. Inilah yang ditunggu-tunggu, kami sudah mulai bisa masak berdasarkan selera kami. Seperti mie goreng, telur dadar, nasi goreng, dan sambal. Ini niih yang penting. S A M B A L.
Musim panas, memang sangat melelahkan. Namun, bagi para pencinta buah dan sayur mayur, musim panas adalah surga. Karena, pada musim itu, buah-buahan sangat melimpah. Mulai dari anggur, peach, semangka, plum, delima, timun, sampai cabe,dll. Oleh karena itu, harga jadi sangat murah. Alhamdulillah senangnya bukan main, kita bisa makan nasi plus lauk pakai sambal.
Kali ini, kita akan menggunakan cara lambat. Membuat sambal dengan menggunting kecil kecil cabai tersebut. Ya, namanya juga di pengungsian. Mana ada tumbukan atau blender.
Mungkin saja, ada pedagang yang menjual. Tapi menurut kami, itu bukan hal yang penting-penting banget. Yang penting bisa buat sambel pake bawang dan cabai.
Ketika keluarga kami masak, sering sekali para wanita atau anak anak dari imigran tersebut menontoni kami yang sedang masak. Namanya juga beda budaya dan masakan. Jadi curious deh. Saya aja juga suka nongkrongin mereka, kalau para wanita Tunisia atau Rusia sedang masak.
Ketika kami selesai membuat sambal, kami iseng menawarkan sambal ini kepada para wanita imigran untuk mencicipi sambal khas Indonesia. Sambal ijo.
Banyak di antara mereka yang bilang enak, dan tidak sedikit yang lidahnya kepedasan.
Bukannya kapok, malah seorang wanita Tunisia, meminta saya untuk mengajarinya membuat sambal ijo. Huwaaah.. Senangnya bukan main.
Akhirnya, saya menyuruh dia untuk mempersiapkan cabai, bawang, gula dan garam. Beruntungnya,mereka mempunyai tumbukan jadi makin nikmat deeh. Tibalah waktunya bagi saya mengajari bagaimana membuat sambal ijo.
Mereka senang sekali bisa memasak sambal. Bahkan uniknya, mereka memakan sambal itu bersama roti lebar khas Suriah.. Ya terserah yang penting mereka menikmatinya.
Keesokan harinya, atau beberapa hari kemudian. Maaf saya lupa. Wanita Tunisa ini, mencoba memasak sendiri sambal ijo. Hasilnya fantastis. Sambal buatannya jauh lebih pedas dan enak dari buatan kami. Waah.. Senang sekali saya waktu itu. Dan sekarang gantian, saya yang malah ketagihan dengan sambal buatannya.
Saya dan keluarga memang pernah melakukan kesalahan besar. Alhamdulillah atas kemurahan dan petunjuk Allah, kami menyadari tindakan kami dan sangat menyesali perbuatan kami.
Disana... Saya telah meninggalkan sebuah jejak kecil, berupa makanan khas Indonesia. Yaitu sambal ijo.
Beberapa negara punya sambalnya masing masing.
Namun, orang-orang Arab sedikit sekali yang mencicipi dan menyukai sambal pedas seperti sambal Indonesia. Senangnya.. Bisa mengenalkan kuliner Indonesia di negeri yang mengerikan itu..
#foodforpeace.
Sumber Gambar: https://images.app.goo.gl/D3NgvHUFXCst95Zq5
Cerita Perempuan Tunisia Belajar Buat Sambal Ijo di Kamp Pengungsian UNHCR
Otherby nurdhania 11 Mei 2019 4:13 WIB
Komentar