Refleksi Perjalanan 7 Tahun Setelah Kebebasan: Aktivis Reintegrasi Atau Storyteller?

Tokoh

by Arif Budi Setyawan Editor by Redaksi

Hari ini 23 Oktober 2024, 7 tahun yang lalu, saya resmi menyandang status sebagai mantan narapidana teroris. Bebas dari Lapas Salemba Jakarta dengan status bebas bersyarat setelah melalui proses yang berliku. Saat itu tak ada yang lebih diinginkan selain segera sampai rumah bertemu dengan keluarga.


Seminggu setelah bebas, baru mulai berpikir apa yang akan dilakukan. Mau kerja apa? Bagaimana caranya ikut berpartisipasi dalam pencegahan terorisme? Bagaimana agar diri ini bisa memberi manfaat meski menyandang status “mantan napiter”?


Selama di penjara, ada satu hal yang sangat mengganggu pikiran saya. Yaitu cerita tentang persoalan reintegrasi eks napiter dari para pembina dan aktivis pendampingan eks napiter yang hadir melakukan kegiatan pembinaan di Lapas. Pada intinya cerita mereka adalah tentang mayoritas eks napiter yang tidak mampu memanfaatkan bantuan materi baik dari pemerintah maupun dari lembaga non-pemerintah. Bahkan beberapa di antaranya malah ada yang menyalahgunakan bantuan itu untuk keperluan lain. Juga masih banyaknya eks napiter yang tetap berpemahaman ekstrim meski sudah menerima bantuan dari berbagai pihak.


Sejak mengetahui hal tersebut, saya bertekad untuk mencegah agar praktek buruk itu tidak terjadi pada diri ini. Maka saya mulai melakukan persiapan dengan berkarya sejak dari dalam penjara, yaitu mulai menulis buku. Saya tidak ingin ketika bebas nanti hanya mengandalkan belas kasih dari pihak lain tanpa ada yang bisa saya berikan atau saya buktikan. Saya tidak akan menjual status mantan napiter untuk mendapatkan bantuan, meskipun saya tahu pemerintah memiliki kewajiban akan hal itu dan saya juga berhak mendapatkannya.


Bagi saya berkarya harus didahulukan baru menuntut hak. Atau berkarya dulu baru meminta bantuan untuk melanjutkan karya tersebut. Itu selalu menjadi pola kerja saya sampai hari ini. Saya dengan percaya diri menghadap pihak-pihak yang saya butuhkan untuk melanjutkan karya yang sudah ada karena saya selalu datang tidak dengan gelas kosong. Dan sejauh ini, hampir tidak pernah saya menemukan penolakan dari semua pihak yang saya temui.



Baca juga: Refleksi 5 Tahun Setelah Kebebasan: Inilah “Jalan Perjuangan” yang Saya Pilih



Berbekal karya yang dipersiapkan sejak dari dalam penjara itu, Allah SWT mengirimkan orang-orang baik yang membantu mewujudkan misi “penebusan dosa” saya, yaitu turut serta dalam pencegahan dan penanggulangan terorisme. PRIK-KT UI (Pusat Riset Ilmu Kepolisian dan Kajian Terorisme Universitas Indonesia), Ruangobrol, Kreasi Prasasti Perdamaian, merupakan beberapa lembaga non-pemerintah yang memberikan kesempatan kepada saya untuk melanjutkan karya yang dirintis sejak dari dalam penjara.


Menyadari proses reintegrasi “para mantan” seperti saya memiliki tantangan yang berbeda-beda pada setiap individu, membuat saya kemudian ingin menjadi fasilitator dalam mengkomunikasikan persoalan di isu reintegrasi “para mantan” ini. Mengkomunikasikan persoalan di lapangan dengan stakeholder dan mengkomunikasikan persoalan yang dihadapi stakeholder kepada “para mantan”. Sehingga didapat saling pengertian dan sama-sama semangat membuktikan komitmennya.



Baca juga:

Lika-Liku Menjadi Credible Voices: Refleksi Empat Tahun Kebebasan (1)

Lika-Liku Menjadi Credible Voices: Refleksi Empat Tahun Kebebasan (2-habis)


Untuk mengkomunikasikan persoalan ini dengan baik, saya memerlukan sebanyak-banyaknya data dan contoh kasus di lapangan dari kedua belah pihak. Ini secara tidak langsung membuat saya menjadi salah satu peneliti berbasis aktivisme di lapangan. Sebenarnya aktivitasnya tidak jauh dari silaturahmi, tapi karena kemudian saya menuliskan refleksinya, maka itu menjadi sebuah pengetahuan yang diapresiasi oleh berbagai pihak. Banyak tulisan saya di ruangobrol.id yang merupakan refleksi dari hasil silaturahmi.

Sebagai seorang “mantan” sekaligus aktivis menjadikan posisi saya unik sehingga bisa diterima dan dipercaya di kedua belah pihak untuk menampung keluh kesahnya. Posisi ini juga membuat saya menjadi kaya akan contoh kasus di berbagai wilayah. Tentu saja contoh kasus dari kedua belah pihak.


Di tengah adanya fenomena "para mantan" jenis baru, yaitu para mantan anggota Jamaah Islamiyah yang kembali ke NKRI, sepertinya akan membuat saya semakin dalam terlibat proses mengkomunikasikan persoalan reintegrasi yang semakin beragam. Tidak mudah, tapi setidaknya saya tidak datang dengan "gelas kosong". Ada ruangobrol, KPP, dan jaringan yang terjalin karena aktivisme saya selama ini.




Antara Aktivis Reintegrasi dan Storyteller



Setelah 7 tahun bebas dari penjara dan 6 tahun lebih berkarya bersama Ruangobrol dan berbagai pihak, terkadang saya masih mempertanyakan: apa sih spesialisasi saya sebagai aktivis?


Jujur saja, selama ini saya hanya digerakkan oleh kebiasaan lama saya sejak remaja, yaitu senang silaturahmi dan menulis. Kemudian setelah bebas dari penjara ditambah lagi semangat agar persoalan terorisme ini bisa dicegah dan ditanggulangi bersama-sama.


Namun setelah melihat persoalan reintegrasi “para mantan” yang sepertinya masih akan menjadi persoalan bersama untuk jangka panjang, dan masih minimnya pihak yang mengkomunikasikan persoalan reintegrasi, saya memutuskan untuk mengambil spesialisasi sebagai aktivis reintegrasi dan storyteller.


Dengan menjadi aktivis reintegrasi saya bisa membantu “para mantan”, dan dengan menjadi storyteller saya bisa membantu berbagai pihak agar dapat memahami persoalan penanggulangan terorisme dengan lebih baik. Termasuk persoalan reintegrasi “para mantan”.



Baca juga: Inspirasi di Balik 500 Tulisan di Ruangobrol




My Home, 23 Oktober 2024


Foto Ilustrasi: By AI (Leonardo.ai)

Komentar

Tulis Komentar