Melangitkan Doa Merajut Asa (1)
Otherby Administrator 19 April 2023 9:14 WIB
Oleh: Siti Djuwariyah
Beberapa hari telah berlalu. Aku disibukkan dengan pekerjaan sehari- hari di rumah yang kini harus kukerjakan semuanya sendiri karena anak-anak sudah kembali ke pesantren.
Selain itu si kecil A juga sudah mulai bisa berjalan dan banyak bergerak keluar rumah mencari teman dan bermain di luar. Sedangkan Zufar juga sibuk dengan pekerjaannya di warung membantu nenek berjualan. Sejak pagi ia harus berbelanja ke pasar, membantu memasak, mencuci piring dan melayani orang yang beli, menemani hingga sore sampai nenek tutup warung. Begitulah aktivitasnya setiap hari menemani nenek.
Benarlah apa yang menjadi keputusannya, bahwa ia tak usah melanjutkan sekolah dulu karena nenek dan uminya sangat membutuhkan bantuan tenaganya. Akupun menyadari betapa Zufar kini telah dewasa, karena seandainya aku yang membantu nenek dan mengerjakan pekerjaan rumah sambil masih momong si bungsu yang sedang bertumbuh tentulah hal itu tak kan bisa .
Semua keadaan ini tetap kusyukuri, meski ada kecewa di hatiku karena aku tak bisa ikut membantu ibu di kantin tapi keadaan ibu sudah berangsur sehat dan semangat dibandingkan kondisinya yang kemarin setelah peristiwa kepergian Abi.
Mungkin dengan aktivitas di warung nenek mendapatkan hiburan, bertemu dengan banyak orang seperti karyawan, mahasiswa dan yang lainnya. Badan yang terus bergerak, hati merasa senang maka itu membuat ibu sehat.
Aku pun demikian. Aktivitasku sehari- hari di rumah yang serasa tiada hentinya, alhamdulillah membuatku tetap sehat karena banyak bergerak walau pikiran tetap tak bisa melepaskan akan bagaimana kondisi dan keberadaan suamiku saat ini.
Saat itu juga suasana pandemi Covid-19, ini membuat hatiku miris. Sebab, setiap hari ada 2 - 5 orang meninggal disiarkan di kampung-kampung dan musala.
Keadaan ini semakin menyesakkan dada karena petugas tak membolehkan kami bertemu atau berkunjung untuk menjaga semuanya agar Covid tidak semakin merajalela.
Hanya melalui video call rasa rindu itu bisa sedikit terobati. Apalagi ketika suami masih di Semarang, alhamdulillah secara berkala bisa berkirim surat untukku dan anak-anak. Pada surat yang terkirim suami senantiasa menasehati kami untuk tidak larut dalam kesedihan, semangat belajar dan saling membantu untuk meringankan beban kehidupan yang tentunya akan semakin meningkat ke depannya.
Masih segar dalam ingatan, ketika anak ke-4 kami menulis surat untuk Abinya.
”Kapan Abi pulang, aku maunya mendaftar sekolah ditemani Abi. Begitu juga anak ketiga yang masih berharap abinya bisa menghadiri wisuda kelulusannya dari tempatnya menuntut ilmu selama ini. Bahkan sembari membuat puisi untuk menghibur dirinya sendiri, karena ia tahu harapannya sangat sulit untuk terpenuhi.
”Setelah menata tempat yang akan digunakan wisuda besok hari,
aku memandangi deretan kursi yang tertata rapi,
sembari membayangkan kalau Abi datang dan duduk di kursi ini.
Namun segera aku tersadar, kalau itu tidak mungkin terjadi,
meski harapanku tuk besok hari,
tetap akan ada yang datang menemani,
siapa lagi kalau bukan Umi”
Malam ini, malam terakhirku di sini. Aku tidak boleh cengeng. Aku segera bangkit, tidak boleh larut dalam kesedihan. Akan aku tunaikan pesan Abi yang senantiasa disampaikan untuk menguatkannku ketika sedang sedih, banyak pikiran, gundah gulana di pesantren, Abi selalu berpesan dengan menyitir sebuah hadits:
احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ
”Bersungguh-sungguhlah pada perkara-perkara yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah dan janganlah kamu bersikap lemah” (bersambung)
Komentar