Mengenang Pak Zahri, Orang yang Membantu Pelarian Ali Imron dan Suka Membantu Orang Lain

Tokoh

by Arif Budi Setyawan

Pak Zahri atau saya biasa memanggilnya dengan sebutan Dhe Zahri adalah kakak kandung dari ibu saya. Beliau merupakan salah satu tokoh yang merintis berdirinya Pondok Pesantren Al Islam Tenggulun Solokuro Lamongan. Sebuah pondok pesantren yang sempat menggemparkan dunia pasca Bom Bali 12 Oktober 2002.


Beliau terlibat membidani lahirnya Pondok Pesantren Al Islam karena beliau dianggap memiliki pengalaman mengurus sekolah swasta selama bertahun-tahun. Dan juga karena masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Ustaz Khozin bersaudara sebagai pendiri yayasan yang menaungi Pondok Pesantren Al Islam.


Ketika ramai terjadi penangkapan para terduga teroris jaringan pelaku Bom Bali 1, Dhe Zahri termasuk yang ikut ditangkap di awal tahun 2003, tak lama setelah Pak Ale (Ali Imron) tertangkap di Kalimantan. Pasalnya, Pak Ale menyebut bahwa senjata dan sisa bahan peledak yang ia miliki dititipkan di rumah Dhe Zahri. Jadilah Dhe Zahri mendekam selama beberapa tahun di penjara karena ‘membantu’ Pak Ale.


(Baca salah satu berita tentang beliau di sini <<klik)


Beberapa hari yang lalu, tepatnya pada hari Senin 8 Februari 2021, beliau meninggal dunia setelah sempat dirawat selama beberapa hari di rumah sakit. Penyakit komplikasi yang dideritanya selama dua tahun terakhir menjadi penyebabnya.


Bagi saya, beliau adalah salah satu sosok yang sangat berjasa. Bahkan, bila tidak melalui perantaraan dari apa yang beliau lakukan, saya tidak akan sampai bisa seperti saat ini. Ada beberapa momen penting dalam hidup saya yang melibatkan beliau.


Menyelamatkan Saya yang Nyaris Tenggelam di Sungai Bengawan Solo


Peristiwa itu terjadi ketika saya berusia 8 atau 9 tahun dan belum bisa berenang. Pada waktu itu, kami sekeluarga sedang mudik menengok saudara dan kerabat di kampung halaman ibu saya. Pada waktu mandi di sungai Bengawan Solo yang mengalir di depan rumah-rumah penduduk desa itu, saya terpeleset dan terbawa arus sungai. Semua orang menjerit dan bergegas berenang mengejar saya yang mulai timbul tenggelam. Ketika sudah tenggelam lama dan saya sempat berfikir bahwa itulah akhir hidup saya, tiba-tiba ada sebuah tangan yang menangkap saya dan menarik saya keluar dari dalam air. Itulah tangan Dhe Zahri yang kemudian membawa saya ke tepian. Jika bukan karena pertolongan Allah SWT melalui tangan Dhe Zahri, mungkin tidak akan ada tulisan ini. Karena boleh jadi saya sudah meninggal saat itu.


Orang Yang Pertama Kali Saya Hubungi Dari Penjara


Pada hari ketujuh pasca saya ditangkap, saya dimasukkan ke dalam sel di Rutan Mako Brimob Kelapa Dua Depok. Di dalam sel ada salah satu kawan lama yang lebih dulu tertangkap dan istrinya tinggal tidak jauh dari Pondok Pesantren Al Islam. Saya, yang waktu itu tidak hafal satu pun nomer telepon keluarga, memiliki ide agar istri kawan itu memanggilkan Dhe Zahri di Pondok Pesantren Al Islam. Dasar memang rejeki saya, saat itu Dhe Zahri sedang berada di pondok padahal tidak setiap hari ia ada jadwal mengajar di Pondok Pesantren Al Islam.


Jadilah malam itu saya menyampaikan kepada Dhe Zahri agar mengabari ibu dan keluarga di rumah, sekaligus saya meminta nomor ibu dan istri saya. Saya masih ingat kata-kata beliau begitu tahu saya ditangkap karena kasus terorisme.


“Kamu jangan berkecil hati. Niat kamu membantu perjuangan teman-temanmu yang mungkin kamu sendiri sebenarnya tidak tahu akan kemana perjuangan mereka. Tidak semua perbuatan baik itu baik bagi orang lain. Semua orang bisa salah dan tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki,” ujarnya.


Kata-kata itu cukup membesarkan hati saya. Setidaknya saya meyakini, beliau akan membantu memahamkan dan membesarkan hati keluarga yang saya tinggalkan. Itulah titik awal kebangkitan saya. Di akhir telepon itu beliau sempat berkelakar, “kamu dulu mondoknya kurang lama, makanya sekarang harus mondok lagi”. Dhe Zahri adalah orang pertama dari keluarga yang memberikan dukungan moral.


Menyebabkan Pertemuan Saya dengan Haris Hadhirin yang Membawa Saya Mengenal KPP


Pada tanggal 27 Februari - 1 Maret 2018 saya mengikuti kegiatan Silaturahmi Kebangsaan yang diadakan oleh BNPT di Hotel Borobudur Jakarta. Saya datang bersama rombongan dari Lamongan termasuk Dhe Zahri. Beliau termasuk salah satu mantan napiter yang diundang. Bagi Dhe Zahri itu adalah kegiatan BNPT yang kesekian kalinya, tapi bagi saya itu adalah yang pertama kalinya sejak bebas pada Oktober 2017. Saya sekamar dengan beliau.


Pada hari terakhir pelaksanaan kegiatan, Dhe Zahri mengeluh tidak enak badan sehingga ketika acara penutupan beliau tidak bisa hadir dan memilih beristirahat di kamar. Malam itu beliau juga tidak ikut turun makan malam dan meminta saya untuk mengambilkan jatahnya lalu membawakannya ke kamar.


Nah, ketika sedang melintas di lobi hotel untuk mengantarkan makan malam Dhe Zahri itu, tiba-tiba ada seseorang yang berteriak memanggil nama saya. Ternyata itu adalah Haris Hadhirin, alumni Al Islam yang dulu sering ketemu ketika saya sedang berkunjung ke Pondok Pesantren Al Islam. Haris inilah yang kemudian membawa saya untuk mengenal Pak Noor Huda Ismail dan tim Kreasi Prasasti Perdamaian (KPP) lainnya. Hingga akhirnya saya bisa jadi seperti ini. Menjadi credible voices, kontributor di ruangobrol.id, menulis buku, dan lain-lain bersama KPP.


Andai saat itu saya tidak mengambilkan makan malam buat Dhe Zahri dan tidak melintas di lobi hotel itu, mungkin cerita ini tidak akan terjadi. Sakitnya beliau saat itu ternyata merupakan sebuah ‘butterfly effect’ bagi kehidupan saya hari ini. Di balik sakitnya beliau ada berkah bagi saya. Dan saya tidak akan pernah melupakan hal ini.


Hari ini beliau telah pergi meninggalkan kita semua. Tetapi semoga kebaikan-kebaikan beliau yang bisa jadi memicu ‘butterfly effect’ bagi banyak orang dapat menjadi amal jariyah beliau. Aamiin.

Komentar

Tulis Komentar