Sosok Baru di Kampus Biru Tokoh by Munir Kartono Editor by REDAKSI 31 Mei 2024 9:25 WIB Di hadapan keluarga, air mata yang mengambang itu akhirnya tak dapat lagi saya tahan. Campur aduk perasaan saya. Bahagia? Terkejut? Haru? Yang pasti semua gara-gara sebuah email. Email itu mengabarkan bahwa lamaran beasiswa saya untuk meneruskan studi di Universitas Paramadina di Program Magister Ilmu Komunikasi (PGSC) diterima. Sungguh email yang seolah menjadi garis pemisah antara masa lalu dan masa depan saya, email yang seolah mengangkat beban berat dari punggung saya. Bagaimanapun, menyandang “gelar” sebagai mantan narapidana terorisme bukanlah sesuatu yang ringan. Karena pada faktanya stigma napiter memang membuat banyak orang enggan bergaul atau setidaknya menjaga jarak. Meskipun dapat memahami sikap itu, tak ayal rasa rendah diri muncul dalam hati. Bagi saya, stempel sebagai mantan narapidana terorisme adalah aib. Bahkan hingga kini saya masih sering terhenyak saat membayangkan betapa besar kejahatan dan dosa yang telah saya lakukan terhadap para korban aksi teror. Sambutan yang Murah Hati Selepas dari penjara pada pertengahan 2020, saya pun bertekad memperbaiki diri, mengikis stigma napiter sekaligus kembali berkiprah dalam aktivitas-aktivitas yang lebih bermanfaat. Saya memenuhi janji meminta maaf langsung pada korban ledakan di mapolresta Solo 2016. Saya juga ikut aktif dalam berbagai kegiatan dan kampanye perdamaian, kontra narasi ekstremisme, kekerasan dan intoleransi. Mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah juga merupakan bagian dari upaya kembali meraih kebermaknaan hidup itu. Meski sebelumnya saya tak pernah membayangkan seorang mantan narapidana terorisme berkesempatan menuntut ilmu lagi bersama masyarakat umum, tapi itulah yang terjadi. Saya menyadari, selain karena lulus administrasi dan potensi akademik, pihak universitas memang telah berbaik hati memberi saya kesempatan kedua untuk memperbaiki diri dan mengembangkan potensi dengan cara belajar lagi. Tidak semua universitas bersedia menerima mantan teroris. Penerimaan yang sangat tulus dari universitas juga saya rasakan ketika mengikuti kegiatan pengenalan Kampus. Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J. Rachbini, M.Sc., Ph.D. yang sedang berbicara di depan para mahasiswa baru memperkenalkan saya sebagai “sahabat saya”. Padahal kami baru bertemu sekali saja, saat bedah Buku "Narasi Mematikan Pendanaan Terorisme di Indonesia" karya Noor Huda Ismail, Ph.D di Kampus Universitas Paramadina. Di satu sisi saya bangga dan berterimakasih atas keramahan dan kebaikan beliau. Namun di sisi lain, kebaikan itu juga membuat saya semakin malu atas apa yang telah saya lakukan dulu. Perkenalan Lalu perkuliahan pertama pun tiba. Saya yang mengambil program studi ilmu komunikasi politik regular - malam ternyata sekelas dengan enam orang lainnya. Dosen pertama yang saya temui di kelas adalah Putut Wijanarko, Ph.D. yang segera saja mempersilakan kami memperkenalkan diri. Beruntungnya saya duduk di belakang, sehingga mendapat jatah perkenalan terakhir. Satu persatu rekan-rekan sekelas memperkenalkan diri. Bagi saya mereka orang-orang hebat. Ada yang berprofesi sebagai Guru, ada yang ASN, ada yang bekerja di Kantor Sekretariat MPR, ada yang berprofesi sebagai presenter berita, ada yang berasal dari keluarga politisi bahkan ada pula yang bekerja di perusahaan multinasional. Jujur, saat itu gelembung semangat dan keceriaan yang awalnya saya rasakan mendadak kempes. Saya bertanya dalam hati, "Apa yang harus saya katakan? Haruskah bercerita bahwa saya adalah mantan teroris?" Pada akhirnya saat itu saya cuma bisa mengatakan bahwa saat ini bekerja dengan seluruh lapisan masyarakat, NGO dan pemerintah terkait masalah radikalisme, terorisme dan intoleransi. Saya tidak sanggup berterus terang bahwa, "Saya pernah merasakan dinginnya lantai penjara, saya juga pernah satu tahun tidur beralas kardus, karena terlibat aksi terorisme.” Demikian juga di hari-hari selanjutnya, saat dosen dan rekan-rekan sekelas saling memperkenalkan diri, saya hanya memperkenalkan diri ala kadarnya. Perasaan rendah diri itu kembali muncul. Dan bukan itu saja, saya juga khawatir jika pengakuan dosa akan mengganggu suasana belajar di kelas. Berterus Terang Tak dapat dipungkiri, perkenalan ala kadarnya itu justru mengoyak ketenangan diri saya sendiri. Saya malah merasa terbebani dan merasa bersalah karena tidak sepenuhnya berterus terang. Hingga akhirnya melalui grup whatsapp yang telah dibuat untuk para mahasiswa, saya membuka jati diri saya yang sebenarnya kepada rekan-rekan. Saya membuat pengakuan dosa sebagai mantan pelaku aksi terorisme dan mengakui kejahatan yang pernah saya lakukan. Saya juga membuka diri jika ada rekan-rekan yang merasa tidak nyaman dengan keberadaan saya di kelas, dengan besar hati saya akan mengundurkan diri. Betapa kaget saya mendengar tanggapan teman-teman saya yang hebat itu. Ternyata ada beberapa rekan yang telah mengetahui tentang saya melalui media namun menahan diri untuk mengatakannya. Mereka menyatakan sangat welcome dan tidak merasa terganggu dengan keberadaan saya. Begitu pula dengan para dosen, yang tidak berbeda sikapnya setelah mengetahui tentang saya. Mereka tetap membimbing, membagikan pengetahuan dan kedalaman ilmu yang mereka miliki.Tak sekadar ilmu dan pengetahuan, para dosen juga memberikan pencerahan baru kepada saya melalui pengalaman dan kebijaksanaan. Dan yang sangat berarti bagi saya, mereka tampak tidak risih atau menjaga jarak pada mantan napiter ini. Demikianlah pengalaman baru saya di dunia yang baru. Dunia ilmu pengetahuan yang membuat saya kembali bergairah. Tak hanya gairah untuk memperbaiki diri, tapi juga gairah baru untuk memperjuangkan kebaikan bagi negeri ini. Saya memang harus berjuang ekstra keras membagi waktu antara belajar dan berjualan demi menghidupi keluarga, biaya ke kampus dan biaya pendidikan anak-anak saya. Namun saya percaya, ini memang harga yang pantas untuk menjadi sosok baru, sosok yang banyak bermanfaat bagi sesama manusia dan seluruh alam semesta. In sya Allah. []
Komentar