Menyeruput Americano Mengingat Memori

Other

by Administrator

Oleh: Hadi Masykur

Perjumpaan dengan orang-orang baru di luar lingkaran lama saya perlahan terus terjadi. Setelah sempat mengikuti kegiatan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) di Jepara dan kegiatan dialog nasional oleh Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia di Bandung, kali ini saya dan keluarga menerima tamu baru di rumah.

Tamu yang datang ke rumah adalah 2 perempuan; Lies Marcoes dan Ani Ema Susanti. Ibu Lies Marcoes ini seorang penulis, peneliti, ahli kajian Islam dan gender sekaligus Direktur Eksekutif Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB). Kami pernah bertemu di Jepara, saat acara KUPI itu.

Sementara, Mbak Ani ini seorang sutradara film yang sempat menyabet Piala Citra di Festival Film Indonesia (FFI) 2011 melalui karyanya “Donor ASI”. Mbak Ani ini juga dari Kreasi Prasasti Perdamaian, sutradara film “Glo Kau Cahaya”.

Ihwal kedatangan mereka berdua ke rumah dikabarkan Pak Huda melalui pesan WhatsApp (WA) ke saya 3 Desember 2022. Alhamdulillah, istri saya juga merespons positif untuk bersedia bertemu mereka.

Tidak ada hal khusus yang saya pesankan ke istri, biar mengalir saja. Seperti apa yang pernah dialami dan dirasakan selama ini.

Sabtu 17 Desember 2022 pagi, masuk notifikasi di gawai saya; Bu Lies dan Mbak Ani sudah di atas kereta menuju Semarang. Sore harinya, diiringi gerimis yang membasahi “Bumi Serasi”, mereka berdua sudah sampai di kediaman kami.

Setelah berkenalan dengan istri dan ibu, mengobrol singkat menyampaikan maksud dan tujuan menyambangi keluarga, mereka berdua undur diri untuk mencari penginapan. Rencananya esok pagi, akan ikut istri belanja ke pasar.

Di antar tetangga yang berprofesi sebagai tukang ojek, paginya Bu Lies dan Mbak Ani kembali ke rumah. Mereka langsung ikut istri saya pergi ke pasar untuk berbelanja. Aktivitas berbelanja ke pasar pagi-pagi memang rutin kami lakukan.

Selain itu, belanja di pasar pagi itu karena esoknya akan ada pertemuan keluarga “Hikmah” di mana kami akan jadi tuan rumah.

Urusan belanja beres, istri, Bu Lies dan Mbak Ani beranjak ke warung makan tempat usaha keluarga. Ibu saya berjualan di sana, sudah sekira 32 tahun berjalan. Sembari melayani para pelanggan, obrolan Bu Lies, Mbak Ani, istri dan ibu saya mengalir hangat. Saling berbagi cerita dengan suasana keakraban.

Siang hari, Bu Lies berdiskusi dengan istri di rumah sampai sore. Ketika Bu Lies dan Mbak Ani akan kembali ke penginapan, mereka mengundang kami sekeluarga untuk makan malam bersama. Kami langsung mengiyakan. Sebab hanya si bungsu yang di rumah, berangkatlah kami bertiga ke lokasi undangan makan malam itu.

Di tempat makan itu, saya memesan menu yang belum pernah saya cicipi sebelumnya: sate sapi. Diiringi gerimis, kami kembali mengobrol sembari makan malam. Beres semuanya, kami berpamitan.

Mereka juga membaur bersama kami saat pertemuan keluarga Hikmah di rumah. Kami kembali mengobrol.

Berjumpa “Murrabi” yang Mengubah Paradigma

Obrolan kami terus berlanjut, tak terkecuali di sebuah kafe tempat mereka menginap. Ditemani secangkir kopi americano, mengalirlah cerita-cerita lama.

Banyak memori dan kenangan yang akhirnya kembali tergali. Mulai masa kecil yang indah, kehidupan menginjak remaja yang penuh nuansa pencarian jati diri, yang tanpa saya sadari fase itu merupakan titik awal perubahan diri saya.

Perubahan dari yang sebelumnya menjalankan keagamaan sesuai ajaran orangtua dan guru, bergeser dengan pemikiran yang saya dapatkan dari luar komunitas sebelumnya.  

Persinggungan itu mengubah saya menjadi sosok yang berbeda dengan kebanyakan komunitas di mana saya berada. Saya mulai jarang mengikuti kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh kebanyakan masyarakat.

Ya! Kelas 2 SMP, saya mulai bersinggungan dengan tarbiyah, yang diampu salah seorang mahasiswa negeri di Kota Semarang. Dia rutin mengajari dan mengenalkan pada kami paradigma beragama yang baru. Setelah mengikuti kajian-kajian itu, saya pun mulai tertarik untuk mendakwahkannya ke teman-teman sekolah.

Ternyata, ada 5 teman yang mau mengikuti kajian rutin. Dilakukan sepekan sekali di rumah salah satu kawan. Lambat laun, dengan semakin munculnya kesadaran dari kami yang mengikuti kajian, dilandasi dengan ilmu yang kami dapatkan dari “sang murrabi”, ada seorang kawan perempuan yang ingin menjalankan salah satu syariat yang Allah bebankan kepada setiap muslimah: menutup aurat alias berjilbab.

Ini merupakan sebuah suntikan moral bagi kami, ternyata dengan keterbatasannya dan ketika itu belum ada satupun di antara siswi di sekolah kami, bahkan mungkin sekolah negeri di kota kami yang mengenakan jilbab.

Karena keinginan untuk semakin mendalami Islam, akhirnya saya putuskan untuk melanjutkan ke pesantren selepas tamat SMP. Di pesantren inilah, pemahaman yang sebelumnya saya dapatkan dari “sang murrabi” dalam kajian intensif semakin mengkristal.

Seiring berjalannya waktu, saya semakin merasa asing di tengah komunitas kampung di mana saya dilahirkan.

Namun, alhamdulillah dengan ujian yang Allah berikan beberapa waktu yang lalu, membuat saya bisa banyak membaca bacaan yang berbeda dengan apa yang saya konsumsi selama ini.

Meskipun perbedaan adalah sebuah keniscayaan, dengan banyaknya sudut pandang yang kita pelajari, akan membuat kita mudah untuk melihat dan memahami apa yang dilakukan oleh orang lain.

Kita boleh tidak sepakat atau tidak melaksanakan, akan tetapi selama mereka memiliki “hujjah” alias landasan atau argumentasi dalam menjalankan aktivitasnya, maka mari kita ke depankan sikap tasamuh/toleransi, supaya kemajemukan ini akan menjadi berkah bagi kita semua.

Perasaaan senang bercampur haru, ketika saya pulang dan menginjakkan kaki kembali ke rumah setelah sempat bertahun-tahun menjalani ujian itu.

Tanggapan dan sambutan dari para saudara dan tetangga sedemikian hangatnya. Meskipun mereka sempat melihat, kalau saya agak berbeda namun, ternyata itu semua tidak membuat mereka menjauhi kami.

Justru dengan hangatnya sambutan mereka ini, semakin mengkristalkan keinginan di hati, untuk bisa bersikap lebih baik di kemudian hari.

Apalagi ini juga merupakan salah satu jalan untuk mewujudkan keinginan yang selalu terpatri dalam sanubari di tempat kontemplasi: “nostalgia bersama keluarga di surga”.

Tidak banyak keinginan yang ingin saya wujudkan, saya hanya ingin membuat ibu selalu tersenyum. Saya ingin membahagiakan ibu, yang selama ini justru banyak saya bebani.

Semoga Allah memudahkan keinginan saya untuk mendapatkan keridaan orangtua. Karena saya yakin, mudahnya urusan saya selama menghadapi ujian beberapa waktu sebelumnya, tidak lepas dari doa seorang ibu, yang setiap malamnya dihabiskan untuk merintih dan bermunajat kepada Sang Pencipta, supaya urusan anaknya dipermudah dan bisa kembali bercengkrama bersama keluarga.

[caption id="attachment_15072" align="alignnone" width="1600"] Istri dan ibu berselfie bersama Mbak Ani (paling kiri) dan Bu Lies (paling kanan)[/caption]

Tanpa terasa, hari beranjak siang. Setelah menyantap steak sebagai makan siang, kami berpisah. Sore harinya, Bu Lies dan Mbak Ani berpamitan pada kami sekeluarga. Alhamdulilah, banyak hal yang bisa kami pelajari dari obrolan beberapa hari itu bersama mereka.

Kalau selama ini, suara istri mungkin tidak pernah mendapatkan alokasi yang proporsional, alhamdulilah Bu Lies dengan pendekatan gendernya, bisa banyak menguak dan mengungkap peran istri selama mendampingi saya mengarungi bahtera rumah tangga.

Banyak kisah yang sebagian saya juga baru tahu, karena mungkin selama ini tidak ada pemantiknya, sehingga kisah-kisah tersebut tidak tergali dengan baik.

Terimakasih Bu Lies dan Mbak Ani yang telah sudi hadir ke dalam keluarga kami, memberikan warna dan nuansa baru bagi keluarga kami. Terimakasih juga atas oleh-oleh bukunya, semoga akan semakin membuka cakrawala pemahaman kami, sehingga membantu kami untuk menjadi pribadi Muslim yang bijak

baca juga:

Perjumpaan Awal dengan Pak Huda (Bagian 1)

Kali Pertama Pergi dengan Jujur (Bagian 2)

Acara di Bandung yang Membuka Perspektif Baru (Bagian 3-Habis)

 

Komentar

Tulis Komentar