Selamat Jalan Mas Hakiim...

Other

by Eka Setiawan

“Mohon doanya, kondisi Hakiim kritis sekarang”

Pesan teks masuk di WhatsApp Grup (WAG) Ruangobrol Senin 12 Juli 2021 pukul 17.50 WIB membuat kami semua kaget. Mas Huda (Noor Huda Ismail) yang mengirimkan pesan itu.

Hakiim yang dimaksud adalah Rosyid Nurul Hakiim, Pimpinan Redaksi kami di ruangobrol.id sekaligus Direktur PT. Kreasi Prasasti Perdamaian (KPP). Sejurus kemudian, doa-doa untuk kesembuhannya mengalir deras. Rasa sedih dan kaget bercampur jadi satu. Kabar itu datang tiba-tiba. Kami tak menyangka, karena Mas Hakiim kami kira meriang biasa. Mas Huda bahkan mengabarkan kalau sehari sebelumnya Mas Hakiim ini masih olahraga ringan, tidak sakit serius hanya kurang fit, bahkan sekira pukul 17.00 WIB masih bercakap via telepon.

Semua awak ruangobrol.id cemas berharap. Kami tentu berharap Mas Hakiim segera sembuh. Namun, takdir berkata lain. Sekira 2 jam kemudian Mas Hakiim meninggal dunia. Upaya pertolongan sudah maksimal, ambulans melarikannya ke RS Mitra Sehat. Saat itu di Yogyakarta sempat kesulitan mencari rumah sakit untuk merawat sebab kondisi sedang Pandemi Covid-19, di mana rumah sakit sudah penuh pasien.

“Innalillahi wa innailaihi rojiun. Hakiim telah dipanggil oleh Alloh karena serangan jantung” tulis Mas Huda.

Rasanya, duka ini belum pupus sudah mendapatkan kabar duka lagi. Sebab, ayah Mas Hakiim yakni Pak Ismail belum genap 2 bulan ini juga lebih dulu menghadap Sang Pencipta. Mas Huda dan keluarga tentunya sangat berduka. Kehilangan ayah dan adik.

Kabar duka berpulangnya Mas Hakiim membuat aneka chat berdatangan. Mereka semua sedih dan tak percaya secepat itu. “Padahal wingi bar telponan, temenan Mas temenan? (padahal kemarin habis telpon, beneran Mas beneran?” tulis Reni, lulusan ISI Solo yang sebelumnya sempat bergabung di beberapa project ruangobrol dan KPP.

Begitupun dari Fatmawati Mizani alias Fatma perempuan asli Kendal yang kini bekerja di Hong Kong. Dia juga kaget mendengar kabar itu. Kami, tentunya bersama Mas Hakiim terlibat kerja bareng pada tahun 2018 silam ketika membuat film dokumenter bertajuk “Pengantin”.

Machmudi Hariono alias Yusuf juga sempat berkali-kali menelpon saya, mengkonfirmasi kabar duka itu. Yusuf adalah mantan narapidana terorisme (napiter) yang kini menjadi Ketua Yayasan Putra Persaudaraan Anak Negeri (Persadani), di mana anggota-anggotanya juga mantan napiter khususnya di Jawa Tengah. Jay Akbar, kawan kuliah saya di Sejarah Undip, mantan wartawan Republika yang kini bekerja bersama Najwa Shihab juga menanyakan kabar duka itu.

Masih banyak chat yang masuk. Istri saya, Erna menangis tak henti-henti. Di program penguatan RT/RW menjelang kepulangan napiter ke wilayahnya, Erna terlibat aktif. Beberapa diskusi dan perjumpaan terjadi di program yang dijalankan pada Maret 2020 hingga Maret 2021 ini. Salah satu produknya adalah film, bertajuk “The Mentor”.

Produksi film itu, khususnya pengambilan gambar, salah satunya dilakukan di Desa Payung Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal. Kami, termasuk istri saya dan tentunya Mas Hakiim, beberapa hari menginap di Kendal. Intens komunikasi soal itu. Mas Hakiim pula yang mewawancarai beberapa narasumbernya, termasuk di antaranya Gubernur Jateng Ganjar Pranowo di Kota Semarang.

Produk lain yang kami keluarkan adalah buku. Judulnya “Menanti yang Kembali”. Saya jadi salah satu penulisnya, di mana Mas Hakiim adalah editornya. Secara pribadi, saya menyesal sekali. Sebab, saya mungkin yang menjadi penyebab buku itu terlambat terbit. Saya memang ditugasi Mas Hakiim meminta testimoni dari Ganjar untuk buku ini. Sekira sebulan saya coba koordinasikan dengan stafnya, baru Rabu 7 Juli 2021 pekan lalu saya akhirnya mendapatkan testimoninya.

“Maturnuwun Mas Eka,” tulis Mas Hakiim ketika itu di WAG kami.

Di program lain, bersama Mas Hakiim, kami juga sedang produksi film tentang Pesantren. Sebelum Ramadan kemarin, kami bersama tim sempat ke Pesantren Nurussalam Ciamis untuk melakukan pengambilan gambar. Mas Hakiim yang mewawancarai Ustaz Maksum, pimpinan ponpes setempat. Film ini juga sudah finalisasi.

Tidak Ada Mantan Wartawan

Secara pribadi, saya berkenalan dengan Mas Hakiim sekitar tahun 2012 silam. Ketika itu, saya sedang main ke rumah Mas Huda di kawasan Tembalang Kota Semarang. Ketika itu saya masih jadi wartawan Koran Sindo, sementara Mas Huda- yang juga mantan wartawan The Washington Post- adalah narasumber saya. Selepas Isya, ketika itu, Mas Hakiim tiba di rumah kakaknya itu. Saya ingat betul, Mas Hakiim masih membawa tas ransel.

Mas Huda ketika itu mengatakan “Adikku juga mantan wartawan. Dulu di Republika. Sekarang lagi kuliah di Inggris dapat beasiswa,” kata Mas Huda ketika itu.

Saya berkenalan dengan Mas Hakiim ketika itu. Tetapi tak terlibat obrolan intens. Saya juga tak menyangka, akhirnya pada pertengahan 2017 kami jadi satu tim yang belakangan menjadi PT. KPP itu. Selain rutin menulis dan sekaligus mengedit beberapa artikel, di situlah kami makin intens termasuk menjalankan beberapa program dan terlibat produksi film dokumenter. Sampai detik ini, masih banyak lagi program-program lain yang sedang berjalan, salah satunya teranyar pekan lalu ketika kami koordinasi akan mewawancarai Gilang Nabaris dan Avik Rizal Fattah. Program kerjasama dengan Kantor Berita Radio (KBR) 86 H.

Semua karya yang dibuat adalah alternatif narasi dalam rangka aktif berkontribusi mencegah terjadinya radikalisme terorisme. Tim kami terdiri juga dari mantan napiter termasuk returnee dari Suriah.

Di sini pula secara pribadi saya belajar banyak dari Mas Hakiim. Tentang bagaimana menjadi leader, memberi masukan ketika kami kehabisan bahan tulisan, termasuk yang tak kalah penting menghargai anggota tim. Meskipun secara strukur Mas Hakiim di pucuk pimpinan, tetapi nyaris tidak ada jarak di antara kami. Sebab, Mas Hakiim sangat nguwongke dan tetap terbuka menerima kritikan saat ada kekurangan. Mas Hakiim yang saya kenal juga sangat sabar.

Tiap Senin, terutama masa pandemi Covid-19 ini, Mas Hakiim selalu memimpin rapat mingguan ruangobrol.id. Kami rapat via aplikasi Zoom. Satu per satu anggota tim akan melaporkan kegiatan apa yang sudah dan akan dilakukan ke depan. Sebagai senior saya di dunia jurnalistik, masukan Mas Hakiim amat berharga. Kami kerap berbagi cerita lapangan ketika masih sama-sama aktif di media mainstream. Meskipun beda lapangan, beda kota, beda waktu, di kalangan wartawan semuanya nyaris serupa. Misalnya, cerita tentang memburu waktu liputan, dinamika tempat kejadian perkara (TKP) sampai guyonan-guyonan antarwartawan. Barangkali itu pula yang makin mengakrabkan kami ketika bekerja sama di tim baru ini. PT. KPP ini.

Jiwa wartawan memang jadi salah satu nafas kami di sini. karya apapun, harus berhati-hati sebelum publish. Berbagai kritik sumber, tentunya konfirmasi informasi perlu dilakukan.

“Jangan lupa konfirmasi ke narasumbernya. Yang penting narasumbernya nyaman. Kalau tak berkenan, tidak usah dipaksa,” pesan Mas Hakiim yang selalu saya ingat.

Kini, sudah tidak ada deadline lagi Mas. Selamat menempuh perjalanan selanjutnya. Kami yang akan selalu kangen rapat-rapat mingguanmu...

 

FOTO: RUANGOBROL.ID/EKA SETIAWAN

Mas Hakiim ketika di Pesantren Nurussalam, Ciamis, Jawa Barat, Rabu 24 Maret 2021.

 

 

 

 

 

 

 

 

Komentar

Tulis Komentar