Mereka punya sejarah panjang. Jejak mereka ada sejak era Yunani kuno. Pelabuhan Yunani kuno bernama Antidon berada di dekat daerah yang kini bernama Gaza. Para nelayan di daerah itu jaya dari waktu ke waktu dengan menangkap ikan tuna, sarden dan udang.
Kisah Abdullah al-Najjar diangkat oleh Electronic Intifada. Ia disebut sebagai pembuat perahu terakhir di Gaza. Usianya kini memang suda tak muda lagi, 61 tahun, dan tetap berusaha membuat kapal untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Abdullah mulai belajar membuat perahu di saat remaja. Ia mendapatkan ilmu pembuatan perahu a la Gaza dari pamannya. Sejak saat itu ia jatuh cinta pada pekerjaan ini dan terus menekuninya meskipun kini menurutnya kondisi semakin sulit.
“Sekarang hampir tak ada lagi yang membuat perahu di Gaza. Karena bahan baku yang terlalu mahal dan kawasan larangan memancing,” kata Abdullah.
Hari ini, Gaza hanya memiliki 3700 orang nelayan dan hanya 2000 orang yang melaut setiap hari. Jumlah ini turun dari 10000 pada 2000.
Penyebabnya adalah Israel yang tak memberi izin nelayan Gaza melaut melewati 15 mil garis pantai Gaza. Padahal, dalam perjanjian Oslo antara Israel dan PLO pada 1990, nelayan Gaza memiliki wilayah melaut sampai sejauh 20 mil nautikal.
Batas izin melaut itu menyempit lagi setelah Intifada kedua pada 2000. Israel hanya memperbolehkan nelayan Gaza melaut sejauh 10 mil dari garis pantai. Alasannya, para nelayan tersebut turut meluncurkan roket dan balon api ke wilayah Israel. Alasan yang menurut Abdullah mengada-ada.
Selain itu, blokade Gaza oleh Israel membuat para pembuat perahu kesulitan mendapat bahan material. Ongkos pembuatan menjadi naik. Imbasnya, sedikit nelayan yang membeli perahu atau kapal pemukat baru. Mereka lebih memilih memperbaiki kapalnya atau membeli perahu kecil yang disebut hassaka.
Sebuah hassaka berharga 8500 dollar AS. Sementara sebuah kapal pemukat berharga 70 ribu dollar AS.
Sepanjang berkarier, Abdullah al-Najjar telah membuat 30 kapal pemukat. Jumlah itu termasuk dua kapal pemukat yang dibuatnya selama 13 tahun ke belakang. Artinya, 13 tahun ke belakang Abdullah hanya mendapat penghasilan sebesar 140 ribu dollar AS.
Meskipun kondisi sedang sulit, Abdullah al-Najjar tetap berusaha mewariskan kemampuannya membuat kapal kepada anaknya, Jamil (25 tahun).
“Jamil sangat berbakat. Ia mengingatkanku pada masa mudaku dulu,” kata Abdullah.
Jamil mengaku senang bisa meneruskan pekerjaan ayahnya. Ia menganggap membuat perahu sebagai pekerjaan menyenangkan dan berharap kondisi ekonomi di Gaza membaik sehingga bisa membuat kapal lebih banyak.
“Aku butuh banyak pengalaman membuat kapal,” kata Jamil.
Sumber foto: (The Electronic Intifada)
Komentar