Menari Bersama Ombak (1)

Other

by Administrator

Oleh: Siti Djuwariyah

Apa yang terjadi jelang Idulfitri 2020 silam benar-benar menjadi ujian berat bagiku. Peristiwa “kepergian” suami benar-benar mengejutkan. Aku mau tak mau harus merangkap, jadi ibu sekaligus ayah bagi anak-anak; mengurus kerjaan rumah, mengatur jadwal kegiatan belajar dan sekolah anak-anak, yang lebih utama menjaga psikologis atau mental anak-anak agar tetap bersemangat dan bersabar menjalani ujian ini.

Beberapa peristiwa yang kulali jadi makin berat ketika hatiku ikut larut dan kalut. Sementara aku tahu, bahwa di hadapan masih banyak peristiwa yang akan aku alami bersama anak-anak tanpa dia di sisi.

Bagaimanapun keadaan yang akan kuhadapi aku harus terus bertahan dan bisa menemukan jalanku untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan kehidupan.

Acara wadaan alias perpisahan dan kelulusan anak baru saja selesai, di hadapan menanti masuk pondok pesantren yang jenjangnya lebih tinggi. Alhamdulillah semua proses pendaftaran sudah beres ketika abinya masih di rumah. Alhamdulillah dia diterima di pondok yang sama dengan kakaknya, sehingga jika ada apa-apa bisa sedikit memudahkan urusan untuk saling membantu dan berbagi.

Tetapi ternyata tak sesimpel yang kubayangkan. Adanya pandemi ini mengubah semua rencana dan program yang sudah kutata bersama abinya sebelumnya.

Apalagi saat itu abinya tidak di rumah sehingga semua urusan juga harus kupikir dan ku selesaikan sendiri. Urusan keberangkatan 2 anak ke pondok jadi lumayan ribet karena beda jadwal dan harus menyertakan rapid test atau swab. Ini juga jadi urusan tersendiri, sebab tes seperti itu juga butuh dana yang bagiku saat itu tidak sedikit.

Termasuk pula anak yang sebentar lagi akan ada perpisahan dan wisuda kelulusan SMP. Di situ juga butuh biaya agar acara berjalan sukses.  Sementara si sulung Zufar sibuk dengan aktivitasnya membantu neneknya berjualan di kantin kampus.

Aku sendiri juga selain sibuk urusan rumah tangga dan urus si kecil, juga harus menyelesaikan pesanan jahitan seragam yang belum selesai. Ini kukerjakan sendiri.

Kadang, aku merasa sangat lelah, mengapa semua pekerjaan ini seolah tak pernah selesai? Namun, setiap kali kulihat si sulung pulang dari kantin, dia juga terlihat sangat capek, tapi tak pernah mengeluh tentang pekerjaannya. Padahal, kutahu itu juga tidak mudah baginya untuk menyesuaikan diri, menjaga dan menemani neneknya sambil menangani semua pekerjaan di kantin.

Aku jadi malu pada diriku sendiri, mengapa aku selalu berkeluh kesah sehingga beban pikiranku makin berat karena hati yang selalu merasa sakit.

Maka, selalu aku munculkan semangat dalam diriku untuk selalu berpikir positif. Termasuk husnudzon alias berbaik sangka pada Allah atas apa yang menimpaku adalah baik bagiku. Tidaklah Allah menguji hamba-Nya karena Ia sayang kepada hamba itu, karena dengan memberi ujian kepada Ia hendak membersihkan jiwa dan mengampuni dosa-dosa hamba tersebut.

Hal itu juga yang memotivasiku untuk selalu menyelesaikan pekerjaan yang lebih penting daripada menuruti perasaan yang selalu kalut dan menyebabkan kemalasan.

Itu pula yang kutanamkan pada anak-anak, agar memandang ujian ini hanya kerikil kecil yang harus dilewati tanpa harus mengorbankan tujuan yang lebih besar. Berprasangka baik pada Allah, maka sebenarnya Allah tidak pernah membiarkan kita pada kesusahan, tapi memberi solusi dan bantuan yang harusnya kita bisa menemukannya di hadapan kita.

Kebanyakan dari kita merasa berat dan tak ada jalan keluar karena semua itu tertutupi dengan ego dan perasaan kita sehingga tidak bisa berpikir jernih.

… (bersambung)

Komentar

Tulis Komentar