Catatan Perjalanan : Yogyakarta dalam Cerita (4)

Other

by Arif Budi Setyawan

Jam 4 sore saya kembali berada di kawasan Titik Nol Kilometer Yogyakarta yang sudah ramai dipadati orang. Ada para wisatawan yang sekedar lewat, ada para pedagang asongan yang berlalu lalang menawarkan dagangannya, ada orang-orang yang sibuk berfoto ria atau banyak juga duduk-duduk di bangku yang banyak tersedia di tempat itu menikmati suasana sore ditemani segelas kopi atau teh.


Maklumlah, tempat itu adalah salah satu ikon kota Yogyakarta. Saya mencoba mengamati apa yang menarik dari suasana sore itu sambil memotret apa yang saya anggap menarik.


Di antara keramaian itu ada beberapa anak muda dengan peralatan fotografi professional seperti kamera DSLR atau kamera mirrorless yang dilengkapi dengan tripod, sibuk mencari posisi yang pas untuk memotret momen-momen yang mereka anggap memiliki nilai seni dan keindahan yang bagus.


Sementara di sudut yang lain ada seorang bapak tua membawa karung besar sibuk memilah-milah sampah di tong sampah untuk mengambil botol plastik bekas minuman. Dengan sangat cekatan ia merobek label yang menempel dan kemudian meremas botol-botol yang ia dapatkan sebelum memasukkannya ke dalam karung.


Ia bergerak lincah di antara kerumunan orang-orang dari satu tong sampah ke tong sampah yang lain sambil sesekali menanyakan kepada pengunjung yang sedang duduk-duduk apakah ada botol yang sudah akan dibuang, biar ia ambil sekalian.


Sejenak saya tertegun memandangi pergerakan bapak tua itu. Pekerjaan yang ia lakukan saat itu mungkin bukanlah seperti yang ia cita-citakan dulu. Bisa jadi dulunya ia bercita-cita jadi pegawai negeri yang bisa bersantai di hari tua menikmati masa pensiun. Atau bercita-cita menjadi pengusaha seperti saya yang sementara ini masih singgah di pekerjaan membantu orang lain. Atau bahkan bercita-cita jadi presiden seperti kata Susan bonekanya Ria Enes ?


Apapun itu, yang jelas hari ini begitulah kondisinya. Apa yang membuat ia kemudian menekuni pekerjaan sebagai pemulung itu pasti sangat menarik jika ditulis. Namun dari raut wajah dan sorot matanya, ia seperti menikmati pekerjaan itu. Tidak ada raut kesusahan. Padahal kalau dilihat dari pekerjaannya, saya yakin mayoritas kita tidak akan memilih pekerjaan itu kecuali terpaksa.


Bicara tentang pekerjaan ideal, banyak yang menjadikan besaran gaji atau penghasilan sebagai tolok ukurnya. Mereka ini beranggapan jika penghasilan besar maka kehidupan akan lebih lancar dan tentunya akan lebih bahagia.


Orang-orang seperti ini biasanya telah menetapkan gaya hidup yang ingin dijalaninya, sehingga ia kemudian mengkalkulasikan berapa gaji atau penghasilan ideal yang harus dicapainya. Akibatnya seringkali orang memaksakan diri pada pekerjaan yang sebenarnya kurang sesuai dengan passion mereka demi mendapatkan gaji yang sesuai dengan keinginan mereka.


Atau membuat seseorang memiliki gengsi yang tinggi ketika menentukan pekerjaan yang akan ia lakukan. Orang-orang seperti ini tidak mungkin akan memilih pekerjaan seperti kakek pemulung botol bekas itu.


Jadi, jika kebahagiaan yang menjadi tolok ukur, mengapa tidak diubah saja cara pandang dalam memaknai sebuah kebahagiaan ?


Mengapa bukan gaya hidup yang harus diubah agar tetap bahagia meski penghasilan pas-pasan ?


Mengapa tidak belajar bagaimana menemukan kebahagiaan di tengah keterbatasan seperti yang dijalani kakek pemulung itu ?


Ketika orang kurang nyaman dengan pekerjaannya, lambat laun pekerjaan itu akan menjadi beban tersendiri dalam hidupnya. Belum lagi banyaknya tantangan baru yang harus dihadapi dalam pekerjaannya itu. Akhirnya bukan kualitas bahagia yang semakin naik, tetapi yang terjadi malah bisa jadi sebaliknya.


Lagi-lagi tentang mensyukuri setiap rezeki yang diterima dan bersabar menjalani setiap ujian dalam  kehidupan.

Komentar

Tulis Komentar