Marwah, Film, dan Perempuan di Madani International Film Festival

Review

by REDAKSI Editor by Ani Ema

Madani International Film Festival kembali hadir tahun ini dengan mengusung tema besar “Marwah” di tahun ketujuh penyelenggaraannya. Tema ini menggambarkan tujuan dari perubahan persepsi global mengenai dunia saat ini. Acara pembukaan dihadiri oleh dewan pengurus Madani, ada Putut Widjanarko, Garin Nugroho, Ekky Imanjaya, Hikmat Darmawan, Krisnadi yuliawan, Inaya Wahid. Dalam pembukaan tersebut,  Putut Widjanarko selaku Direktur Festival memberikan sambutan, diikuti Hikmat Darmawan yang menjelaskan lebih jauh tentang tema  Marwah..

Dalam sambutannya, Putut Widjanarko menyampaikan, “Kelompok-kelompok di wilayah yang sebelumnya dipandang sebagai pinggiran, seperti Asia Tenggara, Eropa Tengah & Timur, serta negara-negara berkembang di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, kini mulai bangkit dan membangun marwah baru dalam dunia pasca-kolonial dan dekolonial. Di dunia yang sedang berubah ini, seni visual seperti film memainkan peran penting dalam membentuk kesadaran baru, bahwa kemerdekaan, kedaulatan, dan kemuliaan adalah hak setiap manusia.”


Pengunjung malam pembukaan Madani International Film Festival di Cinepolis Senayan Park berfoto dengan latar backdrop acara. (Dok. Ani Ema)

Pembukaan festival juga menampilkan Sha Ine Febriyanti yang membawakan puisi tentang Palestina dengan iringan musik biola yang menyentuh hati. Setelah itu, film utama yang diputar sebagai pembuka Madani International Film Festival adalah Goodbye Julia (Sudan, 2023), karya sutradara Mohamed Kordofani.

Mohamed Kordofani dikenal dengan film-film naratifnya yang kuat, seperti NYERKUK (2016), yang memenangkan Black Elephant Award untuk Film Terbaik Sudan pada 2017, dan Kejer’s Prison (2019), yang ditayangkan selama revolusi Sudan di lapangan protes di hadapan ribuan orang. Film dokumenternya, Love Republic (2020), disiarkan di televisi nasional dan memperkuat pengaruhnya sebagai sineas di Sudan dan Afrika Utara.

Goodbye Julia adalah debut Kordofani sebagai sutradara film panjang dan menjadi film pertama dari Sudan yang ditayangkan di kategori Un Certain Regard di Festival Film Cannes. Selain itu, film ini juga terpilih oleh Komite Nasional Sudan untuk bersaing dalam kategori Best International Feature Film di Academy Awards ke-96 tahun ini.

Goodbye Julia menyelami kehidupan perempuan dan menggambarkan permasalahan mereka di Sudan, termasuk bagaimana suara perempuan seringkali diabaikan dalam masyarakat yang didominasi oleh maskulinitas. Melalui drama yang mendalam, film ini menunjukkan masalah sensitif perempuan, mulai dari politik kecil dalam keluarga hingga ke ranah publik dan negara.

Berlatar sebelum pemisahan Sudan Selatan, film ini bercerita tentang Mona, mantan penyanyi dari Utara yang sudah menikah. Ia berusaha menebus dosanya setelah suaminya, Akram, menembak mati seorang pria bernama Santiano dari Selatan. Mona kemudian mempekerjakan Julia, istri Santiano--pria yang terbunuh, sebagai pembantunya tanpa Julia mengetahui siapa pembunuh suaminya. Sepanjang film, Mona bergulat dengan konflik batin dan berusaha menyembunyikan rahasia kelamnya.

Interaksi antara Mona yang muslim dan Julia yang kristen, yang datang dari latar belakang etnis, ras, dan agama yang berbeda, digambarkan dengan sangat dekat dengan realitas perempuan di banyak tempat, bahkan di negara-negara yang tidak berkonflik. Melalui karakter Mona, kita melihat upayanya untuk menebus kesalahannya dengan membantu Julia dan anaknya, Daniel, untuk memiliki masa depan yang lebih baik.

Kordofani dalam statemennya sebagai sutradara menyatakan “Menulis film ini adalah bagian dari upaya berkelanjutan untuk menghilangkan rasisme yang diwariskan, didorong oleh rasa bersalah dan keinginan untuk rekonsiliasi serta ajakan untuk itu, meskipun tampaknya sudah terlambat.” Yang selaras dengan tema besar Madani yaitu marwah, yang merujuk pada kehormatan, harga diri, dan martabat manusia.

Dalam konteks film tersebut, upaya untuk menghilangkan rasisme yang diwariskan sejalan dengan upaya memulihkan marwah kemanusiaan, baik bagi korban maupun pelaku. Rasisme adalah salah satu bentuk penindasan yang merendahkan martabat seseorang atau kelompok berdasarkan perbedaan ras, agama, atau etnis. Melalui cerita rekonsiliasi dan rasa bersalah yang diangkat dalam film, terdapat ajakan untuk memperbaiki kesalahan masa lalu, mengakui kesalahan, dan berusaha memulihkan hubungan antar manusia. Upaya ini mencerminkan penghormatan terhadap marwah setiap individu dan komunitas yang terlibat. Rekonsiliasi, meskipun dilakukan terlambat, adalah langkah untuk mengembalikan kehormatan dan memperbaiki relasi yang telah dirusak oleh rasisme. 

Bagi penulis, Film Goodbye Julia setelah keluar dari bioskop masih menyisakan rasa pahit yang mengganggu, sehingga memicu pemikiran dan proses untuk menciptakan kesadaran akan pentingnya menghargai martabat manusia di tengah ketegangan rasial dan agama, selaras dengan Marwah yang diusung Madani.

Bersama Goodbye Julia, sebagaimana disampaikan Putut Widjanarko,  Madani International Film Festival akan menayangkan 57 film dari 20 negara, berasal dari 1504 pendaftar kompetisi film pendek dan 76 pendaftar untuk kategori film non-kompetisi dan kategori film anak dari seluruh dunia. Selain itu, sutradara Indonesia kenamaan Hanung Bramantyo juga terpilih sebagai fokus program Retrospeksi, yang akan membahas film-film Islami karyanya. 

Tak ketinggalan dalam festival ini Ruangobrol.id (Kreasi Prasasti Perdamaian) juga menayangkan film dokumenter terbaru berjudul Road to Resilience yang disutradarai Ridho Dwi Ristiyanto. Film ini akan diputar dalam acara bertajuk “Extremism, Deradicalization and Religious Moderation in Indonesia” pada Sabtu, 5 Oktober 2024, pukul 09.45-12.15 di Kampus Paramadina, Ruangan A3-1, Nurcholish Madjid Building, Cipayung, Jakarta. Acara ini juga akan dihadiri oleh tokoh protagonis dalam film, Febri Ramdani. Sampai bertemu di tempat-tempat pemutaran Madani International Film Festival. [ ]

Komentar

Tulis Komentar