Food for Peace: Belajar dari Sayur Lodeh

Other

by Rosyid Nurul Hakiim

 

[embed]https://youtu.be/GcuP75IU8lc[/embed]

Jogjakarta sudah tidak asing lagi bagi para pelancong domestik maupun mancanegara. Salah satu kota destinasi wisata Indonesia ini menyimpan segudang daya tarik. Bahkan, beberapa tahun terakhir, mulai banyak bermunculan rumah makan dengan konsep Joglo (rumah khas Jawa) yang menyajikan makanan ‘ndeso’ atau bercita rasa kampung. Seperti, tempe dan tahu bacem, telur dadar, aneka sambal, dan yang tidak pernah ketinggalan di rumah makan seperti ini adalah Sayur Lodeh.

Jenis sayur kampung inilah yang akan kita bahas di Food for Peace kali ini.

Sayur lodeh tidak hanya selalu hadir di rumah makan bernuansa Jawa itu saja. Sudah sejak lama, sayur berkuah santan ini selalu digunakan oleh masyarakat Jawa di setiap acara Selametan, sebuah acara tradisional untuk menunjukkan rasa syukur atau memohon perlindungan. Mereka selalu menghadirkan sayur ini sebagai lambang atau simbol penolak bala.

Sebagai penolak bala, sayur lodeh harus berisi 12 jenis bahan yang berbeda, seperti kacang panjang, waluh, daun melinjo, papaya muda, nangka muda, dan lain-lain. Dari beragam sumber yang ada, angka 12 ini merujuk pada penambahan 1 + 2 yang menghasilkan 3. Angka 3 dalam filosofi Jawa berarti meraih perlindungan Tuhan yang Maha Kuasa.

Kemudian, sayur lodeh harus memiliki dua bahan penting, yaitu waluh dan santan. Dalam bahasa Jawa, waluh dapat diartikan sebagai ‘uwal’ atau lepas dan ‘luh’ atau air mata. Jadi waluh bermakna membebaskan manusia dari penderitaan. Lalu santan dapat diartikan sebagai penawar racun.

Sayur lodeh hanya bisa menjadi penolak bala ketika setiap bahan tersebut ada. Kombinasi dari beragam bahan itulah yang membuat sayur ini penuh makna. Perbedaan jika dikelola dengan baik, justru akan menghasilkan hal yang menarik.

Karena lewat makanan, kita bisa belajar soal perdamaian. Food for Peace

Komentar

Tulis Komentar