MENGENAL INKLUSI SOSIAL ALA TANO BATAK

Other

by Boaz Simanjuntak

Horas, sebuah kata yang kerap digunakan saat bertemu dengan orang Batak atau sapaan karena dikenal sebagai orang Batak. Menurut saya, sebagai “halak hita” atau “orang kita”, demikian personal branding awal orang Batak, kata Horas sering salah dimaknai seperti halo, hai, atau sapaan saat bertemu. Padahal, maknanya banyak.

Mau play-on-words ala Batak? HORAS (HOlan Raja Sude) artinya semua adalah raja, sebagai ungkapan saling menghormati, raja atau ala pesan cinta seperti HORAS=(H):Holong masihaholongan/kasih mengasihi, (O):On do sada dalan nadumenggan/inilah jalan yang terbaik, (R):Rap tu dolok rap tu toruan/seia sekata, (A):Asa taruli pasu-pasu/supaya kita diberkati, dan (S):Saleleng di hangoluan/selama kita hidup. Bahkan jika ditambah awalan dan akhiran, kata Horas semakin kaya maknanya, seperti: marhorashoras artinya merasa senang, parhorason artinya kemakmuran, dan manghorasi artinya merestui.

Horas, sebuah kata yang tercipta dari falsafah hidup orang Batak, yaitu “Dalihan Na Tolu” atau “Tungku yang ditopang oleh Tiga Kaki”. Falsafah hidup tersebut menunjukkan keterikatan hubungan internal dari posisi kekerabatan orang Batak dalam bermasyarakat, yakni: Somba Marhula-hula, Elek Marboru, dan Manat Mardongan Tubu. Kerabat marga pihak istri dikenal dengan Hula-hula jadi Somba Marhula-hula berarti menghormati keluarga istri. Boru adalah kerabat perempuan dari bapak jadi Elek Marboru berarti tidak kasar terhadap perempuan. Sedangkan marga dari garis bapak dan kakek disebut dengan Dongan Tubu jadi Manat Mardongan Tubu berarti menjaga ikatan saudara semarga.

Dari falsafah hidup orang Batak, kita bisa belajar bagaimana memposisikan diri, ada kalanya jadi pemimpin dan ada saatnya dipimpin. Diperlukan kemampuan penguasaan diri, kerendahan hati, dan memberi kesempatan kepada yang lain, saat menerima posisi yang berbeda, saat berkuasa atau saat tidak berkuasa, terjadi proses. Mirip dengan inklusi sosial, yang menurut kepala riset dan advokasi Lakpesdam PBNU Ufi Ulfiah, adalah proses membangun hubungan sosial dan menghormati individu serta komunitas, sehingga mereka yang marjinal dan mengalami prasangka dapat berpartisipasi penuh dalam pengambilan keputusan, kehidupan ekonomi, sosial, politik, dan budaya, ini artinya memiliki akses dan kontrol yang sama atas sumber daya dalam rangka menikmati standar kesejahteraan yang dianggap layak di dalam kelompok masyarakat.

Inklusi sosial telah lama ada di Tano (tanah) Batak. Cobalah pergi ke kota Medan, ibukota Sumatera Utara, lalu kenali sejarah kota tersebut yang ternyata berawal dari sebuah perkampungan yang didirikan oleh Guru Patimpus Sembiring Pelawi dari etnis Batak Karo yang posisinya justru jauh dari kota Medan saat ini, sebuah pertemuan antara orang di luar wilayah tinggalnya dengan sebuah tempat yang belum pernah didatangi.

Ada pula cerita Tjong A Fie, saudagar keturunan Cina di Medan, bukan Muslim, sering membantu pembangunan beberapa mesjid di Medan, salah satu yang terkenal adalah Mesjid Raya Medan, lanskap kota yang indah yang bisa berdiri karena kerjasama antara Sultan Deli Ma’mun Al Rasyid dengan Tjong A Fie, sebuah pertemuan antara orang-orang yang berbeda agama untuk mendirikan tempat bertemu dengan Sang Pencipta.

Menyambut Ramadan, di Tano Batak dikenal sebuah tradisi yang masih dilakukan sampai saat ini, namanya Marpangir atau mandi bunga. Marpangir biasanya dilakukan satu hari sebelum awal puasa, tradisi ini bisa diartikan sebagai proses membersihkan diri menyambut bulan suci. Marpangir bisa juga disebut mandi dengan macam-macam ramuan, seperti bunga mawar, kenanga, daun pandan, jeruk purut, daun limau, dan sabut kelapa, lalu semua ramuan direbus. Tradisi Marpangir bisa dilakukan di rumah atau bergabung dengan masyarakat di pemandian. Tradisi jelang puasa ini ternyata berasal dari peninggalan Hindu yang erat kaitannya dengan penyucian diri. Lagi-lagi, mengenai pertemuan antara kebiasaan yang berbeda dan bisa diterima sebagai sebuah bentuk kearifan lokal yang bertemu dengan nilai-nilai Islami. Juga, saat melakukan Marpangir di tempat permandian, pertemuan dengan orang yang berbeda terjadi, dan sekat sosial ekonomi tidak nampak.

Saya teringat dengan Khairul Ghazali, mantan narapidana teroris karena kasus perampokan CIMB Niaga di kota Medan pada tahun 2010. Setelah bebas dari penjara, pada tahun 2015, Khairul mendirikan Pesantren Darusy Syifaa’ di Deli Serdang, Sumatera Utara. Di Darusy Syifaa’, Khairul menampung anak-anak dari mantan teroris yang tujuannya untuk mengantisipasi radikalisme dan terorisme secara persuasif. Khairul juga mencermati bahwa anak-anak dari mantan teroris ada potensi termarjinalkan, sehingga anak-anak tersebut dilatih kewirausahaan.

Upaya Khairul sejalan dengan ide inklusi sosial, mencoba mengakhiri prasangka di masyarakat terhadap mantan teroris dan keluarganya, mengintegrasikan kembali mereka yang pernah terlibat dalam lingkaran kekerasan untuk berperan sebagai agen perdamaian. Apa yang dilakukan Khairul bisa dihubungkan dengan Attitude Change Theory (ACT) yang diinisiasi Carl Hovland, seorang psikolog. Ide dasarnya adalah upaya persuasi yang didasari proses mendengar, mengerti, menerima, mengingat, dan melakukan. Jadi, mantan teroris dan keluarganya pun perlu didengar untuk dapatkan kesempatan kedua dalam hidup mereka.

Opung dan bapak saya pernah mengingatkan “Hau na jonok do na boi marsiogosan”, yang artinya kayu yang dekatlah yang bisa bergesekan, sebuah gambaran bahwa potensi konflik justru bisa ditemui pada yang dekat, banyak masalah mengenai kekerasan di dalam negeri yang harus diatasi dengan upaya yang bijak, jadi bersiaplah.

Foto: Gorga, ornamen Batak. Sumber: hitabatak (https://www.hitabatak.com/karya-seni-gorga-batak-toba-pada-rumah-bolon/)

Komentar

Tulis Komentar