Cap Go Meh di Bogor, China Masuk Indonesia?

Other

by Rizka Nurul

Selasa (19/2), Pemerintah Kota Bogor mengadakan Festival Cap Go Meh yang merupakan agenda tahunan di kota ini. Bima Arya, Walikota Bogor membuka Festival ini di Jalan Suryakencana bersama Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil. Festival dimulai jam 4 sore dengan menutup jalan dari Jalan Suryakencana, tepatnya di Lawang Suryakencana depan Vihara Dhanangun sampai Jalan Siliwangi, Vihara Budhasena.
Cap Go Meh di Kota Bogor sedikit berbeda. Sebagai bukti akulturasi Budaya, Pawai diramaikan oleh Barong-Liong, Marching Band, Tim Marawis, kesenian sunda termasuk Pawai Budaya Jawa Barat seperti Wayang golek dari Ijuk perwakilan Dinas Pariwisata Ciamis atau Patung khas Sisingaan dari Indramayu.
Masyarakat Indonesia mungkin tidak heran dengan peringatan di hari ke lima belas pertama tahun baru imlek atau Cap Go Meh. Perayaan ini berasal dari dialek Hokkian, Cap Go artinya 15 dan Meh artinya Malam. Dalam bahasa Tionghoa disebut Yuan Xiaojie, Yuanxi, Yuanye atau Shang Yuanjie dalam bahasa Tionghoa. Ini biasa disebut sebagai puncak perayaan Tahun Baru Imlek. Cap Go Meh sangat kental dengan pawai Barongsai ataupun Liong. Namun sebenarnya, ada makna dibalik pawai itu dimana Barongsai ataupun Liong atau patung yang dibawa dari Klenteng awal ke Klenteng tujuan. Masyarakat Tionghoa berharap agar kesejahteraan dan kedamaian terus mengalir sepenjuru kota.
Sentimen terhadap Tionghoa beberapa tahun ini memang kian meningkat. Sentimen ini sebenarnya bukan sekarang saja, namun telah terjadi sejak Zaman Kolonial. Dahulu, Belanda melakukan devide et impera atau politik adu domba. Upaya ini dilakukan agar kelompok pribumi dan anti kolonial seperti pendatang Tionghoa dan Arab tidak bergabung untuk menyerang pemerintah kolonial. Belanda membuat kelas-kelas di masyarakat. Kelas I dikhususkan untuk keturunan Belanda dan pemerintah Kolonial. Pajak rendah dan mendapat pelayanan negara yang layak. Sedangkan Kelas II diperuntukan untuk non pribumi seperti Tionghoa dan Arab. Kelas III diperuntukkan untuk pribumi. Pertentangan antara Pribumi dan Arab memang tidak terlalu terlihat karena ada persamaan identitas, yaitu islam. Mengingat banyak bangsawan dan kerjaan islam di Indonesia saat itu. Namun, adu domba antara Tionghoa dan Pribumi dapat dipermainkan oleh Pemerintah Kolonial dengan baik. Pasalnya, Tionghoa yang berorientasi dagang memiliki perbedaan identitas dengan pribumi. Petani Tionghoa melakukan pemberontakan terhadap VOC pada 1700an. Pemberontakan ini kemudian dijadikan propaganda VOC melalui isu-isu penjajahan baru. Pribumi menjadi khawatir akan kehadiran para Tionghoa akan menguasai tanah mereka sepeti halnya VOC. Belum lagi pada masa orde baru, masyarakat Tionghoa dianggap pro komunisme.
Kesamaan identitas sebagai sesama bangsa asia, kesamaan adat dan sopan santun tak membuat sentimen ini surut. Belum lagi isu identitas yang sering digunakan sebagai alat politik yang ampuh dengan menambah kekhawatiran masyarakat.
Perdamaian dimulai bukan dari rasa benci, tapi bagaimana menebarkan cinta kepada sesama. Sedangkan persamaan bisa hancur karena kebencian yang entah darimana asalnya. Bisa jadi kita hanya termakan isu tanpa punya alasan khusus atau bahkan tak pernah bermasalah secara langsung. Akankah kita memupuk kebencian yang tak pernah kita lakukan?

Komentar

Tulis Komentar