PPIM: 30 Persen Mahasiswa Memiliki Sikap Toleransi Rendah

Other

by Akhmad Kusairi

Sebanyak 30,16 persen mahasiswa, atau rata-rata satu dari tiga mahasiswa memiliki sikap toleransi beragama yang tergolong rendah atau sangat rendah. Angka ini didapatkan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta dari survei nasional terhadap mahasiswa dan dosen dari beragam kelompok agama: Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, Konghucu dan aliran kepercayaan. Melalui Program CONVEY, survei yang dilakukan di tahun 2020 ini ingin mengetahui tingkat toleransi di kalangan dosen dan mahasiswa di perguruan tinggi.

“Soal sikap toleransi beragama di kalangan mahasiswa, ada sebanyak 24,89 persen mahasiswa yang memiliki sikap toleransi beragama yang rendah, dan ada sebanyak 5,27 persen lainnya tergolong memiliki sikap toleransi beragama yang sangat rendah. Kondisi ini tentunya perlu mendapat perhatian serius dari pengambil kebijakan dan pihak-pihak terkait lain,” kata Sirojudin saat menemani Koordinator Survei, Dr. Yunita Faela Nisa, memaparkan hasil survei tersebut pada webinar “Kebinekaan di Menara Gading: Toleransi Beragama di Perguruan Tinggi”, Senin (1/3).

Sementara itu, dari aspek perilaku toleransi beragama, survei menunjukkan bahwa hanya sekitar 11,22 persen mahasiswa Indonesia yang menunjukkan perilaku toleransi yang rendah (10,08 persen) atau sangat rendah (1,14 persen). Sisanya, sekitar 88,78 persen mahasiswa Indonesia menunjukkan perilaku toleransi yang tinggi atau sangat tinggi terhadap pemeluk agama lain.

Berdasarkan penjelasan Koordinator Survei, Dr. Yunita Faela Nisa, survei yang dilakukan secara nasional di 34 provinsi ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang menyasar responden mahasiswa dan dosen. Agar mendapatkan gambaran yang baik tentang toleransi beragama di lingkungan perguruan tinggi (PT), penelitian ini berhasil mengambil sample dengan teknik stratified random sampling. Yaitu, sebanyak 92 PT dari 100 PT yang direncanakan, yang tersebar di seluruh Indonesia. Banyaknya PT yang diambil sebagai sampel di setiap provinsi ditetapkan secara proporsional terhadap jumlah mahasiswa yang ada di provinsi tersebut.

“Pengumpulan data dilakukan pada 1 November hingga 27 Desember 2020 secara serentak di seluruh wilayah penelitian. Data berhasil didapatkan dari 2866 mahasiswa (pada 92 PT), 673 dosen (pada 87 PT), dan 79 perguruan tinggi,” terang Yunita. Dia menambahkan, secara konseptual definisi toleransi beragama yang digunakan dalam survei ini adalah kesediaan seseorang untuk menerima hak-hak sipil individu atau kelompok agama lain yang tidak disukai atau tidak disetujui.

Definisi tersebut didasarkan dari tiga komponen utama. Pertama, toleransi mensyaratkan kemauan untuk menghargai pernyataan atau perilaku mereka yang tidak disukai atau disetujui. Kedua, definisi toleransi menekankan hubungan dengan pihak lain yang berbeda agama sebagai subjek sikap atau perilaku toleransi. Meskipun keyakinan keagamaan dapat menjadi salah penyebab intoleransi beragama, namun keyakinan keagamaan bukan satu-satunya akar persoalan. “Ketiga, survei ini mendefinisikan objek toleransi beragama secara lebih luas dengan melihat hak-hak sipil pihak atau kelompok agama lain dalam konteks kehidupan bernegara,” pungkas Yunita.

Lebih lanjut, berkaitan dengan hasil survei, jika dilihat dari gambaran toleransi mahasiswa berdasarkan jenis Perguruan Tingginya maka survei menunjukkan bahwa mahasiswa dari Perguruan Tinggi (PT) Kedinasan memiliki toleransi yang lebih tinggi, disusul PT Negeri, PT Swasta, dan PT Agama. Responden mahasiswa yang berasal dari PT Agama memiliki rerata termometer (persepsi kesukaan/ ketidaksukaan) terhadap agama lain paling rendah dibandingkan dengan rerata termometer agama oleh responden dari perguruan tinggi lainnya. Kemudian dari tingkat persepsi keterancaman, mahasiswa dari PT Agama berada pada posisi paling tinggi untuk persepsi ketrancamannya, lalu disusul oleh PT Swasta, PT Negeri, dan PT Kedinasan.

Hasil penelitian menunjukkan dua hal penting yang berkorelasi kuat dengan toleransi beragama mahasiswa. Pertama, interaksi sosial dengan kelompok yang berbeda, memiliki korelasi positif yang kuat dengan toleransi beragama. Interaksi antar kelompok ini bisa berlangsung dalam hubungan pergaulan sosial, kerja sama, dan diskusi atau tukar pikiran dengan sesama mahasiswa. Kedua, iklim sosial kampus juga berkorelasi dengan toleransi beragama mahasiswa. PPIM UIN menemukan bahwa kebijakan kampus terhadap kelompok minoritas keagamaaan mahasiswa dan sikap toleransi beragama dosen berkorelasi positif dengan toleransi beragama mahasiswa.

Oleh karena itu berdasarkan hasil survei tersebut, PPIM UIN Jakarta mendorong para pemangku kebijakan untuk mempromosikan kekayaan pengalaman sosial dan interaksi sosial lintas kelompok keagamaan. Kemudian PPIM juga mendorong kepada para stakeholder untuk memperbaiki iklim sosial kampus dengan meningkatkan kultur toleransi beragama di kalangan sivitas akademik dan penghormatan kepada keragaman dan kelompok-kelompok minoritas. Kemdian program atau kebijakan peningkatan toleransi beragama mahasiswa dengan memperhatikan kekhasan konteks sosial perguruan tinggi dan kondisi sosial-demografi mahasiswa.

 

 

Komentar

Tulis Komentar