Selfie Sukarisih

Other

by Rizka Nurul

Selfie atau bahasa resminya saat ini adalah swafoto. Kegiatan ini dilakukan pada awalnya sebagai inisiatif ketika ingin berfoto, namun tidak ada orang yang mau memoto. Sedih ya?

Semenjak hadirnya media sosial, selfie menjadi fardu ain. Kewajiban yang tak boleh dilewatkan. "Ya ampun tadi kita belum wefie." Terlewat selfie akan seheboh terlewat pesawat ke Eropa. Setelah acara, setelah makan di restoran mewah, jalan-jalan bahkan saat ini, ibu rumah tangga melakukan itu saat masak, setrika baju dan mencuci. Semoga ini tidak berkembang menjadi bath-selfie.

Menurut Psikolog, Efnie Indrianie, mereka yang mengunggah foto selfie dalam bentuk ekspresi menampilkan kecantikan, maka ia sebenarnya butuh diakui untuk dikatakan cantik. Bagi mereka yang ber-swafoto menunjukkan kemewahan, maka butuh diakui untuk dikatakan high class dan seterusnya hingga ujung dunia.

Pendapat psikolog tersebut membuat hipotesa baru bahwa Media Sosial membuat banyak orang butuh diakui. Bentuk pengakuan yang ingin ia dapat akan bergantung pada bentuk ekspresi yang ia tunjukan. Meskipun gak semua umat manusia seperti itu guys.

Fokus pada selfie dan foto sering kali membuat banyak orang terjebak pada nostalgia. Eh salah, terjebak pada kegiatan need of existence - Et dah istilahnya, berat banget - daripada makna liburan itu sendiri atau refreshing. Bahkan sangat mungkin, tingkat refreshing seseorang bisa berubah menitik beratkan kepada swafoto.

Gimana maksudnya? Begindang, saat swafoto di tempat hebat, ia merasa refresh. Karena ada harapan tercapainya pengakuan itu tadi. Tingkat kemewahan katulistiwa menjadi berharga apabila itu telah membagikannya di media sosial. Atau minimal diliatin ke temen sekantor. Refresh for share, share for refresh.

Nah lho. Bingung kan? Sama. Jadi lebih penting mana, ber-selfie? Atau neng selvi? Aih apa deh.

Sumber foto : https://goo.gl/images/LkXaYK

Komentar

Tulis Komentar