Dampak Bantuan Kelompok Teror untuk Para Istri dan Anak Napiter

Other

by Akhmad Kusairi

Pendanaan terorisme tidak selalu berkaitan dengan perencanaan dan aksi teror. Akan tetapi, ada bentuk pendanaan yang ditujukan pada keluarga narapidana teroris (napiter). Hal ini diungkapkan oleh Mantan Napiter, Arif Budi Setyawan Mantan Narapidana tindak pidana terorisme Arif Budi Setyawan dalam acara Webinar Pendanaan Terorisme yang diselenggarakan oleh KAGAMA Tangerang Selatan belum lama ini.

Pada pendanaan yang secara langsung terkait dengan aksi teror, sumbernya berasal dari donasi perorangan atau hasil operasi fai. Fai adalah pencurian atau perampokan pada harta milik orang yang dianggap halal untuk diambil. Sementara itu, pendanaan yang tidak secara langsung berkaitan dengan 'serangan' didapatkan dari penggalangan dana melalui media sosial. Dana jenis ini digunakan untuk membantu kebutuhan para istri terpidana teroris atau untuk membiayai pendidikan anak-anak terpidana teroris.

“Penggalangan dana itu biasanya untuk keperluan para istri yang ditinggal oleh suaminya yang ditahan di Lapas maupun Rutan. Dana itu juga bisa untuk keperluan untuk membuat usaha supaya para istrinya mandiri,” kata Penulis Internistan Jihad Zaman Now itu.

Kendati tidak terkait langsung dengan aksi teror, Arif tetap mewanti-wanti kepada masyarakat agar tidak ikut menyumbang untuk lembaga Amal yang terkait dengan kelompok teror. Pasalnya, donasi yang diberikan kepada keluarga napiter itu akan cenderung membuat gagal program-program pendampingan atau deradikalisasi yang dilakukan oleh Pemerintah maupun LSM. Ketika sudah bebas dari Lapas, para napiter ini berpotensi kembali pada kelompok lamanya atau melakukan aksi kembali (residivis).

Selain itu, lanjut Arif, pendanaan dari kelompok teror tersebut juga berdampak pada regenerasi penerus yang bisa jadi lebih hebat dari orang tuanya. “Pendanaan itu juga berdampak pada penyebaran paham radikal-ekstrim untuk menggaet simpatisan baru,” kata pria yang mempunyai nama kuniyah Arif Tuban tersebut.

Arif menjelaskan, kelompok teroris ini memiliki modus-modus lalu lintas uang agar sulit terdeteksi oleh pihak berwenang. Pertama, menggunakan kurir langsung yang dibawa dalam bentuk cash. Kedua, membeli barang baru lalu dikirim melalui jasa kurir konvensional. Ketiga, menggunakan layanan transfer tanpa rekening. “Itu bisa melalui western union. Biasanya mereka menggunakan identitas palsu. Karena ada sindikatnya. Bisa saja misalnya dana dari luar negeri ini juga berasal dari orang Indonesia sendiri. Karena begitu gampangnya," pungkasnya. Selain itu, cara keempat adalah dengan menyamarkan transaksi menggunakan rekening bisnis yang memiliki lalu lintas uang yang ramai.

Soal Pendanaan Terorisme itu Kepala  Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae menyampaikan jika pihaknya selama dua tahun terakhir menyerahkan 174 laporan hasil analisis dan investigasi yang terkait pendanaan terorisme. Semua laporan tersebut kata Dian sudah PPATK serahkan kepada ke Densus Anti Teror 88, BIN dan BNPT.

“Hasil-hasil penelitian PPATK itu sebenarnya cukup komprehensif. PPATK mencatat ada sebanyak 600 laporan yang terindikasi dengan pendanaan terorisme pada 2019. Angka itu meningkat menjadi 1.300 laporan terkait transaksi mencurigakan terkait pendanaan teroris,” kata Dian

Sementara itu Regional Head Counter-Terrorist Financing Division IACSP Asia Tenggara Garnadi Walanda, menyampaikan jika kelompok teror sangat pintar dalam melakukan penggalangan dana untuk keperluan terorisme. Mereka menggunakan jaringan perusahaan terselubung atau crowdfunding baik online maupun offline.

“Penggalangan dana merupakan katalisator untuk lakukan aksi teror maka pencegahannya dilakukan dengan melakukan pemblokiran rekening yang terafiliasi teroris. Pelaku teror menyiasati dengan perusahaan terselubung offline atau online yaitu crowdfunding dengan tujuan pendanaan terorisme,” kata Garnadi. Menurutnya, cara ini pernah digunakan oleh Napiter Abdullah Sonata dan Baidawi Rohman. Selain itu, mereka juga menggunakan cara-cara konvensional seperti menggunakan kotak amal yang diletakkan di berbagai minimarket seperti yang dilakukan oleh kelompok Jamaah Islamiyah.

“Dana mereka berasal dari Kotak amal yang baru-baru ini terungkap oleh Densus 88. Selain itu mereka menggunakan perampokan atau fai. Mereka juga kerap kali menyalahgunakan bantuan dari Timur Tengah,” kata Garnadi

Karena itu dia merekomendasikan perlunya Lembaga Amal yang transparan. Sehingga masyarakat bisa memilih mana lembaga yang bisa disumbang atau tidak. Dia juga menyarankan untuk melakukan pengawasan secara ketat penggalangan dana melalui crowdfunding.

“Kita perlu Pengawasan dana CSR yang berasal dari perusahaan. Dikhawatirkan malah digunakan untuk aksi teror di Indonesia. Perlu juga penguatan koordinasi dalam penegakan hukum serta optimaliasasi pertukaran informasi baik antar pemerintah maupun dengan organisasi masyarakat sipil,” tutup Garnadi

Komentar

Tulis Komentar