Nasib Perempuan di Maluku dan Aceh Pasca Konflik

Other

by Akhmad Kusairi

Daerah yang pernah mengalami konflik pasti sangat berdampak bagi masyarakat perempuan. Menurut Aktivis Lembaga Pemberdayan Perempuan dan Anak Maluku, Baihajar Tualeka, perempuan mendapatkan dampak luar biasa dari konflik seperti kemiskinan dan mendapatkan kekerasan.

“Namun, para perempuan di Maluku sendiri bertekad untuk melakukan pemulihan yang dimulai dari diri sendiri, serta menerima orang lain dan belajar memaafkan orang lain sebelum bicara damai tersebut,” kata Baihajar saat menjadi pembicara dalam acara WGWC Talk dengan tema “Terorisme pada Masyarakat Pasca Konflik belum lama ini.

Dia menambahkan bahwa para perempuan Maluku di berbagai komunitas melakukan pelatihan psikososial berbasis komunitas. Pada pelatihan tersebut, mereka banyak mendiskusikan pemulihan, sekaligus memetakan masalah yang dihadapi perempuan.

Menurutnya, sebelum konflik terjadi, Kota Maluku memiliki masyarakat yang heterogen. Namun, pasca konflik masyarakat berubah menjadi homogen. Bahkan, setelah konflik terjadi, sejumlah kelompok ekslusif mulai banyak di Maluku. Hingga saat ini, sejumlah kecurigaan di masyarakat masih terus terjadi. Sejumlah kelompok ekstrem di Maluku juga terus menyebarkan paham agar tidak berinteraksi dengan kelompok yang berbeda.

Berada dalam lingkungan masyarakat yang telah berubah seperti itu, para perempuan belajar untuk tidak mudah terprovokasi dan menginisiasi perdamaian yang dimulai dari ibu-ibu.

”Sehingga para perempuan di Maluku mulai melakukan integrasi perdamaian dimulai dari hal sederhana. Kita melakukan intervensi melalui kepada anak-anak. Kita mengajak berbagai pihak yang memiliki pengaruh untuk membuat kegiatan kegiatan damai yang ada di komunitas,” ucap Baihajar.

Sementara itu, Ketua Celebes Institut Poso, Adriani Badrah, para perempuan banyak melakukan pendampingan dengan komunitas yang berbeda dan berdampak pada peningkatan ekonomi mereka. Peran untuk merekatkan masyarakat di Poso banyak diambil alih oleh perempuan, sebab perempuan mudah dapat diterima oleh masyarakat.

“Di Poso sendiri awalnya agama dianggap sebagai pemicu konflik. Kelompok-kelompok tersebut, dengan mudah melakukan penyebaran, doktrin dan rekrutmen," ujar Adriani. Hal ini menjadi tugas berat bagi para aktivis yang bekerja dalam pemulihan korban, perdamaian dan rekonsiliasi.

Menurutnya, selain merusak kohesi sosial di masyarakat, ekstremisme menimbulkan segregasi di masyarakat. Dampaknya, para aktivis harus bekerja keras dengan komunitas yang trauma, tertutup dan saling mencurigai. Namun, kata Adriani, sejumlah inisiatif masyarakat terus dilakukan. Pasalnya sisa-sisa konflik masa lalu masih belum selesai diobati namun harus mengalami luka yang dalam lagi.

Dia menilai upaya pemerintah mengobati luka konflik masih belum maksimal. Dia khawatir jika pemerintah daerah tidak serius dalam penanganan konflik di Poso, maka bisa saja terjadi konflik horizontal kembali.

”Di satu titik kami yang bekerja di isu ini merasa letih. Konflik masa lalu masih belum selesai dan diobati, namun harus mengalami luka yang dalam lagi. Jika ini dibiarkan, masyarakat akan memberontak,” pungkas Adriani.

Sedangkan Aktivis Perempuan Aceh, Suraiya Kamaruzaman, dalam forum yang sama menyampaikan bahwa MoU perdamaian Aceh dilatarbelakangi dengan adanya tsunami dahsyat yang terjadi Aceh pada akhir tahun 2004 lalu. Meskipun demikian, bencana alam tersebut justru membuat semua pihak terlalu fokus pada korban Tsunami Aceh. Bantuan untuk korban bencana itu sangat masif disebarkan kepada masyarakat. Sedangkan korban kekerasan konflik yang terjadi di Aceh menjadi relatif diabaikan.

“Jadi, jika ada daerah yang hanya terjadi konflik, bantuan di Aceh sangat minim. Di sisi lain, pembangunan perdamaian di Aceh memang terjadi, sayangnya untuk korban kekerasan pasca konflik masih belum maksimal. Korban yang berhadapan langsung terpinggirkan, semua bantuan dialihkan kepada tsunami,” kata Suraiya

Pada saat proses perundingan perdamaian sendiri, peran perempuan sangat kecil. Hanya ada satu orang perempuan Aceh yang terlibat dalam perundingan tersebut dan proses negosiasi sangat terbatas. Selain itu, menurut Suraiya para perempuan tidak memiliki kontrol terhadap proses dan hasil dari perundingan damai tersebut. Sehingga, perempuan tidak memperoleh persamaan kesempatan dalam menikmati manfaat dari hasil perundingan perdamaian. Kondisi ini membuat banyak pekerjaan rumah di Aceh pasca konflik.

“Apalagi, pasca MoU perdamaian terjadi, sejumlah eks-kombatan menjadi anggota DPR di Aceh. Namun, eks-kombatan tersebut belum banyak berpihak untuk pemulihan pasca konflik di Aceh. Salah satu partai lokal dibuat, untuk memperhatikan dan menyelesaikan masalah-masalah lokal di Aceh yang tidak terlihat oleh partai-partai lokal,” pungkas Suraiya.

Komentar

Tulis Komentar