Anak Teroris adalah Korban Terorisme Sesungguhnya

Other

by Rizka Nurul

"Bunda, disana apa bunda?" Aldi - Bukan nama sebenarnya - berteriak sambil menutup telinga. Wajahnya memerah. Bajunya berkeringat, nyaris seperti selesai lari maraton. Ia menutup matanya dan duduk di pojok kamar. Malam itu, Aldi mimpi buruk lagi. "Aldi bukan teroris, Bunda" Kata Aldi meringis.

Bunda memeluk Aldi erat, "Udah sayang, gak ada apa-apa ya. Aldi tenang." Kata Bundanya memeluk Aldi. Air mata Bunda tak tertahan. Ia masih tak mengerti mengapa ini bisa terjadi kepadanya.

Ketakutan Aldi tak hanya terjadi sekali ini saja. Sebelumnya, Aldi juga sering mengigau berteriak atau ketakutan. Aldi menjadi tak banyak bicara dan sudah berlangsung selama empat tahun ini.

"Ini bertambah parah mba, soalnya di sekolah, teman-temannya juga terus ledek Aldi, Anak Teroris, Anak Teroris, gitu." Ujar Bunda pada tim ruangobrol.id

Aldi merupakan anak kedua dari H, seorang terdakwa dalam kasus Bom Buku. H ditangkap oleh Densus 88 tidak di rumahnya, namun Densus 88 sempat mendatangi rumahnya mencari barang bukti. Istrinya mengaku tak tahu menahu mengenai pekerjaan H bersama P, pelaku lainnya. Namun pasukan yang datang berkompi-kompi dengan senjata laras panjang itu tetap memasuki rumahnya secara paksa. Beberapa kardus handphone dibawa bersama beberapa buku. Aldi menyaksikan langsung, bagaimana penggerebegan itu terjadi. Shock bukan main.

Ujian tak berhenti sampai situ, keluarga Aldi juga diusir dari tempat tinggalnya. Nenek Aldi menyalahkan Bundanya karena dianggap membawa pengaruh buruk bagi anaknya, H. Di tempat baru pun, RT setempat terus menanyakan kartu keluarga dan Ayah Aldi.

Delapan Tahun telah berlalu, Ayah Aldi telah kembali ke rumah katena mengikuti pembebasan bersyarat. Namun Aldi yang dulu ceria belum kembali. Aldi masih murung, sering bermimpi buruk dan berteriak meski beberapa psikolog telah datang membantunya.

Terorisme bukanlah tindakan yang peri kemanusiaan. Tapi upaya masyarakat yang melakukan stigma juga bukan hal yang berperi kemanusiaan. Jika Teroris membunuh nyawa secara langsung, sedangkan stigma membunuh nyawa orang secara perlahan.

Komentar

Tulis Komentar