Bandara Melbourne, 11 Januari 2025. Suara dari speaker pesawat itu membangunkanku. Sebentar lagi landing di Bandara Melbourne, katanya. Kuintip arloji, baru jam 2 dini hari. Perjalanan kali ini, yang membutuhkan sekitar 5,5 jam, mengantarku ke kota yang memiliki perbedaan waktu 4 jam dengan Jakarta. Jam delapan semalam aku take-off dari Bandara Soekarno-Hatta, dan mendarat di kota yang konon merupakan salah satu kancah peleburan budaya di Australia ini, pukul enam pagi waktu setempat.
Penumpang di sebelahku menunjuk jendela sambil berbisik, “Sunrise.” Benar adanya, semburat merah mengintip sedikit dari balik jendela pesawat. Aku merasakan sebuah deja vu. Perjalanan kali ini adalah kunjunganku yang kedua kali ke Melbourne, dan lagi-lagi atas undangan Australia Awards Indonesia (AAI). Ya, pertama kali aku mengunjungi Melbourne pun karena AAI, mengikuti short course tentang Policies for the Disengagement and Rehabilitation of Violent Extremists 2019 di kampus Monash University. Kali ini aku hanya transit di Melbourne, karena kegiatan utama diselenggarakan di Brisbane, yaitu belajar film di Griffith University dengan tema At the Forefront of Film: Screenwriting and Directing. Dalam kedua short course tersebut aku mewakili Ruangobrol.id, media tempatku bekerja sejak 2019.

Kulakan Ilmu untuk Komunitas. Short course melibatkan 25 peserta yang terpilih dari 700 pendaftar. Kesemuanya adalah para pembuat film profesional, baik produser, penulis skenario, aktor, maupun sutradara yang ingin berjejaring dengan profesional dan edukator film di Australia terutama di Brisbane. Mendapatkan kesempatan terpilih 25 dari sekitar 700 pelamar bagi saya tentu merupakan kesempatan luar biasa. Serta merta saja tersemat janji dan komitmen yang kuniatkan setiap kali mendapat kesempatan beasiswa belajar, yaitu bersungguh-sungguh menyerap ilmu-ilmu yang diberikan, dan kelak mengaplikasikannya dalam kegiatan bersama komunitas.
Apa lagi Ruangobrol.id mempunyai lini Ruangmigran (Rumi), media online bagi pekerja migran yang juga memiliki program Rumi Academy. Rumi Academy mengadakan pelatihan bagi para pekerja migran yang ingin belajar menjadi konten kreator. Batch 1 pelatihan ini diikuti para pekerja migran di Singapura dan Hongkong yang sudah belajar selama 2 bulan secara online, mulai dari membuat skenario film dokumenter pendek, lalu memproduksinya di Singapura. Filmnya pun sudah ditayangkan di youtube Ruangmigran Indonesia.
Award Project. Di dalam setiap batch short course AAI, kami diharuskan membawa award project, atau project yang sedang dikerjakan, sebagai objek pembelajaran. Kali ini, award project yang kubawa adalah pengembangan skenario sebuah film fiksi panjang. Aku sangat berharap formula yang diberikan serta masukan-masukan dari kursus ini bisa membangun dan menajamkan pitch deck film yang sedang kami kembangkan, dan bisa kami gunakan ke kancah film market di sejumlah festival internasional, ataupun bisa ditawarkan ke produser Indonesia. Semoga juga short course ini bisa menjadi momentum perluasan dan pengembangan bagi Ruangobrol yang sudah biasa memproduksi film-film pendek dokumenter, untuk dapat merambah ke feature film dan meramaikan industri film Indonesia.
Para awardee yang lain berbekal award project yang beraneka ragam. Ada yang ingin menulis jurnal mengenai kebijakan welfare dan well being para pekerja seni di Australia, untuk mendapatkan suatu wawasan yang bisa diadaptasi di Indonesia. Ada pula yang menulis script dari cerita kelompok minoritas dari sudut pandang kreatif. Genre yang dipilih para awardee pun beragam – ada horor, drama romantis, juga skenario film dokumenter pendek maupun panjang, dan tak ketinggalan juga animasi.
Tempaan Mental. Mendarat di Bandara Melbourne itu, rasa deg-degan tak tertahankan karena teringat PR pra-kursus yang belum tuntas, belum lagi gejala jet lag yang mulai terasa. Lagi-lagi sebuah deja vu muncul, dan aku pun berusaha mengumpulkan keberanian – arus mental seperti ini toh sudah sejak lama menjadi teman baikku. Masih lekat kuingat pada 2007, mimpi menjadi penulis pun tak berani kubayangkan, namun ternyata kebiasaan menulis jurnal sebagai pekerja migran malah membawaku menjadi sutradara film dokumenter. Sebelum menyutradarai film Glo, Kau Cahaya (2023) dan All Access to Rossa, 25 Shining Years (2024) yang berhasil tayang di bioskop Indonesia, perjalanan karierku merentang selama 17 tahun di dunia film, mungkin dengan langkah-langkah kecil yang perlahan namun terus maju dan berkembang. Keberanian untuk mulai bermimpi, dan melakukan langkah kecil yang seolah tak ada dampaknya, ternyata membuahkan hasil. Menjadi awardee short course dari Australia Awards Indonesia juga adalah tempaan mentalku selanjutnya untuk kelak menjadi penulis skenario panjang profesional, in sya Allah.
Dan betapa tempaan mental itu bahkan harus kumulai sendiri sejak dari rumah. Meninggalkan keluarga, terutama kedua anakku yang baru beranjak remaja, sering memunculkan panic attack tersendiri. Namun kurasakan kali ini, aku bisa melaluinya dengan lebih berkesadaran, bisa merasakan gejala-gejalanya saat mulai hadir. Kukatakan pada diriku, bahwa anak-anak yang dulu kecil dan harus selalu menemani bekerja saat produksi film, kini sudah punya kesibukan sekolah dan mulai belajar lebih mandiri. Aku pun bisa terbuka mendiskusikan kekhawatiran dan kecemasan yang sempat muncul dengan seluruh keluarga. Lalu kuyakinkan diriku semua akan baik-baik saja, in sya Allah. Menginjakkan kaki di tanah Melbourne ini, mantap kuucap bismillah. [ ]
Komentar