BOYOLALI — Di sebuah sudut damai di Kecamatan Simo, Boyolali, Jawa Tengah, sebuah pondok pesantren bernama Darusy Syahadah menjadi saksi perubahan yang menggembirakan. Pada hari itu, Rabu (27/9/2023), lebih dari 250 orang berkumpul di sana, bukan untuk mempelajari kitab suci, melainkan untuk membahas sebuah isu yang mendalam: intoleransi, radikalisme, dan terorisme.
Ustadz Mustaqim Safar, Ketua Yayasan Yasmin Surakarta, membuka acara dengan sambutan hangatnya. Dia mengungkapkan rasa terima kasih atas kehadiran semua orang pada hari itu. Ia berkata tujuan dari pertemuan ini adalah “Sosialisasi Kebangsaan’”atau yang di pesantren disebut sebagai “Dauroh”. Tujuannya pun sangat jelas yaitu melawan paham intoleransi, radikalisme, dan terorisme.
Camat Simo, Fahrudin, juga memberikan sambutannya. Ia memberi tahu masyarakat bahwa di pesantren Darusy Syahadah, selain mempelajari ilmu agama dan akademik, para santri juga belajar mencintai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ia menekankan pentingnya perbedaan sebagai ketetapan dari Allah SWT dan mengajak semua orang untuk tidak membiarkan perbedaan tersebut menjadi sumber perpecahan mengingat dasar negara kita adalah Pancasila dan UUD 1945, serta memiliki semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Dalam pengantar acara, moderator Ustadz Drs Supriyadi meminta semua orang mendengarkan pandangan para narasumber yang hadir. Yang pertama adalah AKBP Goentoro Wisnoe Spd dari Tim Cegah Densus 88/AT Mabes Polri yang memberikan gambaran tentang dampak negatif intoleransi, radikalisme, dan terorisme. Goentoro mengingatkan kita bahwa terorisme tidak terkait dengan salah satu agama.
Ia memaparkan aksi terorisme telah meresahkan Indonesia. Contohnya Adalah kasus baru-baru ini di mana terjadi bom bunuh diri di Mapolsek Astana Anyar, Kabupaten Bandung oleh simpatisan ISIS. “Intoleransi adalah pandangan yang mengabaikan seluruh nilai-nilai toleransi seperti empati terhadap orang atau kelompok yang berbeda latar belakang,” ojar Goentoro.
Sementara itu, Drs Tukirin Mod dari Kementerian Agama Kabupaten Boyolali berbicara tentang pentingnya perizinan pondok pesantren. Ia menekankan bahwa pihak Kementerian Agama siap untuk memfasilitasi perizinan pondok pesantren. Mereka bahkan memiliki Program Nandatren yang memungkinkan mereka mendatangi pondok pesantren untuk membantu proses perizinan dengan cepat dan akurat. Pesan yang diutamakan adalah agar pesantren mengajarkan Islam yang rahmatan lil alamin, menjaga persatuan dan kesatuan, serta bertoleransi terhadap perbedaan.
Terakhir, Ustadz Drs Aris Siswanto, yang merupakan seorang eks narapidana teroris (napiter) dan tokoh agama, memberikan pandangan pribadi tentang penanganan paham terorisme. Dia mengatakan bahwa penanganan terorisme harus melibatkan semua elemen masyarakat, terutama keluarga. Ia menjelaskan bahwa sebelum terlibat dalam terorisme, biasanya seseorang memulai dengan intoleransi, kemudian radikalisme, dan akhirnya pemahaman terorisme secara bertahap.
Acara ini diakhiri dengan pembacaan deklarasi penolakan paham intoleransi, radikalisme, dan terorisme oleh Ustadz Parmin alias Yasir Abdul Barr, seorang mantan napiter yang sekarang tinggal di Darusy Syahadah.
Sebagai penutup, Direktur Ponpes Darusy Syahadah, Ustadz Qusdi Ridwanullah, mengucapkan terima kasih atas terselenggaranya kegiatan ini dan menyatakan kesiapannya untuk bekerja sama dengan semua elemen dalam menjaga persatuan dan kesatuan Indonesia. “Ini adalah langkah nyata dalam membangun sinergi antara pondok pesantren dan pemerintah dalam menjaga stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat serta menegakkan wawasan kebangsaan,” kata Ustadz Qusdi.
Komentar