Kasus Guru di Singapura Hendak Gabung Kelompok Radikal di Palestina

News

by Eka Setiawan

Mohammed Khairul Riduan Mohammed Sarip (38) seorang guru di bawah otoritas Kementerian Pendidikan di Singapura ditangkap karena berencana pergi ke Palestina untuk bergabung melakukan kekerasan bersenjata di sana.

Investigasi dari Departemen Keamanan Dalam Negeri (ISD) Singapura menyebut Khairul bertindak sendiri. Prosesnya berlangsung sejak 2007 silam, bermula dari postingan media sosial tentang agresi Israel ke Palestina termasuk perempuan dan anak-anak.

Visiting Fellow RSIS, NTU, Singapore Noor Huda Ismail berargumen kasus yang terjadi pada Khairul ini jadi sesuatu yang mengagetkan dan penting untuk dijadikan refleksi besar. Bagaimana seorang guru yang seharusnya mengajar siswa-siswanya ternyata bisa juga teradikalisasi.

“Pertama kita harus melihat proses radikalisasi sebagai proses psikologis. Ini bisa terjadi pada siapa saja, kelompok apa saja ataupun di negara mana saja, tidak hanya di Singapura,” kata Huda pada sebuah wawancara virtual dengan Channel News Asia (CNA) Rabu 11 Januari 2023.

Investigasi otoritas keamanan Singapura juga menyebut kali pertama Khairul terpicu ikut bergabung angkat senjata pada tahun 2012 silam ketika menemukan poster di Facebook berjudul Panggilan Jihad! Menyerukan misi kemanusiaan ke Gaza. Walaupun sejak 2007 silam, Khairul sudah terdeteksi mulai aktif mengikuti konten-konten di media sosial tentang konflik Israel-Palestina.

Simpati yang mendalam membuatnya berkeinginan untuk bergabung ke sayap militer di Palestina: HAMAS dan AQB. Dia ingin berperang melawan militer Israel yang dianggapnya menindas umat Islam Palestina.

Terkait hal ini, Huda menambahkan narasi propaganda di media sosial bisa membuat seseorang terpacu untuk melakukan aksi. Ini adalah proses internalisasi diri, beranggapan ada cara untuk misalnya bagaimana menjadi “Muslim yang sejati”. Propaganda radikalis “menawarkan” jalan untuk menjadi seperti itu.

Aneka postingan yang ada itu ditambah dengan narasi-narasi emosional. Misalnya; tentang penindasan khususnya menimpa perempuan dan anak-anak, umat Muslim pada umumnya. Di propaganda itu disajikan gambaran-gambaran besar yang tidak menyenangkan.
“Pesan-pesan narasi itulah yang memantik individu-individu untuk bergabung. Seperti pada kasus Khairul, untuk menjadi seorang Muslim maka dia (beranggapan) harus pergi ke Palestina,” lanjut Huda yang juga Direktur Kreasi Prasasti Perdamaian (KPP) itu.

Narasi-narasi propaganda yang disebarluaskan ke media sosial, berusaha untuk mempengaruhi orang-orang lain untuk ikut bergabung. Semacam ajakan untuk bagaimana menjadi Muslim yang ideal harus bergabung ke wilayah konflik, angkat senjata untuk berperang melawan pihak penindas.

“Ini menimbulkan semacam lingkaran balas dendam. Padahal banyak cara, banyak saluran yang sah untuk membantu, bukan inisiatif individu seperti ini untuk terlibat konflik di luar negeri,” sambung Huda.

Proses individu teradikalisasi secara online seperti ini bisa terjadi pada setiap orang di berbagai wilayah dan negara, di berbagai tempat. Ideologi memainkan peranan penting, tetapi proses psikologis mereka harus dilihat dan dipahami. Tak kalah penting, dari konflik regional atau global yang terjadi juga harus dilihat secara komprehensif.

“Karena apa yang terjadi di Palestina ini bukan hanya soal agama, tetapi juga soal kemanusiaan, soal kedaulatan. Jika hanya membibngkai konflik hanya pertempuran ideologis, masalah agama, maka akan salah memahaminya. Jadi ini adalah hal-hal yang harus terus didiskusikan,” tandasnya.

Sementara itu, berdasarkan hasil investigasi lanjutan, proses radikalisasi yang menimpa Khairul terus meningkat di antaranya ketika melihat konten pengkhotbah Zakir Naik dan Ahmad Deedat. Dia menyebarkan ke orang lain termasuk keluarganya. Dia juga melarang murid-muridnya mengucapkan Selamat Natal.

Khairul berpikir bekalnya dilatih militer dan menjadi komponen cadangan termasuk mendapat pengetahuan medis, jadi bekalnya "berjuang".

Khairul ditangkap pada Oktober 2022 dan mulai ditahan November sesuai undang-undang keamanan di Singapura.

Di Singapura sebelumnya ada warga sipil pertama yang ditangkap karena ingin melakukan kekerasan bersenjata akibat dampak konflik Israel - Palestina. Orang pertamanya adalah Amirull Ali (20) ditangkap Februari 2021 karena berencana melakukan serangan dengan pisau ke orang Yahudi di sebuah Sinagog di Waterloo Street.

Komentar

Tulis Komentar