Manusia perlu ruang-ruang untuk mengaktualisasi diri, termasuk untuk memenuhi kebutuhannya untuk berkomunikasi, menumpahkan unek-unek atau setidaknya tempat curhat.
Di era digital dengan media sosial yang masif, ruang-ruangnya diisi berbagai konten maupun informasi yang begitu cepat menyebar. Bahkan isinya kerap samar, apakah itu informasi mengandung kebenaran atau sebaliknya.
Jika isinya tak benar, bisa berbahaya. Tak terkecuali konten-konten yang menggiring konsumennya ke radikalisme terorisme.
“Ya kalau kita berbicara radikalisme, terorisme online itu. karena yang melalui online itu mereka membuat konten-konten radikal, mengajak untuk sesuai keinginan atau paham mereka,” ungkap Direktur Perlindungan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol Herwan Chaidir ketika ditemui di Kota Semarang, Kamis (22/8/2019) petang.
Sebab itulah, sebut Chaidir, kita semua perlu melakukan sharing atas informasi yang kita dapat, termasuk pula memperbanyak referensi.
“Kalau tidak, kita akan termakan dengan omongan itu,” lanjutnya.
Beberapa kasus anak muda tergelincir radikalisme terorisme, sebut Chaidir, berawal dari media sosial. Sebab, anak tersebut merasa jauh dari orang tua maka medsos menjadi tempat curhatnya.
Kemudian di medsos ditemukan akun tertentu, yang orangnya bisa menarik simpati. Akhirnya anak muda itu alias si calon korban tertarik, menjadi tempat curhat, bertanya, bahkan mengikuti apa gerak-geriknya.
“Ternyata orang itu provokator juga secara halus, akhirnya pergi ke Siria. Inilah bahaya online itu. Maka harus cari pembandingnya, carilah referensi yang banyak,” ungkapnya.
FOTO EKA SETIAWAN
Perlu Kontra Narasi Mengisi Ruang-Ruang Media Sosial
Otherby Eka Setiawan 23 Agustus 2019 11:46 WIB
Komentar