Yusuf yang sedang berburu cinta merasa jatuh hati pada paras sang gadis yang ia dapatkan dari foto profil Facebook. Ia pun segera ingin menyempurnakan separuh agama dengan menikah. Yusuf pun memberanikan diri menyampaikan perasaannya.
Bak gayung bersambut, cinta Yusuf diterima meski sadar bahwa mereka mengenal hanya lewat dunia maya. Hubungan keduanya pun berlanjut pada rencana pernikahan setelah masa Long-Distance Relationship (LDR) hampir 2 tahun tanpa pernah bertatap muka.
Namun hati siapa yang tak retak dibuatnya. Yusuf mengaku sudah bersusah payah memperjuangkan cintanya, mengorbankan segala harta bendanya dan sudah berikrar sumpah setia sehidup semati dengan sang kekasih pujaan hatinya. Namun ia harus menelan ludah kala bertatap langsung dengan wajah sang kekasih yang akan didaulat menjadi istri dunia akhiratnya.
Ibarat beli buah durian montong, berharap rasanya manis nan legit saat digigit, rupanya dapat zonk. Kulitnya saja yang tebal, namun isinya kosong. Dikiranya gadis cantik, ternyata janda menor. Jelas, Yusuf tertipu mentah-mentah. Buah dipingit, saat panen rupanya bentuknya berbeda. Padahal sudah terlanjur menyewa mudin, tinggal menunggu prosesi akad pula.
Usat punya usut, ternyata si perempuan mencuri foto-foto milik orang lain dan digunakan sebagai profile picture di akun Facebook untuk kepuasan pribadinya. Dan menyedihkannya, Yusuf, seorang buruh migran polos dari kampung di Pulau Jawa, terpaksa menjadi korbannya.
Yusuf Salah?
Dari kasus di atas, lantas siapa yang harus disalahkan? Perempuannya salah, namun Yusuf juga lebih salah lagi. Bagaimana dirinya bisa begitu polos terjebak bujuk rayu wanita hanya berbekal foto di sosial media?
Kisah Yusuf tentu menjadi teladan bagi semua, tentang bagaimana seharusnya kita agar lebih bijak dan mawas diri menyikapi berbagai hal yang muncul di sosial media. Sebab tak selamanya apa yang kita lihat indah atau buruk di dunia maya, demikian pula adanya dalam dunia realita.
Pun demikian dengan berbagai berita yang ada, tak jarang orang termakan informasi hoaks yang tidak diketahui asal-usul sumbernya. Hanya bermodal foto atau video, lalu sedikit dibumbui kalimat puitis, dramatis dan politis, akhirnya publik pun tertipu secara berjama’ah.
Mereka yang tertipu berita sampah tidak sempat untuk mencari informasi yang sesungguhnya, sebab terlanjur menerimanya layaknya kalam suci. Terlebih jika sang penyebar berita adalah orang yang dipandang bersih tanpa noda, yang dari mulutnya mengalir ayat-ayat surga. Meski sejatinya, kata-katanya adalah sampah yang menyesatkan banyak manusia-manusia polos seperti Yusuf di atas.
Lantas, bagaimana kita menyikapinya? Jelas berita apapun bentuknya, hendaklah selalu melalui proses verifikasi dan check and recheck dengan mencari sumber otentik yang dapat dipercaya. Bahkan dalam Islam tegas mengajarkan akan prinsip Tabayyun atas semua informasi yang kita terima, bukan menelan bulat tanpa mengunyah dan memilah.
Dengan membiasakan hidup teratur untuk selalu Tabayyun akan setiap persoalan yang ada, di samping menghindarkan kita dari berbagai berita dan informasi yang tidak sesuai faktanya, juga menjadikan hidup lebih tentram, damai dan sehat tentunya.
Komentar