Pandemi Coronavirus Diseae (Covid)-19 belum menunjukkan tanda-tanda usai. Data teranyar dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), hingga Senin 30 Maret 2020 pukul 12.00, di Indonesia ada 1.414 orang terjangkit Covid-19, 75 sembuh dan 122 meninggal dunia.
Sementara di dunia, ada 199 negara terpapar total kasus terkonfirmasi 730.236 orang, menimbulkan 34.572 kematian. Covid-19 menjangkiti siapa saja, pejabat, rakyat biasa, artis, anak kecil hingga dewasa bahkan tak mengenal agama. Pemeluk agama manapun kena virus ini.
Di Indonesia sendiri, para pemuka agama sepakat mengimbau umat menghindari kerumunan, termasuk ibadah dalam rangka pencegahan. Pada Sabtu (28/3/2020) di Kantor BNPB di Jakarta, para pemuka agama mengemukakan itu.
Baik dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang disampaikan Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam Sholeh, Sekretaris Umum Pendeta Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) Jacklevyn F. Manuputty, Relawan Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia Hong Tjin, Sekretaris Komisi Komunikasi Sosial Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Romo Steven hingga Ketua Bidang Kesehatan dan Sosial Kemanusiaan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Nyoman Suartanu.
Para rohaniwan itu bersepakat untuk menghindari kerumunan, menyerukan ibadah di rumah, hingga melakukan doa dan meditasi untuk kesembuhan dan perbaikan bangsa.
Hemat saya, meski belum semuanya, misalnya: belum ada perwakilan dari komunitas penghayat, minimal mereka sudah mewakili suara-suara mayoritas masyarakat Indonesia.
Hal yang dipetik adalah, mencegah lebih baik daripada (mungkin) atasnama agama, kerumunan ibadah tetap dijalankan. Toh, walaupun di tempat ibadah tak menjamin virus ini kabur.
Buktinya juga sudah ada. Ada ratusan jamaah sebuah masjid di Jakarta yang harus dikarantina, menyusul beberapa di antara mereka positif terjangkit Covid-19.
Media sosial pun tak kalah seru. Beberapa unggahan status maupun postingan (yang saat ini mayoritas tentang Covid-19) bertebaran. Isinya menarik-menarik.
Ada satu status WhatsApp yang muncul di ponsel saya. Isinya kira-kira: “Jangan takut corona, kita punya Tuhan”.
Apakah itu salah? Tentu saja tidak. Manusia memang milik Tuhan. Tuhan yang Maha Besar, Maha Baik, Maha segalanya. Takdir hidup mati ada di tangan-Nya.
Tapi pada konteks ini, menarik untuk telaah lebih lanjut. Bukankah orang-orang yang terjangkit, entah itu nantinya sembuh atau sebaliknya, juga punya Tuhan? Bertuhan? Lantas kenapa mereka kena? Apakah Tuhan tidak melindungi mereka?
Upaya menghindari wabah juga sempat dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khattab ketika pada suatu waktu hendak ke Damaskus di Negeri Syam. Sebelum sampai di sana, Umar diberi informasi oleh seorang pemimipin pasukan Muslim. Mengabarkan adanya wabah penyakit.
Umar tak lantas "sombong" dan jumawa. Beliau memanggil beberapa orang untuk minta pendapat, hingga akhirnya memutuskan tak jadi masuk wilayah itu demi keselamatan jiwa. Ada seorang yang protes, "Apakah engkau (Umar) lari dari takdir?" lantas dijawab dengan bijaksana "Bukan lari dari takdir, tapi lari dari takdir satu ke takdir yang lain (berupaya melindungi jiwa),".
Sekelas Umar bin Khattab, bagi kaum Muslim, tentu tak ada yang meragukan kecintaan, kedekatannya dengan Sang Maha Esa bukan?
Cerita tentang "jangan takut, kita punya Tuhan" juga ada dari seorang teman SMA, yang kebetulan menjadi guru di Kota Tegal. Kota yang sedang lockdown itu loh. Teman itu bilang; ada hal yang mengganggu pikirannya yakni kelompok “kabeh-kabeh sing Kuasa”. Artinya kurang lebih: semuanya karena kehendak Tuhan.
Apakah salah juga? yoo mesti bener. Teman itu sampai berdebat: kalau semuanya kehendak Tuhan, coba nyeberang di Pantura dengan kondisi mata tertutup hasduk Pramuka? Hayooo jajal?
Beberapa orang tertawa dengan cletukan teman satu itu. Mungkin dia jengah betul. Okelah kita punya Tuhan, bertuhan, tapi akal sehat tetap musti dipakai.
Sebagaimana diungkapkan Antropolog Undip Prof. Mudjahirin Thohir, pada sebuah diskusi di Kota Semarang Sabtu lalu. Pada diskusi online itu, Prof. Mudja, sapaan akrabnya, tampak mengkritisi hal-hal itu.
Beliau mengemukakan, pada konteks ini, kita perlu refleksi besar. Memang, sebagai kaum beriman, kita percaya kebesaran Tuhan. Tapi toh, tidak semuanya lantas pasrah saja. Ada akal pikiran, utamanya para ahli di bidang kesehatan, untuk bagaimana menemukan vaksin Covid-19.
Lantas yang tidak ahli di bidang itu, melakukan berbagai cara masing-masing dalam rangka pencegahan. Misalnya: mengurangi kerumunan, menjaga kebersihan dan tubuh tetap sehat, semprot disinfektan untuk membunuh virus, sampai rajin cuci tangan.
“Bukan seolah-olah membenturkan Corona dengan Tuhan,” kata beliau.
ilustrasi: WhatsApp (istimewa)
“Membenturkan” Virus Corona dengan Tuhan
Otherby Eka Setiawan 30 Maret 2020 10:34 WIB
Komentar