Sekarang, siapakah yang termasuk masyarakat awam yang rusak, dan siapakah yang termasuk kelompok orang yang bersemangat tapi bodoh itu?
Pertama, yang termasuk masyarakat awam yang rusak adalah :
Para korban kezhaliman
Saya mengambil contoh adalah kawan-kawan dari Poso yang pernah bergabung atau menjadi simpatisan kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT). Rata-rata mereka adalah orang yang pernah menjadi korban konflik atau setidaknya menjadi saksi hidup konflik antara Muslim-Nasrani.
Mereka jadi mengikuti pelatihan atau membantu kegiatan MIT adalah karena terpengaruh narasi bahwa Nasrani bisa setiap saat akan menyerang kaum muslimin lagi dan sebagai muslim harus mempersiapkan diri untuk menghadapi serangan itu. Sehingga perlu melakukan pelatihan militer.
Pada perkembangannya karena melihat para peserta pelatihan yang semakin banyak dan tidak hanya berasal dari Poso, muncullah inisiatif untuk melakukan operasi penyerangan terhadap aparat keamanan.
Narasi yang kemudian dikembangkan adalah dulu aparat keamanan ikut menangkap dan membunuh para ikhwan yang sebelumnya berperang melawan kekuatan kaum Nasrani bersama masyarakat Poso.
Ketika kemudian aparat keamanan melokalisir mereka dengan memperketat pengawasan jalur logistik mereka, mereka kemudian mencari-cari cara untuk mendapatkan logistik. Akhirnya terbitlah fatwa boleh mengambil harta orang yang dianggap boleh dirampas hartanya dengan jalan mencuri atau dengan kekerasan.
Dari contoh di atas, kita bisa memahami sesuatu yang awalnya kita anggap remeh, yaitu dendam yang masih tersisa, bisa menimbulkan masalah besar di kemudian hari.
Dan bukankah pola seperti itu bisa saja terulang di tempat lain dan dengan pemicu yang berbeda?
Misalnya saja pada anak-anak para terduga teroris yang mati tertembak dalam operasi aparat keamanan atau yang meninggal di penjara karena sakit. Mereka ini sangat potensial menyimpan dendam sehingga rawan terhadap propaganda radikalisasi baik secara online maupun offline.
Mantan kriminal yang ingin bertaubat
Hampir semua orang yang ingin bertaubat terutama yang bertaubat dari dosa kriminal seperti pembunuh, perampok, pencuri, pengedar narkoba, preman, dsb, ingin melakukan penebusan dosa. Ingin segera mendapatkan pengampunan dan pahala yang besar dalam waktu singkat.
Hal ini membuat mereka cenderung langsung semangat begitu ada ajaran yang mendukung keinginan mereka itu tanpa mencoba mencari sumber lain sebagai pembanding.
Saya akan menyebutkan contoh dari beberapa orang yang dulunya adalah preman tapi kemudian terlibat kasus perampokan atas nama untuk kepentingan jihad.
Awalnya mereka diajak untuk mengikuti kajian keislaman yang diadakan oleh sekelompok aktivis. Nah, di dalam kelompok itu yang dikaji pertama kali dan dibahas secara terus menerus adalah masalah tauhid. Di mana akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa mereka harus memerangi para musuh tauhid.
Untuk memerangi itu perlu harta dan tenaga. Jika belum mampu dengan tenaga maka minimal dengan harta. Apalagi yang butuh harta itu banyak, tidak hanya untuk keperluan amaliyah, tetapi istri dan anak-anak para ‘mujahidin pejuang tauhid’ yang dipenjara juga sangat membutuhkannya.
Tetapi karena kondisi mereka pada umumnya ekonominya masih pas-pasan, mereka lalu diajarkan fatwa yang membolehkan merampas harta dari kelompok yang boleh diambil hartanya. Dalam hal ini pada waktu itu mereka sepakat bahwa uang yang ada di bank-bank dan kantor pemerintah adalah target yang dibolehkan.
Mereka yang tadinya akrab dengan dunia kriminal lalu ditawari untuk berbuat kriminal lagi tetapi kali ini adalah dalam rangka ‘mencari pahala’ dan ‘menebus dosa’, tentu akan dengan sangat cepat membenarkan ajaran itu dan segera menyambut ajakan itu.
Dulu yang dengan cara offline saja bisa dapat pengikut dalam waktu singkat, lalu bagaimana dengan sekarang yang bisa disebarkan secara online? Bagaimana jika para mantan pembunuh lalu mendapatkan dalil pembenaran untuk membunuh? Atau mantan perampok yang mendapatkan dalil pembenaran untuk merampok? Di mana mereka malah mendapat pahala dari membunuh atau merampok itu.
Ilustrasi: pixabay.com
Komentar