Ketika berbicara tentang kelompok teroris, baik yang ada di Indonesia maupun yang ada di berbagai penjuru dunia, ada sebuah pertanyaan besar yang langsung muncul di benak masyarakat. Pertanyaan itu adalah :
Mengapa regenerasi kelompok teroris itu masih terus terjadi ?
Pertanyaan ini muncul karena faktanya kelompok teroris itu masih terus ada dan terus berkembang hingga hari ini. Meskipun sudah dilakukan penangkapan di sana-sini dengan jumlah terduga teroris yang cukup banyak. Tangkapan terbanyak terjadi di tahun 2018, di mana 396 terduga teroris telah berhasil diamankan sepanjang tahun 2018. (lihat https://news.detik.com/berita/d-4360672/kapolri-kasus-terorisme-meningkat-di-2018-396-teroris-ditangkap)
Pertanyaan itu kemudian berkembang lagi. Seberapa besar jaringan simpatisan kelompok teroris sehingga mereka bisa terus menyebarkan pemikiran mereka dan memperoleh pengikut-pengikut yang baru ?
Saya sebagai orang yang pernah berada di dalam kelompok teroris selama lebih dari 10 tahun, memiliki satu penjelasan yang bisa menjawab kedua pertanyaan di atas. Kedua pertanyaan itu bisa dijawab dengan mencermati fenomena penggalangan dana di kelompok teroris dan para simpatisannya.
Saya akan menjelaskannya sebagai berikut :
Seorang napiter yang keluarganya mendapatkan santunan dari hasil sumbangan para simpatisan dan pendukungnya, ia akan cenderung akan tetap bertahan pada ideologi/pemikiran lamanya. Anak dan istrinya yang merasa selalu dibantu mengatasi kesulitan hidupnya juga akan cenderung mengikuti ideologi/pemikiran ayah/suami mereka. Ini saya saksikan sendiri beberapa contoh kasusnya ketika saya di penjara.
Hal ini sudah menjawab tentang bagaimana salah satu proses regenerasi terjadi. Anak dan istri si napiter yang tadinya biasa saja, bisa menjadi lebih militan karena pengaruh intervensi sosial dan ekonomi dari kelompok pendukung mereka. Dan hal itu diwujudkan dengan melakukan penggalangan dana di antara mereka.
Penggalangan dana di kalangan para pendukung dan simpatisan kelompok teroris untuk kepentingan di luar kegiatan terorisme seperti : santunan buat istri napiter, beasiswa untuk anak-anak napiter, membangun sekolah eksklusif untuk anak-anak napiter, dsb, adalah cara mengukur tingkat militansi dan solidaritas di antara mereka. Kok bisa?
Bisa. Jika mereka benar-benar satu pemahaman dan satu visi dalam ‘perjuangan’ tentu mereka akan bersemangat untuk berpartisipasi dalam penggalangan dana tersebut. Mengapa ? Karena mereka bisa mengalirkan ‘energi jihad’ mereka di jalur yang aman (untuk hukum di Indonesia saat ini). Tidak terkait pendanaan kegiatan seputar jihad yang merupakan delik kasus terorisme.
Dari sini bisa dilihat seberapa banyak para simpatisan yang sampai pada taraf mau berjihad dengan hartanya. Juga sejauh mana kemampuan para simpatisan itu merekrut para simpatisan yang baru. Karena ketika kebutuhan untuk keperluan ‘non delik terorisme’ itu semakin meningkat, sementara jumlah para simpatisan tetap cenderung stagnan, mereka butuh para simpatisan yang baru.
Bertambahnya simpatisan-simpatisan baru itu juga berarti telah terjadi perekrutan baru. Sehingga jaringan kelompok teroris dan para pendukungnya juga semakin meluas. Bukankah ini masalah baru bagi kita ?
Dari paparan di atas dapat diketahui bahwa penggalangan dana di kalangan kelompok teroris dan para simpatisannya memiliki potensi untuk dapat melanggengkan ideologi radikalisme/terorisme di tengah masyarakat kita.
Ketika sekelompok masyarakat berhasil menyelamatkan sebuah keluarga napiter dari menerima bantuan ekonomi-sosial dari pendukung aksi terorisme, maka sejatinya hal itu telah memutus salah satu mata rantai penyebaran paham radikal agar tidak semakin meluas.
Pertanyaannya adalah : seberapa besar kepedulian masyarakat pada penanggulangan radikalisme-terorisme itu ? Atau sebenarnya banyak yang peduli tapi tidak tahu caranya?
ilustrasi: pixabay.com
Komentar